Jumat, 01 Februari 2002

Eksistensi dan Implementasi Hukum Islam tentang Riddah dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Oleh Ahmad Bahiej*

Abstrak

    Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini, beberapa norma hukum yang dikenal  masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya norma dalam Islam diintegrasikan ke dalam hukum pidana nasional yang akan datang. Namun demikian, persoalan muncul ketika berhadapan dengan aturan mengenai riddah yang menurut jumhur fuqoha termasuk ke dalam salah satu hudud yang dapat dikenai pidana sebagai implementasi hak Allah. Selain dihadapkan pada tataran yuridis tatanegara Indonesia, persoalan riddah ini dihadapkan pada kenyataan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural. Lagi pula, dalam beberapa deklarasi yang pernah dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui oleh negara-negara di dunia. Oleh karena pertimbangan yuridis, empiris dan pandangan internasional terhadap kebebasan beragama ini maka Konsep KUHP (1999/2000) berkesimpulan untuk tidak mengatur (dalam arti menerapkan pidana) bagi orang yang berpindah agama. Ditinjau dari sisi hukum Islam, metode ijtihad dimungkinkan menjadi salah satu alternatif untuk menjembatani persoalan riddah ini secara khusus dan masalah-masalah hukum Islam di Indonesia secara umum.

Pendahuluan

      Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association), dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious institution)[1]. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan nurani (freedom of conscience), merupakan hak yang paling asli dan absolut serta meliputi kebebasan untuk memilih dan tidak memilih agama tertentu.           Menurut konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai nilai yang yang paling luhur (supreme value). Ia menghendaki komitmen serta pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen serta pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah, dan masyarakat. Dalam konteks demikianlah manusia dapat dikatakan sebagai manusia yang utuh, dalam arti bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri berdasarkan atas keyakinan keagamaan yang dianutnya. Permasalahan yang muncul kemudian adalah apakah hukum (pidana) sebagai salah satu pranata sosial harus tetap dilepaskan secara absolut ataukah dilibatkan terhadap masalah ini mengingat salah satu tujuan hukum pidana adalah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
     Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia[2]. Dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia tersebut keinginan dan usaha untuk melakukan penggalian hukum agama sudah banyak dilakukan.
     Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kurang lebih 89% penduduknya menganut agama ini. Dalam ajaran yang diyakininya, terdapat sistem hukum Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Salah satu cabang dari hukum pidana Islam (jinâyah) adalah adanya ketentuan riddah atau murtad, yaitu tindak pidana bagi seseorang yang pindah agama dari agama Islam ke agama lain.
    Riddah yang secara harfiyyah berasal dari radda yang berarti mengembalikan (arja’uhu) atau memalingkan (sharafahu) adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari orang lain, baik laki-laki maupun perempuan[3]. Dasar hukum ditetapkannya jarîmah riddah secara khusus dan jelas disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari bahwa barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. Selain itu, hadits lain yang dijadikan dalil adalah hadits riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah telah bersabda :
“Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali salah satu dari tiga, yaitu : kafir setelah iman (riwayat lain berbunyi meninggalkan Islam, pen.), zina setelah menikah (muhson), dan membunuh”.

Sedangkan dalam Al Qur’an yang dijadikan dasar antara lain :
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah ayat 217)
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia akan mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah akan menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl ayat 106)
“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpiun-pemimpin orang-orang kafir itu, karena merka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (At Taubah ayat 12)
     Berdasarkan dalil-dalil inilah kemudian para fuqahâ menetapkan bahwa riddah termasuk dalam tindak pidana (jarîmah hudûd) dan sanksinya berupa hukuman mati.
  Kecuali madzhab Hanafiyyah, sebagian besar madzhab fiqh dalam hukum Islam menyatakan bahwa riddah termasuk ke dalam salah satu jarimah hudud.  Sedangkan menurut ulama-ulama yang bermadzhab Hanafi, hudûd hanya dibagi menjadi lima yaitu zina, saraqah, syurb al-khamr, qath’ al-tharîq, dan qazaf. Menurut mereka hudûd hanya perbuatan-perbuatan yang ditetapkan dalam Al Qur’an. Qisâs tidak dimasukkan dalam hudûd karena merupakan hak seseorang. Demikian pula ta’zîr tidak dimasukkan dalam hudûd karena tidak ditentukan ukurannya[4].
         Sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelaku riddah terdiri dari tiga macam, yaitu :
1.     Pidana Pokok
Pidana pokok untuk jarîmah riddah adalah pidana mati. Sanksi pidana pokok lain adalah pidana penjara. Akan tetapi ini hanya berlaku bagi perempuan yang murtad.
2.    Pidana Pengganti
Pidana pengganti diberikan kepada pelaku riddah apabila sanksi pidana pokok tidak dapat diterapkan, yaitu jika pelaku riddah telah bertobat. Sanski pidana pengganti ini adalah ta’zir yang diputuskan oleh penguasa, berupa penahanan sementara, dera, denda atau pencelaan dirinya.
3.     Pidana Tambahan
Sanksi pidana tambahan untuk pelaku riddah adalah merampas hartanya dan hilangnya hak terpidana untuk mengelola (tasarruf) hartanya.
Riddah dalam Perspektif Sosioreligius Bangsa Indonesia
         Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan agama.
       Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya banyaknya kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
       Agama bagi bangsa Indonesia merupakan potensi yang besar. Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang agama dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik antarumat beragama yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama Indonesia diharapkan selalu terwujud dalam perjalanan hidup bangsa.
       Setiap agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda dan pemikiran teologis yang berlain mengenai konsep ini merupakan sumber perselisihan antarumat beragama.
   Adanya ketentuan dalam hukum Islam mengenai riddah yang menghukum orang berpindah agama dapat dilihat sebagai wujud adanya dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak ini. Oleh karena itu, ketentuan demikian bagi bangsa Indonesia yang menganut berbagai agama adalah ketentuan yang mustahil untuk diwujudkan dalam hukum pidana. Konflik besar antara umat Islam dan umat agama lain akan muncul jika ini dipaksakan. Menurut Shaikh Abdur Rahman, hukuman mati seharusnya tidak dijatuhkan bagi orang yang murtad dalam keadaan damai[5].
       Berdasarkan analisis historis politis, ketentuan pidana mengenai riddah dalam hukum Islam hanya diterapkan pada kondisi khusus yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan kondisi bangsa Indonesia. Sejarah Islam telah mencatat, setelah Nabi melakukan pengusiran terhadap orang-orang Yahudi Madinah yang mengkhianati perjajian Madinah, musuh kaum muslimin di Madinah tidak hanya orang-orang kafir Makkah akan tetapi juga kelompok Yahudi. Oleh karenanya, Nabi harus mengambil langkah-langkah politik maupun hukum untuk memperkuat konsolidasi ke dalam.
      Saat itu, Islam adalah identik dengan negara/pemerintahan di Madinah. Pengkhianatan terhadap Islam sama halnya pengkhianatan terhadap negara dan masyarakat Madinah. Dalam suasana demikian, orang yang keluar dari Islam akan sangat membahayakan kesatuan dan keutuhan pemerintahan Islam di Madinah yang baru saja dibangun oleh Nabi. Oleh karena itu, Nabi mendeklarasikan hukuman mati bagi orang yang keluar dari Islam[6].
      Dugaan bahwa hadits Nabi yang terkait bernuansa politik bukanlah tanpa dasar sama sekali. Setelah Nabi wafat muncul gerakan riddah di Bahrain, Oman, Mahra, Hadhramaut, dan Yaman yang kemudian berhasil ditumpas oleh Abu Bakar. Gerakan riddah ini selalu dibarengi dengan pembangkangan membayar zakat. Pada masa ini, pembangkangan membayar zakat adalah salah satu tindakan pengkhianatan terhadap negara mengingat zakat adalah satu-satunya sumber pendapatan negara. Namun, kebanyakan ahli fiqh memaknai gerakan politik Abu Bakar ini dalam pengertian literalnya, yaitu penumpasan gerakan riddah. Akibatnya, garis batas antara persoalan politik dan persoalan agama dalam kaitannya dengan proses pemaknaan murtad menjadi kabur[7].
Riddah dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia.
       Menganalisis hukum Islam tentang riddah berdasarkan hukum positif Indonesia tidak dapat mengabaikan awal sejarah berdirinya negara ini. Pada saat itu para pendiri bangsa (founding fathers) menetapkan bentuk negara, dasar negara, dan komponen negara lainnya.
      Walaupun dilihat dari pemeluknya muslim Indonesia merupakan negara yang paling besar jumlah muslimnya, para pendiri bangsa menetapkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi negara yang berdasarkan ideologi Pancasila.
        Adanya ketentuan dalam hukum Islam tentang riddah yang berimplikasi adanya agama (Islam) yang lebih tinggi daripada agama-agama lain bagi Indonesia sangatlah tidak mungkin. Hal ini bertalian erat dengan sejarah bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada tahun 1945 bukan merupakan hasil perjuangan dari satu kaum agama saja, tetapi merupakan hasil perjuangan seluruh bangsa Indonesia[8].
        Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara Indonesia dalam Pasal 27 ayat (1) menyebutkan secara jelas bahwa segala warga negara berkedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dalam pandangan hukum, warga negara Indonesia yang satu dengan yang lain adalah sejajar, tanpa membedakan suku, agama, atau kelompoknya (equality before the law). Hal ini menjadi jaminan bagi negara Indonesia, terutama di bidang hukum, tidak akan bersikap diskriminatif terhadap warga negaranya. Ini juga mengandung arti bahwa tidak ada warga negara kelas kedua dalam negara Indonesia.
       Menganalisis ketentuan hukum Islam tentang riddah dengan tolok ukur pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas, semakin mudah dapat dikatakan bahwa ketentuan yang ada dalam riddah itu tidak sesuai dengan jiwa Pasal 27 (1) UUD 1945. Ketentuan mengenai riddah berimplikasi adanya ketidaksamaan warga negara di mata hukum berdasarkan agama. Agama Islam dianggap sebagai agama yang tertinggi di hadapan hukum negara sehingga jika orang keluar darinya akan dikenai sanksi pidana.
      Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan dalam Pasal 29 bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti negara Indonesia bukan negara agama yang mendasarkan diri pada satu agama tertentu, melainkan negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan mengakui eksistensi agama-agama yang dianut warga negaranya[9]. Bahkan, dalam ayat kedua dari pasal tersebut disebutkan negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.
    Dengan hanya memperhatikan konstitusi negara Indonesia sudah dapat dinyatakan bahwa ketentuan yang ada dalam hukum Islam tentang riddah tidak sejalan dengan hukum dasar tersebut. Oleh karena itu, tak satu pun pasal-pasal yang mengatur tentang delik agama dalam hukum pidana positif Indonesia (KUHP) yang mengatur adanya larangan untuk pindah agama (riddah). Riddah bukan persoalan yang urgen untuk dimasukkan ke dalam hukum pidana nasional (KUHP) yang sekarang berlaku. Undang-undang Nomor 1/Pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, sebagai salah satu usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia, khususnya di bidang delik agama, hanya menambah pasal baru (156a) tentang larangan melakukan penyalahgunaan atau penodaan suatu agama yang dianut di Indonesia serta larangan melakukan perbuatan agar orang lain tidak menganut agama apa pun (ateis).
Riddah dalam Perspektif Deklarasi Internasional
      Sejak tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui kebebasan agama dengan mencantumkannya dalam Pasal 18 United Nations Declaration of Human Rights yang dikeluarkan pada tanggal 10 Desember 1948 oleh Majelis Umum PBB. Deklarasi internasional mengeni hak-hak asasi manusia sedunia itu menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama; dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara sendiri maupun bersama-sama, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.
        Pada tahun 1966 dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 200A (XXI) 16 Desember 1966 kembali menyetuji Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Konvenan ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights) yang telah dikeluarkan Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tahun 1948.
         Dalam Pasal 18 disebutkan secara khusus mengenai kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama. Selengkapnya, Pasal 18 tersebut menyatakan :
1.    Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama. Hak ini meliputi kebebasan untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, dan kebebasan untuk, baik sendirian maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di hadapan umum maupun di tempat pribadi, mewujudkan agama kepercayaannya dengan pemujaan, penataan peribadatan, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri.
3.   Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan yang hanya dapat dikenal pembatasan-pembatasan sebagaimana diatur dengan undang-undang dan perlu untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.

      Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengeluarkan kembali deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Ketidakrukunan dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan dengan Resolusi Majelis Umum Nomor 36/55, 25 Nopember 1981. Dalam aturan yang bersifat khusus ini Majelis Umum PBB memprihatinkan masih adanya berbagai manifestasi ketidakrukunan dan adanya diskriminasi dalam persoalan-persoalan agama atau kepercayaan di beberapa wilayah dunia.
     Pasal 1 deklarasi tersebut yang tidak jauh berbeda dengan pernyataan-pernyataan PBB mengenai kebebasan beragama dalam deklarasi-deklarasi sebelumnya, dinyatakan :
1.   Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk menganut suatu agama atau kepercayaan apa pun pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu maupun dalam masyarakat dengan orang-orang lain, dan di depan umum atau sendirian, untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya dalam beribadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk menganut suatu agama atau kepercayaan pilihannya.
3.   Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan seseorang hanya boleh tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditetapkan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan masyarakat atau kesusilaan umum atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
       Memperhatikan persoalan riddah dalam hukum Islam yang dapat memberikan pidana bagi pelaku yang berpindah agama (Islam) dengan menghubungkannya dengan aturan-aturan internasional ini, tampaknya bertentangan. Bahkan dalam Universal Declaration of Human Rights disebutkan secara jelas bahwa “kebebasan beragama meliputi juga kebebasan berganti agama atau kepercayaan”.
     Di samping itu, dihubungkan dengan kedua deklarasi selanjutnya, pemidanaan terhadap pelaku riddah tidak selaras dengan pernyataan dalam ayat (2), yang menyebutkan “tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk menganut suatu agama atau kepercayaan pilihannya”. Hal ini dapat dikatakan bahwa dipidananya pelaku riddah jelas akan mengurangi kebebasan seseorang untuk menganut suatu agama.
     Dengan adanya perbedaan pemahaman ini, maka pada saat pembahasan Universal Declaration of Human Rights di Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya yang mengarah pada Pasal 18 mengenai kebebasan agama menimbulkan diskusi yang hangat di antara negara peserta. Perbedaan pandangan justru muncul di antara negara-negara Islam, khususnya antara Arab Saudi yang menuntut Pasal 18 dihapuskan dan Pakistan yang menganggap Pasal 18 tetap diperlukan. Perbedaan pandangan ini disebabkan adanya latar belakang sosio kultural dan politik yang berbeda dari kedua negara itu[10].
     Memperhatikan wacana yang berkembang di dunia internasional mengenai kebebasan beragama di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa riddah yang diancam pidana dalam perspektif hukum Islam tidak sejalan dengan isi deklarasi internasional. Oleh karena itu, tidak mungkin memasukkan hukum Islam tentang riddah dalam pembaharuan hukum pidana nasional, jika tidak ingin mendapatkan kecaman dari dunia internasional.
Implementasi Hukum Islam Tentang Riddah dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
a.      Delik terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam Konsep KUHP
    Sejak Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan dikuatkan dengan laporan Penelitian Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) tahun 1973, digagas adanya pasal-pasal dalam hukum pidana nasional yang memberikan perlindungan terhadap agama.
     Akhirnya dalam Konsep KUHP (Bab VII) yang mengatur tentang tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama mengatur beberapa delik :
a.     penghinaan terhadap agama (Pasal 290);
b.    merintangi dan sebagainya ibadah atau upacara/pertemuan keagamaan (Pasal 291 ayat (1));
c.    membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah (Pasal 291 ayat (2));
d.     mengejek orang yang sedang beribadah atau petugas agama (Pasal 292);
e.    merusak, membakar, menodai bangunan, benda untuk beribadah (Pasal 293);
f.     menghasut untuk meniadakan keyakinan/kepercayaan terhadap agama (Pasal 294);
g.    menghina ke-Agungan Tuhan, firman dan sifat-Nya (Pasal 295);
h.  mengejek, menodai atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran atau ibadah keagamaan (Pasal 296); dan
i.   menyiarkan atau mempertunjukkan tindak pidana dalam Pasal 290 atau Pasal 296 di atas (Pasal 297).
     Berdasarkan keterangan di atas, semakin jelaslah bahwa pindah dari suatu agama ke agama yang lain, khususnya pindah dari agama Islam ke agama lain bukanlah termasuk delik menurut Konsep KUHP. Hal ini tidak terlepas dari tinjauan tujuan hukum pidana itu sendiri. Secara umum dan sederhana dapat disebutkan bahwa tujuan hukum pidana adalah terciptanya keteraturan dalam masyarakat. Dimasukkannya delik baru yang justru akan menimbulkan kedamaian dan keteraturan masyarakat adalah jelas-jelas tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana.
  Mohamed S. El Awa, seorang guru besar hukum Islam di Universty of Riyadh mengedepankan aspek tujuan hukum pidana ini dalam mendiskusikan masalah riddah ini. Menurutnya, tinjauan dari aspek tujuan hukum pidana ini banyak dilupakan oleh beberapa ahli hukum Islam, baik yang menganggap riddah sebagai tindak pidana maupun yang tidak. Bagi pihak yang memasukkan riddah sebagai tindak pidana, aspek tujuan tidak mungkin dianalisis karena pidana hudûd tidak luas dibicarakan. Mereka menangkap aturan itu sebagai nas yang tidak perlu lagi diperdebatkan. Demikian pula yang menolak riddah sebagai tindak pidana. Mereka terlalu menkonsentrasikan pada bukti kebenaran pandangannya. Akhirnya Mohamed S. El Awa, menyimpulkan bahwa riddah tidak termasuk hudûd, melainkan dihukum dengan ta’zîr yang berat ringannya ditentukan oleh penguasa. Namun hukuman ta’zîr ini diberikan hanya jika riddah menyebabkan kerusakan dalam masyarakat. Hal ini berarti, jika perbuatan riddah tidak menimbulkan kerusakan dalam masyarakat, maka tidak perlu ada hukuman apapun[11].
    Namun demikian, ada pasal yang berkaitan dengan masalah pindah agama ini yaitu Pasal 294. Selengkapnya, bunyi Pasal 294 tersebut adalah :
“Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pindah agama dalam Pasal 294 ini, yaitu :
1.   Pasal 294 Konsep KUHP tersebut menyebutkan adanya larangan menghasut untuk meniadakan kepercayaan atau keyakinan terhadap agama. Kata “agama” yang dipakai dalam Pasal 294 menggunakan kata umum yang berarti meliputi seluruh agama yang diakui di Indonesia. Hal ini berbeda dengan hukum Islam tentang riddah yang hanya memberikan hak istimewa kepada agama Islam.
2.    Dalam pasal ini juga ditegaskan bahwa yang dilarang adalah “menghasut dalam bentuk apapun” (garis miring dari penulis). Bentuk apapun mempunyai makna yang luas, sehingga dapat dipermasalahkan apakah penyiaran kepada orang lain yang sudah beragama, untuk pindah agama lain dapat dikategorikan ke dalam ketentuan pasal ini. Istilah menghasut dalam bentuk apapun merupakan istilah yang sangat luas, termasuk di dalamnya penyiaran yang dimaksudkan agar orang lain pindah dari agamanya. Oleh karena itu, apabila memang penyiaran itu dimaksudkan agar orang lain pindah dari agamanya, maka hal tersebut dapat dikategorikan ke dalam Pasal 294. Hanya saja, dalam Pasal 294 disebutkan adanya syarat penghasutan itu dilakukan di muka umum yang tidak mudah diterapkan dalam kasus riddah di atas.
3.     Selain itu, hal yang membedakan Pasal 294 Konsep dengan aturan riddah dalam hukum Islam adalah pelaku tindak pidana penghasutannya, bukan pelaku yang tidak yakin atau tidak percaya lagi pada agamanya. Menurut hukum pidana Islam, orang yang berbuat riddah-lah yang dikenakan pidana.
    Akan tetapi jika dilihat penjelasan, maksud Pasal 294 ini adalah adanya larangan untuk menghasut orang agar dia tidak beragama. Selengkapnya penjelasan Pasal 294 tersebut berbunyi sebagai berikut :
“Penghasutan dilakukan dalam bentuk apapun, dengan tujuan agar pemeluk agama yang dianut di Indonesia menjadi tidak beragama.”
    Berdasarkan paparan mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dalam Konsep KUHP di atas, hukum Islam tentang riddah tidak dimasukkan ke dalam Konsep KUHP sebagai salah satu tindak pidana yang dapat dikenakan pidana. Hal ini didasarkan pada pertimbangan politik kriminal Indonesia, yang melihat permasalahan riddah dari perspektif sosio kultural Indonesia dan standar internasional mengenai hak asasi manusia.
Ijtihad dalam Implementasi Hukum Islam tentang Riddah
    Ijtihad merupakan usaha sungguh-sungguh dari para ahli hukum Islam secara maksimal untuk mencapai sesuatu. Berdasarkan ketentuan dalam ilmu fiqh, ijtihad terbatas pada hukum yang bersifat dzanniy (samar). Hal ini disebabkan ijtihad itu sendiri baru dilaksanakan jika tidak ada ketentuan dalam nash Al Qur’an maupun Hadits. Sementara itu, hukum Islam tentang riddah menurut sebagian besar ahli hukum Islam didasarkan atas beberapa nash Al Qur’an dan Hadits. Hal inilah yang terkadang menjadi kendala untuk ber-ijtihad.
Persoalan ini terjawab dengan tiga argumentasi di bawah ini.
    Pertama, salah satu madzhab yang dikenal dalam fiqh, yaitu Imam Hanbali, tidak setuju jika riddah tersebut dimasukkan ke dalam hudûd sebagaimana zina, mencuri, dan sebagainya  walaupun imam-imam yang lain memasukkannya. Menurutnya, yang bisa dimasukkan ke dalam hudûd hanyalah jarîmah yang disebutkan secara qot’i (pasti) dalam Al Qur’an. Sementara itu, Al Qur’an tidak menyebutkan adanya penghukuman riddah. Oleh karena itu, dengan tidak dimasukkannya riddah ke dalam hudûd berarti riddah bukanlah perbuatan yang melanggar hak Allah yang hukumannya telah pasti dan manusia tidak boleh merubahnya.
  Hal ini juga dikemukakan oleh beberapa ahli hukum Islam kontemporer menanggapi beberapa ayat Al Qur’an yang digunakan dasar dimasukkannya riddah sebagai tindak pidana. Mereka menyatakan bahwa Al Qur’an tidak secara eksplisit (qot’i) menetapkan hukuman bagi riddah. Hukuman bagi riddah adalah diserahkan kepada Tuhan pada hari kiamat kelak, dan bukan di dunia sekarang.
   Mengenai masalah Abdullahi Ahmed An Na’im mengajukan dasar pemikiran hukum Islam baru mengenai riddah. Menurutnya ayat yang menerangkan pembolehan melakukan kekerasan terhadap non-muslim adalah ayat Madaniyyah. Sedangkan ayat-ayat Makkiyah merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental dan bersifat universal egalitarian demokratik, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa pembedaan jenis kelamin (jender), keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain. Pesan ini ditandai dengan persamaan laki-laki dengan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih agama dan keimanan. Oleh karena itu, seperti gurunya, Muhamed Mahmud Taha, An Na’im menolak teori naskh yang tidak memberlakukan lagi ayat-ayat Makkiyah mengenai kebebasan agama ini[12].
    Kedua, hadits yang digunakan sebagai dasar adanya pidana bagi riddah juga tidak lepas dari kritik dan komentar. Hadits Nabi yang membolehkan adanya pemberian hukuman mati bagi pelaku riddah pun tidak lepas dari beberapa persoalan. Menurut Imam Turmudzi, salah seorang perawi hadits terkenal, menyatakan bahwa seorang narator (rawi) dari hadits tersebut adalah majhûl (tidak dikenal)[13]. Oleh karena itu, hadits tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori hadits shahih. Padahal, salah satu syarat dapat dipergunakannya hadits sebagai dasar dalam menetapkan hukum adalah kesahihannya.
     Sedangkan hadits lain tidak terlepas dari persoalan, yaitu :
“Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali salah satu dari tiga, yaitu : kafir setelah iman (riwayat lain berbunyi meninggalkan Islam dan memisahkan diri dari jama’ah/at târik lidinihi al-mufariq li al-jamâ’ah, pen.), zina setelah menikah (muhsan), dan membunuh”.

   Dalam hadits riwayat Abu Dawud, disebutkan dengan redaksi rojulun kharaja muhariban billâhi warasûlihi fainnahu yuqtalu au yusallabu au yunfa min al-ard (lelaki yang keluar untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya maka dibunuh, disalib atau dihukum) sebagai pengganti dari at tarik lidinihi al mufariqu li al-jamâ’ah. Adanya keterangan inilah yang kemudian Ibn Taimiyah menyatakan bahwa kejahatan yang ditunjukkan dalam hadits tersebut adalah hirabah (armed robbery). Hadits tersebut tidak menyatakan murtad secara sederhana,tetapi disertai dengan pembangkangan kepada Tuhan dan Rasul-Nya[14].
   Adapun mengenai hadits yang paling jelas menyatakan jenis sanksi bagi tindakan riddah adalah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa Rasulullah bersabda : ”Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia” Muhammad Ali menyatakan cakupan hadits ini sangat luas, meliputi seluruh perpindahan dari suatu agama ke agama lain, tidak hanya keluar dari Islam. Oleh karena itu, hadits ini tidak dapat dipakai sebagai dasar pembenaran pidana riddah[15].
    Ketiga, jika memang Al Qur’an memang bermaksud memberikan hukuman pidana bagi pelaku riddah, dan beberapa hadits yang digunakan sebagai dasar dipidananya riddah adalah sahih, maka ijtihâd merupakan alternatif untuk menjawab persoalan riddah di Indonesia ini. Ijtihâd juga diperbolehkan dalam bidang yang telah ada nash Al Qur’an dan haditsnya. Sebagai contoh Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang kemudian menjadi khalifah kedua, pernah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah hukum, walaupun nas Al Qur’an dan Hadits telah menyebutkan secara jelas, di antaranya mengenai tanah rampasan perang, dera bagi minuman keras, dan hukuman bagi pencuri[16].
    Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa ijtihad merupakan salah satu metode yang dapat digunakan guna menjawab implementasi hukum Islam tentang riddah dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan agar kerukunan antarumat beragama di Indonesia tetap terjamin dan ditinjau dari segi hukum Islam juga dibenarkan. Metode ijtihad ini merupakan metode yang dibenarkan dalam menghadapi situasi atau kondisi yang mengharuskan ada pemikiran baru. Sebagaimana diakui dalam hukum Islam, tark al mafsadah muqoddamun ‘ala jalb al mashalih (mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kebaikan) merupakan prinsip hukum yang fundamental bagi penerapan hukum Islam.     
    Usaha ijtihâd pernah dilakukan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1993. Tim itu sepakat untuk tidak memasukkan riddah sebagai tindak pidana dalam hukum pidana nasional Indonesia mendatang, namun mengusulkan perubahan dan penambahan pasal-pasal, yaitu salah satunya mengenai pindah agama ini dengan redaksi :
 “Barangsiapa menimbulkan keresahan dengan menyiarkan kepada orang atau kelompok orang yang beragama lain atau menyiasati orang atau kelompok orang untuk berpindah agama (garis bawah dari penulis) diancam dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak kategori IV”.

    Mencermati rumusan pasal yang diusulkan Tim Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut maka tampaklah bahwa yang dipidana bukanlah orang pelaku riddah (murtad), akan tetapi orang yang menimbulkan keresahan karena menyiarkan agama kepada orang yang telah beragama.   Namun demikian, walaupun usaha ini dapat dikatakan sebagai ijtihad baru mengenai hukum Islam tentang riddah, Konsep KUHP 1999/2000 tidak memasukkan usulan dari Tim Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga ini.

Penutup
Setelah mencermati lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam tentang riddah, maka keberadaan hukum Islam tentang riddah tidak mungkin dimasukkan sebagai tindak pidana dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia, mengingat dan memperhatikan faktor-faktor sosial politik dan historis bangsa Indonesia, deklarasi-deklarasi internasional mengenai hak asasi manusia, dan pendapat beberapa ahli hukum Islam yang moderat berpandangan bahwa riddah tidak dapat dianggap sebagai bagian dari hudud.  
Dengan memperhatikan berbagai faktor tersebut, maka dalam rangka membentuk hukum pidana nasional yang sesuai dengan sosiopolitik, sosiofilosofik dan sosiokultural bangsa Indonesia, riddah tidak perlu dimasukkan sebagai salah satu tindak pidana dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Namun demikian,  dimungkinkan adanya ijtihad dari para ahli hukum, khusunya ahli hukum Islam di Indonesia. Hal ini, selain untuk menjembatani persoalan riddah, agar nilai-nilai hukum Islam tetap mampu memberikan kontribusi positif bagi pembaharuan hukum nasional.


---daftar pustaka dan footnote artikel ini sengaja penulis sembunyikan---