Oleh Ahmad Bahiej*
Abstrak
Pembaharuan
hukum pidana pada hakekatnya mengandung suatu upaya untuk melakukan reorientasi
dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Dalam rangka ini, beberapa norma hukum yang dikenal masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya
norma dalam Islam diintegrasikan ke dalam hukum pidana nasional yang akan
datang. Namun demikian, persoalan muncul ketika berhadapan dengan aturan
mengenai riddah yang menurut jumhur fuqoha termasuk ke dalam salah satu hudud
yang dapat dikenai pidana sebagai implementasi hak Allah. Selain dihadapkan pada tataran yuridis
tatanegara Indonesia, persoalan riddah ini dihadapkan pada kenyataan bahwa
bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang plural. Lagi pula, dalam beberapa deklarasi yang pernah
dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, kebebasan beragama merupakan salah
satu hak asasi manusia yang diakui oleh negara-negara di dunia. Oleh karena
pertimbangan yuridis, empiris dan pandangan internasional terhadap kebebasan
beragama ini maka Konsep KUHP (1999/2000) berkesimpulan untuk tidak mengatur
(dalam arti menerapkan pidana) bagi orang yang berpindah agama. Ditinjau dari
sisi hukum Islam, metode ijtihad dimungkinkan menjadi salah satu alternatif
untuk menjembatani persoalan riddah ini secara khusus dan masalah-masalah hukum
Islam di Indonesia secara umum.
Pendahuluan
Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang
dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan
beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan
keyakinan agama (freedom of religious
expression), (c) kebebasan
melakukan perkumpulan keagamaan (freedom
of religious association), dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan
keagamaan (freedom of religious
institution)[1].
Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan nurani (freedom of conscience), merupakan hak
yang paling asli dan absolut serta meliputi kebebasan untuk memilih dan tidak
memilih agama tertentu. Menurut
konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai nilai yang
yang paling luhur (supreme value). Ia
menghendaki komitmen serta pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen
serta pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap
agen-agen otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah, dan masyarakat. Dalam
konteks demikianlah manusia dapat dikatakan sebagai manusia yang utuh, dalam
arti bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri
berdasarkan atas keyakinan keagamaan yang dianutnya. Permasalahan yang muncul
kemudian adalah apakah hukum (pidana) sebagai salah satu pranata sosial harus
tetap dilepaskan secara absolut ataukah dilibatkan terhadap masalah ini
mengingat salah satu tujuan hukum pidana adalah mengatur hidup kemasyarakatan
atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung
suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural
masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di
Indonesia[2].
Dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia
tersebut keinginan dan usaha untuk melakukan penggalian hukum agama sudah
banyak dilakukan.
Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kurang lebih 89%
penduduknya menganut agama ini. Dalam ajaran yang diyakininya, terdapat sistem
hukum Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Salah satu cabang dari hukum
pidana Islam (jinâyah) adalah adanya
ketentuan riddah atau murtad, yaitu tindak pidana bagi
seseorang yang pindah agama dari agama Islam ke agama lain.
Riddah yang secara harfiyyah berasal dari radda yang berarti mengembalikan (arja’uhu) atau memalingkan (sharafahu) adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke
kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari orang lain, baik
laki-laki maupun perempuan[3].
Dasar hukum ditetapkannya jarîmah riddah secara khusus
dan jelas disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari bahwa barangsiapa
mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. Selain itu, hadits lain yang dijadikan dalil adalah hadits riwayat Ibnu
Mas’ud bahwa Rasulullah telah bersabda :
“Tidaklah halal darah
seorang muslim kecuali salah satu dari tiga, yaitu : kafir setelah iman (riwayat
lain berbunyi meninggalkan Islam, pen.), zina setelah menikah (muhson), dan
membunuh”.
Sedangkan dalam Al Qur’an yang
dijadikan dasar antara lain :
“Barangsiapa yang murtad di
antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah ayat 217)
“Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah dia beriman (dia akan mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali orang
yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka
kemurkaan Allah akan menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl ayat
106)
“Jika mereka merusak sumpah
(janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka
perangilah pemimpiun-pemimpin orang-orang kafir itu, karena merka itu adalah
orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.”
(At Taubah ayat 12)
Berdasarkan
dalil-dalil inilah kemudian para fuqahâ menetapkan bahwa riddah termasuk dalam tindak pidana (jarîmah
hudûd) dan
sanksinya berupa hukuman mati.
Kecuali madzhab Hanafiyyah, sebagian besar madzhab fiqh
dalam hukum Islam menyatakan bahwa riddah termasuk ke dalam salah satu jarimah
hudud. Sedangkan menurut ulama-ulama
yang bermadzhab Hanafi, hudûd hanya dibagi menjadi lima yaitu zina, saraqah, syurb al-khamr, qath’
al-tharîq, dan qazaf. Menurut
mereka hudûd hanya
perbuatan-perbuatan yang ditetapkan dalam Al Qur’an. Qisâs tidak dimasukkan dalam hudûd
karena merupakan hak seseorang. Demikian pula ta’zîr tidak dimasukkan dalam hudûd
karena tidak ditentukan ukurannya[4].
Sanksi pidana yang dikenakan
terhadap pelaku riddah terdiri dari
tiga macam, yaitu :
1.
Pidana Pokok
Pidana
pokok untuk jarîmah riddah adalah
pidana mati. Sanksi pidana pokok lain adalah pidana penjara. Akan tetapi ini
hanya berlaku bagi perempuan yang murtad.
2.
Pidana Pengganti
Pidana
pengganti diberikan kepada pelaku riddah apabila
sanksi pidana pokok tidak dapat diterapkan, yaitu jika pelaku riddah telah bertobat. Sanski pidana
pengganti ini adalah ta’zir yang diputuskan oleh penguasa, berupa penahanan
sementara, dera, denda atau pencelaan dirinya.
3.
Pidana Tambahan
Sanksi
pidana tambahan untuk pelaku riddah adalah
merampas hartanya dan hilangnya hak terpidana untuk mengelola (tasarruf) hartanya.
Riddah dalam Perspektif Sosioreligius Bangsa Indonesia
Negara
Indonesia
merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan
adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan
ras. Letak geografis Indonesia
yang berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari
berbagai ras, suku bangsa, dan agama.
Kemajemukan
agama di Indonesia tidak
terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut
ditandai dengan munculnya banyaknya kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam
agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia
pada masa-masa selanjutnya.
Agama
bagi bangsa Indonesia
merupakan potensi yang besar. Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat
menjadi pendorong dan pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu
tentang agama dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik antarumat beragama
yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama Indonesia diharapkan selalu
terwujud dalam perjalanan hidup bangsa.
Setiap
agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk
menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta
kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda
dan pemikiran teologis yang berlain mengenai konsep ini merupakan sumber
perselisihan antarumat beragama.
Adanya
ketentuan dalam hukum Islam mengenai riddah
yang menghukum orang berpindah agama dapat dilihat sebagai wujud adanya
dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak ini. Oleh karena itu, ketentuan
demikian bagi bangsa Indonesia
yang menganut berbagai agama adalah ketentuan yang mustahil untuk diwujudkan
dalam hukum pidana. Konflik besar antara umat Islam dan umat agama lain akan
muncul jika ini dipaksakan. Menurut Shaikh Abdur Rahman,
hukuman mati seharusnya tidak dijatuhkan bagi orang yang murtad dalam keadaan
damai[5].
Berdasarkan
analisis historis politis, ketentuan pidana mengenai riddah dalam hukum Islam hanya diterapkan pada kondisi khusus yang
tidak dapat disamakan begitu saja dengan kondisi bangsa Indonesia.
Sejarah Islam telah mencatat, setelah Nabi melakukan pengusiran terhadap
orang-orang Yahudi Madinah yang mengkhianati perjajian Madinah, musuh kaum
muslimin di Madinah tidak hanya orang-orang kafir Makkah akan tetapi juga
kelompok Yahudi. Oleh karenanya, Nabi harus mengambil langkah-langkah politik
maupun hukum untuk memperkuat konsolidasi ke dalam.
Saat
itu, Islam adalah identik dengan negara/pemerintahan di Madinah. Pengkhianatan
terhadap Islam sama halnya pengkhianatan terhadap negara dan masyarakat
Madinah. Dalam suasana demikian, orang yang keluar dari Islam akan sangat
membahayakan kesatuan dan keutuhan pemerintahan Islam di Madinah yang baru saja
dibangun oleh Nabi. Oleh karena itu, Nabi
mendeklarasikan hukuman mati bagi orang yang keluar dari Islam[6].
Dugaan
bahwa hadits Nabi yang terkait bernuansa politik bukanlah tanpa dasar sama
sekali. Setelah Nabi wafat muncul gerakan riddah
di Bahrain, Oman, Mahra,
Hadhramaut, dan Yaman yang kemudian berhasil ditumpas oleh Abu Bakar. Gerakan riddah ini selalu dibarengi dengan
pembangkangan membayar zakat. Pada masa ini, pembangkangan membayar zakat
adalah salah satu tindakan pengkhianatan terhadap negara mengingat zakat adalah
satu-satunya sumber pendapatan negara. Namun, kebanyakan ahli fiqh memaknai gerakan politik Abu Bakar
ini dalam pengertian literalnya, yaitu penumpasan gerakan riddah. Akibatnya, garis batas antara persoalan politik dan
persoalan agama dalam kaitannya dengan proses pemaknaan murtad menjadi kabur[7].
Riddah dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia.
Menganalisis
hukum Islam tentang riddah berdasarkan
hukum positif Indonesia
tidak dapat mengabaikan awal sejarah berdirinya negara ini. Pada saat itu para
pendiri bangsa (founding fathers) menetapkan
bentuk negara, dasar negara, dan komponen negara lainnya.
Walaupun
dilihat dari pemeluknya muslim Indonesia
merupakan negara yang paling besar jumlah muslimnya, para pendiri bangsa
menetapkan bahwa negara Indonesia
bukanlah negara Islam, tetapi negara yang berdasarkan ideologi Pancasila.
Adanya
ketentuan dalam hukum Islam tentang riddah
yang berimplikasi adanya agama (Islam) yang lebih tinggi daripada
agama-agama lain bagi Indonesia
sangatlah tidak mungkin. Hal ini bertalian erat dengan sejarah bangsa Indonesia
bahwa kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada tahun 1945 bukan merupakan
hasil perjuangan dari satu kaum agama saja, tetapi merupakan hasil perjuangan
seluruh bangsa Indonesia[8].
Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara Indonesia dalam Pasal 27 ayat (1)
menyebutkan secara jelas bahwa segala warga negara berkedudukan yang sama di
hadapan hukum dan pemerintahan. Dalam pandangan hukum, warga negara Indonesia yang
satu dengan yang lain adalah sejajar, tanpa membedakan suku, agama, atau
kelompoknya (equality before the law). Hal
ini menjadi jaminan bagi negara Indonesia,
terutama di bidang hukum, tidak akan bersikap diskriminatif terhadap warga
negaranya. Ini juga mengandung arti bahwa tidak ada warga negara kelas kedua
dalam negara Indonesia.
Menganalisis
ketentuan hukum Islam tentang riddah dengan
tolok ukur pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas, semakin mudah dapat
dikatakan bahwa ketentuan yang ada dalam riddah
itu tidak sesuai dengan jiwa Pasal 27 (1) UUD 1945. Ketentuan mengenai riddah berimplikasi adanya ketidaksamaan
warga negara di mata hukum berdasarkan agama. Agama Islam dianggap sebagai
agama yang tertinggi di hadapan hukum negara sehingga jika orang keluar darinya
akan dikenai sanksi pidana.
Undang-Undang
Dasar 1945 juga menyatakan dalam Pasal 29 bahwa negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti negara Indonesia bukan negara agama yang
mendasarkan diri pada satu agama tertentu, melainkan negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa dan mengakui eksistensi agama-agama yang dianut warga negaranya[9].
Bahkan, dalam ayat kedua dari pasal tersebut disebutkan negara menjamin
kebebasan setiap penduduk untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya itu.
Dengan
hanya memperhatikan konstitusi negara Indonesia sudah dapat dinyatakan
bahwa ketentuan yang ada dalam hukum Islam tentang riddah tidak sejalan dengan hukum dasar tersebut. Oleh karena itu,
tak satu pun pasal-pasal yang mengatur tentang delik agama dalam hukum pidana
positif Indonesia (KUHP) yang mengatur adanya larangan untuk pindah agama (riddah). Riddah bukan persoalan yang urgen untuk dimasukkan ke dalam hukum
pidana nasional (KUHP) yang sekarang berlaku. Undang-undang Nomor 1/Pnps/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, sebagai salah satu
usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia, khususnya di bidang delik agama,
hanya menambah pasal baru (156a) tentang larangan melakukan penyalahgunaan atau
penodaan suatu agama yang dianut di Indonesia serta larangan melakukan
perbuatan agar orang lain tidak menganut agama apa pun (ateis).
Riddah dalam Perspektif Deklarasi Internasional
Sejak
tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui kebebasan agama dengan
mencantumkannya dalam Pasal 18 United
Nations Declaration of Human Rights yang dikeluarkan pada tanggal 10
Desember 1948 oleh Majelis Umum PBB. Deklarasi internasional mengeni hak-hak
asasi manusia sedunia itu menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran, hati nurani, dan agama; dalam hak ini termasuk kebebasan berganti
agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya
dengan cara sendiri maupun bersama-sama, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.
Pada
tahun 1966 dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 200A (XXI) 16 Desember 1966
kembali menyetuji Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Konvenan ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari Deklarasi Universal tentang
Hak-hak Asasi Manusia (Declaration of
Human Rights) yang telah dikeluarkan Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tahun
1948.
Dalam
Pasal 18 disebutkan secara khusus mengenai kebebasan berpikir, hati nurani, dan
agama. Selengkapnya, Pasal 18 tersebut menyatakan :
1. Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama. Hak ini meliputi
kebebasan untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya
sendiri, dan kebebasan untuk, baik sendirian maupun bersama-sama dengan orang
lain, dan baik di hadapan umum maupun di tempat pribadi, mewujudkan agama
kepercayaannya dengan pemujaan, penataan peribadatan, pentaatan, pengamalan,
dan pengajaran.
2. Tidak
seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk
menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri.
3.
Kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaan yang hanya dapat dikenal
pembatasan-pembatasan sebagaimana diatur dengan undang-undang dan perlu untuk
melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak
asasi dan kebebasan orang lain.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa juga mengeluarkan kembali deklarasi tentang Penghapusan Semua
Bentuk Ketidakrukunan dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan
dengan Resolusi Majelis Umum Nomor 36/55, 25 Nopember 1981. Dalam aturan yang
bersifat khusus ini Majelis Umum PBB memprihatinkan masih adanya berbagai
manifestasi ketidakrukunan dan adanya diskriminasi dalam persoalan-persoalan
agama atau kepercayaan di beberapa wilayah dunia.
Pasal
1 deklarasi tersebut yang tidak jauh berbeda dengan pernyataan-pernyataan PBB
mengenai kebebasan beragama dalam deklarasi-deklarasi sebelumnya, dinyatakan :
1.
Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama. Hak ini harus
mencakup kebebasan untuk menganut suatu agama atau kepercayaan apa pun
pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu maupun dalam masyarakat dengan
orang-orang lain, dan di depan umum atau sendirian, untuk mewujudkan agama atau
kepercayaannya dalam beribadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2. Tidak
seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya
untuk menganut suatu agama atau kepercayaan pilihannya.
3.
Kebebasan
untuk mewujudkan agama atau kepercayaan seseorang hanya boleh tunduk pada
pembatasan-pembatasan seperti yang ditetapkan oleh undang-undang dan yang
diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan
masyarakat atau kesusilaan umum atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Memperhatikan
persoalan riddah dalam hukum Islam
yang dapat memberikan pidana bagi pelaku yang berpindah agama (Islam) dengan
menghubungkannya dengan aturan-aturan internasional ini, tampaknya
bertentangan. Bahkan dalam Universal
Declaration of Human Rights disebutkan secara jelas bahwa “kebebasan
beragama meliputi juga kebebasan berganti agama atau kepercayaan”.
Di
samping itu, dihubungkan dengan kedua deklarasi selanjutnya, pemidanaan
terhadap pelaku riddah tidak selaras
dengan pernyataan dalam ayat (2), yang menyebutkan “tidak seorang pun dapat
dijadikan sasaran pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk menganut
suatu agama atau kepercayaan pilihannya”.
Hal ini dapat dikatakan bahwa dipidananya pelaku riddah jelas akan mengurangi kebebasan seseorang untuk menganut
suatu agama.
Dengan
adanya perbedaan pemahaman ini, maka pada saat pembahasan Universal Declaration of Human Rights di Perserikatan
Bangsa-Bangsa, khususnya yang mengarah pada Pasal 18 mengenai kebebasan agama
menimbulkan diskusi yang hangat di antara negara peserta. Perbedaan pandangan justru muncul di antara negara-negara
Islam, khususnya antara Arab Saudi yang menuntut Pasal 18 dihapuskan dan
Pakistan yang menganggap Pasal 18 tetap diperlukan. Perbedaan pandangan ini
disebabkan adanya latar belakang sosio kultural dan politik yang berbeda dari
kedua negara itu[10].
Memperhatikan
wacana yang berkembang di dunia internasional mengenai kebebasan beragama di
atas, dengan jelas menunjukkan bahwa riddah yang diancam pidana dalam
perspektif hukum Islam tidak sejalan dengan isi deklarasi internasional. Oleh
karena itu, tidak mungkin memasukkan hukum Islam tentang riddah dalam pembaharuan hukum pidana nasional, jika tidak ingin
mendapatkan kecaman dari dunia internasional.
Implementasi Hukum Islam
Tentang Riddah dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia
a. Delik terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam Konsep KUHP
Sejak
Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan dikuatkan dengan laporan Penelitian
Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN)
tahun 1973, digagas adanya pasal-pasal dalam hukum pidana nasional yang
memberikan perlindungan terhadap agama.
Akhirnya
dalam Konsep KUHP (Bab VII) yang mengatur tentang tindak pidana terhadap agama
dan kehidupan beragama mengatur beberapa delik :
a.
penghinaan
terhadap agama (Pasal 290);
b.
merintangi
dan sebagainya ibadah atau upacara/pertemuan keagamaan (Pasal 291 ayat (1));
c.
membuat
gaduh dekat bangunan untuk ibadah (Pasal 291 ayat (2));
d.
mengejek
orang yang sedang beribadah atau petugas agama (Pasal 292);
e.
merusak,
membakar, menodai bangunan, benda untuk beribadah (Pasal 293);
f.
menghasut
untuk meniadakan keyakinan/kepercayaan terhadap agama (Pasal 294);
g.
menghina
ke-Agungan Tuhan, firman dan sifat-Nya (Pasal 295);
h.
mengejek,
menodai atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran atau ibadah
keagamaan (Pasal 296); dan
i.
menyiarkan
atau mempertunjukkan tindak pidana dalam Pasal 290 atau Pasal 296 di atas
(Pasal 297).
Berdasarkan keterangan di atas, semakin jelaslah bahwa
pindah dari suatu agama ke agama yang lain, khususnya pindah dari agama Islam
ke agama lain bukanlah termasuk delik menurut Konsep KUHP. Hal ini tidak
terlepas dari tinjauan tujuan hukum pidana itu sendiri. Secara umum dan
sederhana dapat disebutkan bahwa tujuan hukum pidana adalah terciptanya
keteraturan dalam masyarakat. Dimasukkannya delik baru yang justru akan
menimbulkan kedamaian dan keteraturan masyarakat adalah jelas-jelas tidak
sesuai dengan tujuan hukum pidana.
Mohamed S. El Awa, seorang guru besar hukum Islam di Universty of
Riyadh mengedepankan aspek tujuan hukum pidana ini dalam mendiskusikan masalah riddah ini. Menurutnya, tinjauan dari aspek tujuan hukum pidana ini
banyak dilupakan oleh beberapa ahli hukum Islam, baik yang menganggap riddah sebagai tindak pidana maupun yang
tidak. Bagi pihak yang memasukkan riddah sebagai
tindak pidana, aspek tujuan tidak mungkin dianalisis karena pidana hudûd tidak luas dibicarakan. Mereka
menangkap aturan itu sebagai nas yang
tidak perlu lagi diperdebatkan. Demikian pula yang menolak riddah sebagai tindak pidana. Mereka terlalu menkonsentrasikan pada
bukti kebenaran pandangannya. Akhirnya Mohamed S. El Awa, menyimpulkan bahwa riddah tidak termasuk hudûd, melainkan dihukum dengan ta’zîr yang berat ringannya ditentukan
oleh penguasa. Namun hukuman ta’zîr ini
diberikan hanya jika riddah menyebabkan
kerusakan dalam masyarakat. Hal ini berarti, jika
perbuatan riddah tidak menimbulkan
kerusakan dalam masyarakat, maka tidak perlu ada hukuman apapun[11].
Namun demikian, ada pasal yang berkaitan dengan masalah
pindah agama ini yaitu Pasal 294. Selengkapnya, bunyi Pasal 294 tersebut adalah
:
“Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam
bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
denda paling banyak Kategori IV.”
Ada beberapa permasalahan
yang berkaitan dengan pindah agama dalam Pasal 294 ini, yaitu :
1.
Pasal
294 Konsep KUHP tersebut menyebutkan adanya larangan menghasut untuk meniadakan
kepercayaan atau keyakinan terhadap agama. Kata “agama” yang dipakai dalam
Pasal 294 menggunakan kata umum yang berarti meliputi seluruh agama yang diakui
di Indonesia. Hal ini berbeda dengan hukum Islam tentang riddah yang hanya memberikan hak istimewa kepada agama Islam.
2.
Dalam
pasal ini juga ditegaskan bahwa yang dilarang adalah “menghasut dalam bentuk apapun” (garis miring dari
penulis). Bentuk apapun mempunyai makna yang luas, sehingga dapat
dipermasalahkan apakah penyiaran kepada orang lain yang sudah beragama, untuk
pindah agama lain dapat dikategorikan ke dalam ketentuan pasal ini. Istilah
menghasut dalam bentuk apapun merupakan istilah yang sangat luas, termasuk di
dalamnya penyiaran yang dimaksudkan agar orang lain pindah dari agamanya. Oleh
karena itu, apabila memang penyiaran itu dimaksudkan agar orang lain pindah
dari agamanya, maka hal tersebut dapat dikategorikan ke dalam Pasal 294. Hanya
saja, dalam Pasal 294 disebutkan adanya syarat penghasutan itu dilakukan di
muka umum yang tidak mudah diterapkan dalam kasus riddah di atas.
3.
Selain
itu, hal yang membedakan Pasal 294 Konsep dengan aturan riddah dalam hukum Islam adalah pelaku tindak pidana
penghasutannya, bukan pelaku yang tidak yakin atau tidak percaya lagi pada
agamanya. Menurut hukum pidana
Islam, orang yang berbuat riddah-lah
yang dikenakan pidana.
Akan tetapi jika dilihat penjelasan, maksud Pasal
294 ini adalah adanya larangan untuk menghasut orang agar dia tidak beragama.
Selengkapnya penjelasan Pasal 294 tersebut berbunyi sebagai berikut :
“Penghasutan dilakukan dalam bentuk apapun, dengan
tujuan agar pemeluk agama yang dianut di Indonesia menjadi tidak beragama.”
Berdasarkan paparan mengenai tindak pidana terhadap
agama dan kehidupan beragama dalam Konsep KUHP di atas, hukum Islam tentang riddah tidak dimasukkan ke dalam Konsep
KUHP sebagai salah satu tindak pidana yang dapat dikenakan pidana. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan politik kriminal Indonesia, yang melihat
permasalahan riddah dari perspektif
sosio kultural Indonesia dan standar internasional mengenai hak asasi manusia.
Ijtihad dalam Implementasi Hukum
Islam tentang Riddah
Ijtihad merupakan
usaha sungguh-sungguh dari para ahli hukum Islam secara maksimal untuk mencapai
sesuatu. Berdasarkan ketentuan dalam ilmu fiqh,
ijtihad terbatas pada hukum yang
bersifat dzanniy (samar). Hal ini
disebabkan ijtihad itu sendiri baru
dilaksanakan jika tidak ada ketentuan dalam nash
Al Qur’an maupun Hadits. Sementara itu, hukum Islam tentang riddah menurut sebagian besar ahli hukum
Islam didasarkan atas beberapa nash Al Qur’an dan Hadits. Hal inilah yang
terkadang menjadi kendala untuk ber-ijtihad.
Persoalan ini terjawab dengan tiga argumentasi di bawah
ini.
Pertama,
salah satu madzhab yang dikenal dalam fiqh,
yaitu Imam Hanbali, tidak setuju jika riddah
tersebut dimasukkan ke dalam hudûd sebagaimana
zina, mencuri, dan sebagainya walaupun
imam-imam yang lain memasukkannya. Menurutnya,
yang bisa dimasukkan ke dalam hudûd hanyalah
jarîmah yang disebutkan secara qot’i (pasti) dalam Al Qur’an. Sementara
itu, Al Qur’an tidak menyebutkan adanya penghukuman riddah. Oleh karena itu, dengan tidak dimasukkannya riddah ke dalam hudûd berarti riddah bukanlah
perbuatan yang melanggar hak Allah yang hukumannya telah pasti dan manusia
tidak boleh merubahnya.
Hal
ini juga dikemukakan oleh beberapa ahli hukum Islam kontemporer menanggapi
beberapa ayat Al Qur’an yang digunakan dasar dimasukkannya riddah sebagai tindak pidana. Mereka menyatakan bahwa Al Qur’an
tidak secara eksplisit (qot’i)
menetapkan hukuman bagi riddah. Hukuman
bagi riddah adalah diserahkan kepada
Tuhan pada hari kiamat kelak, dan bukan di dunia sekarang.
Mengenai
masalah Abdullahi
Ahmed An Na’im mengajukan dasar pemikiran hukum
Islam baru mengenai riddah.
Menurutnya ayat yang menerangkan pembolehan melakukan kekerasan terhadap
non-muslim adalah ayat Madaniyyah. Sedangkan ayat-ayat Makkiyah
merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental dan bersifat universal
egalitarian demokratik, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat
manusia, tanpa pembedaan jenis kelamin (jender), keyakinan keagamaan, ras, dan
lain-lain. Pesan ini ditandai dengan
persamaan laki-laki dengan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih agama
dan keimanan. Oleh karena itu, seperti gurunya, Muhamed Mahmud Taha, An Na’im
menolak teori naskh yang tidak memberlakukan lagi ayat-ayat Makkiyah mengenai
kebebasan agama ini[12].
Kedua,
hadits yang digunakan sebagai dasar adanya pidana bagi riddah juga tidak lepas dari kritik dan komentar. Hadits Nabi yang
membolehkan adanya pemberian hukuman mati bagi pelaku riddah pun tidak lepas dari beberapa persoalan. Menurut Imam
Turmudzi, salah seorang perawi hadits terkenal, menyatakan bahwa seorang
narator (rawi) dari hadits tersebut
adalah majhûl (tidak dikenal)[13].
Oleh karena itu, hadits tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori hadits
shahih. Padahal, salah satu syarat
dapat dipergunakannya hadits sebagai dasar dalam menetapkan hukum adalah
kesahihannya.
Sedangkan
hadits lain tidak terlepas dari persoalan, yaitu :
“Tidaklah halal darah seorang
muslim kecuali salah satu dari tiga, yaitu : kafir setelah iman (riwayat lain
berbunyi meninggalkan Islam dan memisahkan diri dari jama’ah/at
târik lidinihi al-mufariq li al-jamâ’ah, pen.), zina setelah menikah (muhsan), dan membunuh”.
Dalam
hadits riwayat Abu Dawud, disebutkan
dengan redaksi rojulun kharaja muhariban
billâhi warasûlihi fainnahu yuqtalu au yusallabu au yunfa min al-ard (lelaki
yang keluar untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya maka dibunuh, disalib atau
dihukum) sebagai pengganti dari at tarik
lidinihi al mufariqu li al-jamâ’ah. Adanya
keterangan inilah yang kemudian Ibn Taimiyah menyatakan
bahwa kejahatan yang ditunjukkan dalam hadits tersebut adalah hirabah (armed robbery). Hadits
tersebut tidak menyatakan murtad secara sederhana,tetapi disertai dengan
pembangkangan kepada Tuhan dan Rasul-Nya[14].
Adapun
mengenai hadits yang paling jelas menyatakan jenis sanksi bagi tindakan riddah adalah yang diriwayatkan dari Ibn
Abbas, bahwa Rasulullah bersabda : ”Barangsiapa mengganti agamanya, maka
bunuhlah ia” Muhammad
Ali menyatakan cakupan hadits ini sangat luas,
meliputi seluruh perpindahan dari suatu agama ke agama lain, tidak hanya keluar
dari Islam. Oleh karena itu, hadits ini tidak dapat dipakai sebagai dasar
pembenaran pidana riddah[15].
Ketiga, jika memang Al Qur’an memang bermaksud memberikan
hukuman pidana bagi pelaku riddah, dan
beberapa hadits yang digunakan sebagai dasar dipidananya riddah adalah sahih, maka
ijtihâd merupakan alternatif untuk
menjawab persoalan riddah di
Indonesia ini. Ijtihâd juga
diperbolehkan dalam bidang yang telah ada nash
Al Qur’an dan haditsnya. Sebagai contoh Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang
kemudian menjadi khalifah kedua, pernah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah hukum, walaupun nas Al Qur’an dan Hadits telah menyebutkan secara jelas, di
antaranya mengenai tanah rampasan perang, dera bagi minuman keras, dan hukuman
bagi pencuri[16].
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa ijtihad merupakan salah satu metode yang
dapat digunakan guna menjawab implementasi hukum Islam tentang riddah dalam pembaharuan hukum Islam di
Indonesia. Hal ini dilakukan agar kerukunan antarumat beragama di Indonesia
tetap terjamin dan ditinjau dari segi hukum Islam juga dibenarkan. Metode ijtihad ini merupakan metode yang
dibenarkan dalam menghadapi situasi atau kondisi yang mengharuskan ada
pemikiran baru. Sebagaimana diakui dalam hukum Islam, tark al mafsadah muqoddamun ‘ala jalb al mashalih (mencegah
kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kebaikan) merupakan prinsip
hukum yang fundamental bagi penerapan hukum Islam.
Usaha ijtihâd pernah dilakukan Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1993. Tim itu sepakat untuk tidak
memasukkan riddah sebagai tindak
pidana dalam hukum pidana nasional Indonesia mendatang, namun mengusulkan
perubahan dan penambahan pasal-pasal, yaitu salah satunya mengenai pindah agama
ini dengan redaksi :
“Barangsiapa
menimbulkan keresahan dengan menyiarkan kepada orang atau kelompok orang yang
beragama lain atau menyiasati orang atau kelompok orang untuk berpindah agama
(garis bawah dari penulis) diancam dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun
atau denda paling banyak kategori IV”.
Mencermati rumusan pasal yang diusulkan Tim Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut maka tampaklah bahwa yang
dipidana bukanlah orang pelaku riddah (murtad),
akan tetapi orang yang menimbulkan keresahan karena menyiarkan agama kepada
orang yang telah beragama. Namun
demikian, walaupun usaha ini dapat dikatakan sebagai ijtihad baru mengenai
hukum Islam tentang riddah, Konsep KUHP 1999/2000 tidak memasukkan
usulan dari Tim Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga ini.
Penutup
Setelah mencermati lebih lanjut ketentuan-ketentuan
dalam hukum Islam tentang riddah, maka
keberadaan hukum Islam tentang riddah
tidak mungkin dimasukkan sebagai tindak pidana dalam pembaharuan hukum pidana
Indonesia, mengingat dan memperhatikan faktor-faktor sosial politik dan
historis bangsa Indonesia, deklarasi-deklarasi internasional mengenai hak asasi
manusia, dan pendapat beberapa ahli hukum Islam yang moderat berpandangan bahwa
riddah tidak dapat dianggap sebagai
bagian dari hudud.
Dengan memperhatikan berbagai faktor tersebut, maka
dalam rangka membentuk hukum pidana nasional yang sesuai dengan sosiopolitik,
sosiofilosofik dan sosiokultural bangsa Indonesia, riddah tidak perlu dimasukkan sebagai salah satu tindak pidana
dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Namun demikian, dimungkinkan adanya ijtihad dari para ahli hukum, khusunya ahli hukum Islam di
Indonesia. Hal ini, selain untuk menjembatani persoalan riddah, agar nilai-nilai hukum Islam tetap mampu memberikan
kontribusi positif bagi pembaharuan hukum nasional.