Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak
Tiap sistem
hukum yang ada di dunia memandang berbeda terhadap delik perzinahan sebagai
bagian dalam delik-delik mengenai kesusilaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
cara pandang dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Sistem hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan,
perzinahan akan dipandang sebagai sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini
berbeda menurut masyarakat yang lebih bercorak individualis. Mereka menilai
perzinahan sebagai bentuk perbuatan yang biasa dan tergantung kemauan tiap
individu. Perzinahan akan dipandang tercela jika terjadi hal itu dilakukan dalam
bingkai perkawinan.
Usaha
pembaharuan hukum pidana Indonesia
yang didengung-dengungkan selama ini, diharapkan banyak membuat
perubahan-perubahan baru mengenai kelemahan aturan pidana mengenai delik
perzinahan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Oleh karena itu, semenjak
Konsep KUHP dikeluarkan pada tahun 1964, aturan delik perzinahan mengalami
perubahan signifikan.
Pendahuluan
Pada tulisan
yang lalu, penulis telah memaparkan delik perzinahan secara yuridis formil
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 284 KUHP. Pembahasan secara
positifistik tersebut ternyata memperjelas pemahaman, bahwa delik perzinahan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 284 KUHP memiliki banyak kelemahan
secara moril. Nilai dasar yang dipakai dalam membentuk Pasal 284 KUHP berbeda
sama sekali dengan konsepsi masyarakat Indonesia mengenai zina itu
sendiri. Jelas sekali, perbedaan pandangan demikian berimbas pada perbedaan
pengaturan zina dalam hukum pidana.
Oleh karena
itu, dalam kesempatan kali ini penulis kembali memaparkan kembali mengenai
tindak pidana perzinahan, akan tetapi dalam sudut yang berbeda dengan tulisan
yang lalu. Dalam tulisan ini, penulis berusaha memaparkan perbandingan delik
perzinahan yang ada dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum lain
mengenai tindak pidana perzinahan. Selain itu, akan dipaparkan pula bagaimana
usaha yang telah dilakukan untuk mengeliminir kelemahan pengaturan delik
perzinahan menurut KUHP dalam kerangka pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Perbandingan
Delik Perzinahan dalam Hukum Pidana Positif Indonesia dengan Sistem Hukum
Pidana Lain.
1. Hukum Pidana Islam
Dengan membandingkan hukum pidana Islam dengan
hukum pidana positif Indonesia (KUHP) dapat dikemukakan perbedaan-perbedaan
sebagai berikut:
a. Menurut KUHP, zina hanya dapat
terjadi bila ada persetubuhan antara kedua orang pelaku (pria dan wanita) telah
kawin, atau salah satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan orang
lain. Bukanlah perzinahan apabila perzinahan itu dilakukan dengan paksaan (vide
pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya (vide pasal 286 KUHP) dan persetubuhan dengan perempuan yang
belum cukup umur lima
belas tahun (vide pasal 287 KUHP). Sedangkan menurut hukum pidana Islam,
tidak mempersoalkan apakah pelaku-pelakunya telah diikat perkawinan dengan
orang lain atau belum. Setiap persetubuhan di luar perkawinan yang sah adalah
zina. Adapun persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan atau persetubuhan dengan wanita dalam keadaan tidak berdaya
atau pingsan hanya merupakan alasan penghapus pidana bagi wanita yang menjadi
korban.[1]
Bagi pria yang melakukan perbuatan-perbuatan itu tetap dikategorikan sebagai
pelaku zina.
b. Menurut ketentuan yang diatur
di dalam KUHP, perzinahan hanya dapat terjadi jika ada persetubuhan yang
dilakukan orang yang telah terikat dengan perkawinan. Sedangkan orang yang
belum menikah dalam perbuatan ini adalah
termasuk orang yang turut melakukan (medepleger).
Sedangkan perzinahan dalam tinjauan hukum pidana Islam adalah lebih luas dari
pada pembatasan-pembatasan dalam KUHP tersebut. Hukum pidana Islam tidak
mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Apabila persetubuhan ini
dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini
dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân.
c.
Ancaman pidana yang ditetapkan
dalam pasal 284 ayat (1) KUHP adalah pidana penjara sembilan bulan, baik bagi
pelaku yang telah menikah maupun bagi orang yang turut serta melakukan
perbuatan zina itu. Sedangkan menurut hukum pidana Islam, ancaman pidana
disesuaikan dengan pelaku perzinahan. Jika pelaku zina itu muhsân atau telah menikah maka ancaman pidananya adalah rajam (stoning to death). Namun jika
perzinahan itu dilakukan oleh orang yang belum menikah (gâiru muhsân) maka
ancaman pidananya adalah dicambuk atau didera sebanyak delapan puluh kali.
d. Ketentuan yang mengatur
mengenai persaksian tidak diatur secara khusus dalam delik perzinahan menurut
KUHP. Maka sistem pembuktian delik perzinahan sama dengan sistem pembuktian
delik-delik yang lain. Artinya, alat bukti yang digunakan dalam membuktian
adanya perbuatan zina ini seperti alat-alat bukti yang telah diatur dalam pasal
184 KUHAP, yaitu :
1.
keterangan saksi;
2.
keterangan ahli;
3.
surat;
4.
petunjuk;
5.
keterangan terdakwa.
Selanjutnya pasal 185
ayat (3) mengatur bahwa keterangan seorang saksi saja cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Ketentuan
seperti ini berbeda dengan ketentuan mengenai delik perzinahan dalam hukum
pidana Islam. Hukuman (had) dapat dijatuhkan apabila ada pengakuan dari
pelaku bahwa dia telah melakukan zina atau dari keterangan saksi. Karena
menyangkut hidup dan matinya seseorang, keterangan saksi ini mempunyai
persyaratan-persyaratan yang khusus, yaitu:
1.
jumlah saksi harus empat orang
laki-laki atau apabila tidak ada orang laki-laki maka setiap orang laki-laki
hanya dapat digantikan oleh dua orang wanita;
2. saksi-saksi itu haruslah sudah
baligh, berakal sehat dan bersikap adil;
3. saksi-saksi itu harus beragama
Islam;
4.
keempat orang saksi itu
mengetahui peristiwa perzinahan secara mendetail.[2]
e. Pasal
284 ayat (2) KUHP mengatur bahwa delik perzinahan adalah delik aduan absolut (absoluut
klachdelicten) yang hanya dapat dituntut atas pengaduan suami atau isteri
yang tercemar dengan adanya perzinahan itu (vide pasal 284 ayat (2)
KUHP). Hal ini berbeda dengan dengan hukum pidana Islam yang tidak membatasi
pada aduan absolut. Hukum pidana Islam tidak memandang zina sebagai delik aduan, tetapi dipandang sebagai
dosa besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari orang-orang yang
bersangkutan. Jika persyaratan saksi-saksi telah terpenuhi maka qodli (hakim ) dapat memutuskan perkara
perzinahan itu. Saksi di sini tidak menutup kemungkinan dari suami/isteri
pelaku atau pun orang lain.
2. Hukum Pidana Adat
Dengan membandingkan hukum pidana adat dengan hukum
pidana positif Indonesia (KUHP) dapat dikemukakan perbedaan-perbedaan sebagai
berikut
a. Menurut ketentuan yang
disebutkan dalam KUHP perzinahan dapat terjadi apabila ada persetubuhan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang keduanya atau salah seorang dari mereka
telah terikat perkawinan dengan orang
lain. Sedangkan menurut hukum adat perzinahan tidak hanya dilakukan oleh orang
yang sudah kawin. Jadi baik sudah menikah maupun belum menikah jika melakukan
persetubuhan di luar hubungan yang sah tetap dianggap sebagai perbuatan yang
terlarang dan disebut juga sebagai zina.[3]
b. Pasal 284 ayat (1) KUHP
menentukan bahwa perbuatan zina dapat diancam dengan pidana penjara sembilan
bulan, baik bagi pelaku yang sudah kawin maupun bagi orang yang turut melakukan
perbuatan itu. Namun menurut hukum pidana adat, berat atau ringannya pidana
tergantung dari hukum adat yang berlaku di lingkungan adat masing-masing.[4]
Adapun tindakan reaksi atau koreksi terhadap kejahatan dalam lingkungan
masyarakat adat Indonesia dikenal tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. penggantian kerugian materiel dalam
berbagai rupa seperti paksaan untuk menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2. pembayaran uang adat kepada
yang terkena, berupa benda sakti sebagi pengganti kerugian rohani;
3. selamatan (korban) untuk
membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib;
4. penutup malu atau permintaan
maaf;
5.
pengasingan dari masyarakat
serta meletakkan orang di luar tata hukum;
6.
hukuman badan hingga hukuman
mati.[5]
c. Hukum
pidana Indonesia (KUHP) menganut asas legalitas formal sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 1 KUHP, yaitu tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum
melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan itu dilakukan. Akibat dianutnya asas legalitas formal ini
maka tafsiran analogi tidak boleh dipergunakan dalam menentukan adanya tindak
pidana. Sedangkan asas legalitas formal ini tidak dikenal dalam hukum adat.
Setiap perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan,
ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat
bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa
sendiri, maka perbuatan atau kejadian itu dianggap sebagai delik adat.[6]
Oleh sebab itu dengan alasan manusia tidak akan mampu meramalkan masa yang akan
datang, maka ketentuan-ketentuan dalam hukum adat tidak pasti dan bersifat
terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang
dijadikan ukuran utama menurut hukum adat adalah rasa keadilan dan kesadaran
hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan, waktu dan tempat.[7]
3. Hukum Pidana Negara Lain
Delik perzinahan di berbagai negara asing banyak
yang telah dihapuskan dari hukum pidana positifnya seperti Belanda sebagai
sumber KUHP Indonesia, Perancis dan Inggris. Alasan-alasan penghapusan pidana
untuk delik perzinahan ini adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan zina merupakan
perbuatan tercela tetapi jika tujuannya untuk melindungi perkawinan yang sah
sehingga diberi sanksi pidana, maka hal tersebut tidak dapat dipertahankan
karena rumusan hukumnya mewajibkan bagi mereka bercerai. Kalau akan bercerai,
sia-sia memberi pidana yang bersangkutan.
b.
Penegakan hak asasi manusia
yang telah berpengaruh luas sehingga kesamaan hak untuk menikmati seks dianggap
milik manusia yang telah dewasa. Kesamaan antara pria dan wanita berakibat pula
pada kesamaan antara suami dan isteri. Suami isteri hidup berdampingan tanpa
ada yang merasa lebih tinggi atau berkuasa.
c.
Dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, maka seks telah dianggap
sebagai kebutuhan orang dewasa. Menyadari hal tersebut maka pasukan perang dibagikan
kondom dan narapidana diberi kesempatan untuk itu.[8]
Walaupun demikian ada beberapa negara yang
masih menganggap perzinahan sebagai
delik yang diatur dalam KUHP-nya. Berikut akan dikemukakan negara-negara yang
masih mempertahankan perzinahan sebagai delik dan perbedaannya dengan ketentuan
delik perzinahan menurut KUHP Indonesia.
a. KUHP Filiphina
Ketentuan mengenai delik perzinahan menurut KUHP
Filiphina disebutkan di dalam Buku II tentang Kejahatan dan Pidana, Titel II
tentang Kesucian Hubungan Seksual. Ketentuan delik perzinahan itu menyebutkan :
Pasal 333
(Permukahan)
Mukah ialah dilakukan
oleh seorang wanita yang mengadakan senggama dengan seorang pria yang bukan
suaminya dan oleh seorang pria yang mengadakan hubungan senggama dengan wanita
yang diketahuinya sudah menikah, meski perkawinan itu kemudian dinyatakan
batal.
Mukah dipidana dengan prision
correctional dalam masa waktu menengah dan minimumnya.
Jika orang yang
bersalah karena mukah melakukan delik ini pada saat ditinggalkan tanpa izin oleh
suaminya, maka pidana yang ditentukan adalah setingkat lebih rendah dari pada
yang ditetapkan dalam paragraf di atas.[9]
Pada prinsipnya ketentuan delik pezinahan yang
diatur dalam KUHP Filiphina tersebut adalah sama dengan yang diatur dalam KUHP
Indonesia, yaitu jika dilakukan oleh pria atau wanita yang telah menikah. Akan
tetapi di sini disebutkan pula ketentuan pidana bagi suami yang melakukan
pergundikan, yaitu diatur dalam pasal 334. Pasal 334 itu berbunyi sebagai
berikut :
“Seorang suami yang
memelihara gundik yang tinggal bersama sebagai suami isteri, atau melakukan
hubungan seksual dalam kemudian tidak senonoh dengan seorang perempuan yang
bukan isterinya, atau tinggal bersama sebagai suami isteri di suatu tempat,
dipidana prison correctional dalam masa waktu minimum dan menengahnya”.
Selain
itu bagi pelaku zina dan pergundikan diancam hukuman penjara koreksi (prison correctional). Pasal 92 KUHP
Filiphina menyebutkan bahwa prison
correctional adalah penjara sepuluh tahun.
b. KUHP Korea
Ketentuan
mengenai zina di atur KUHP Korea dalam Bab 22 dengan judul “Crimes Against Moral”. Zina (adultery) menurut KUHP Korea termasuk
delik kesusilaan yang diancam pidana maksimum dua tahun. Perbedaannya dengan
KUHP Indonesia adalah pengaduan delik przinahan
tidak dapat ditarik kembali jika suami atau isteri memanfaatkan mukah
itu. Selain itu dalam Bab 32 berjudul “Crimes
Concerning Chasity” (Kejahatan yang Berhubungan dengan Kesucian) dalam
pasal 304 diatur mengenai sexual
intercourse under pretex of marriage, yaitu persetubuhan yang dilakukan
dengan cara membujuk wanita baik-baik dengan dalih untuk dikawin atau dengan
cara-cara tipuan lain.[10]
c. KUHP Argentina
Mukah (overspel) diatur dalam Pasal 118 tentang
Kejahatan terhadap Kesusilaan Umum. Ketentuan mengenai perzinahan ini berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 118
Siapapun dari
orang-orang berikut ini akan dipidana dengan tutupan dari satu bulan sampai
dengan satu tahun :
1. perempuan
bersuami yang melakukan mukah (overspel)
2. seorang
yang melakukan mukah (overspel) dengan perempuan bersuami
3. seorang
laki-laki beristeri yang memelihara gundik baik di rumah tangganya sendiri atau
di mana saja
4. gundik
demikian dari laki-laki beristeri.[11]
Berdasarkan ketentuan demikian, menurut KUHP
Argentina pada dasarnya mirip dengan ketentuan dalam KUHP Indonesia yaitu delik
perzinahan hanya dapat terjadi bila salah seorang pelakunya telah terikat perkawinan dengan orang lain.
d. KUHP Yugoslavia
Delik
kesusilaan dapat dilihat dalam Chapter XVI dengan judul “Criminal
Offences Against the Dignity of the Person and Morals” atau Tindak
Pidana-tindak pidana yang Melawan Kehormatan Seseorang dan Moral pada pasal 179
sampai dengan pasal 189. Dalam bagian ini
tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang delik perzinahan. Akan tetapi di dalam pasal 193 disebutkan pasal yang mengatur tentang kumpul
kebo sebagai berikut :
(1) yang
dipidana adalah kumpul kebo antara orang dewasa dengan anak yang telah mencapai
usia 14 tahun, pidananya tidak kurang dari tiga bulan penjara
(2) pidana
yang sama juga dikenakan pada orang tua atau wali yang mengizinkan atau
mendorong/membujuk anak di atas 14 tahun untuk kumpul kebo dengan orang lain
(3) apabila
ayat (2) dilakukan untuk kepentingan pribadi, maksimum pidananya lima tahun
penjara berat
(4) apabila
perkawinan berlangsung, penuntutan tidak dilakukan; dan apabila telah diadakan
penuntutan, penuntutan itu tidak dilakukan.[12]
Dasar Pembenaran terhadap Perzinahan sebagai Delik dalam KUHP
Upaya
penanggulangan kejahatan senantiasa menjadi pembicaraan yang menarik bagi
banyak kalangan, khususnya ahli hukum pidana dan kriminologi. Dalam hukum
pidana ada pembicaraan mengenai norma, yakni larangan atau suruhan, dan ada
sanksi atas pelanggaran norma-norma itu berupa ancaman pidana. Dalam kriminologi masalah
penanggulangan kejahatan manjadi bagian penting dengan kajian penologinya yang
menaruh perhatian pada pengendalian kejahatan dengan sistem sanksi pidana.
Kejahatan
perlu mendapatkan kajian serius mengingat kerugian yang ditimbulkannya.
Kerugian tersebut dapat terjadi pada negara, masyarakat maupun individu
sehingga perlu diatasi. Oleh sebab itu negara memberikan reaksi berupa larangan
terhadap perbuatan itu serta memberikan sanksi bagi orang yang melanggarnya.
Di
samping itu dalam kenyataan sosial, reaksi sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan
tidak hanya diberikan oleh negara. Masyarakat dan individu yang merasa
dirugikan rasa keadilannya akan memberikan reaksi pula. Aturan pidana yang
kurang layak sering menjadi obyek ketidakpuasan masyarakat yang akhirnya
menumbuhkan reaksi sosial. Hal ini semakin jelas apabila diperhatikan hasil
penelitian yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional mengenai
Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana. Baik masyarakat Bali, Aceh ataupun Manado
memandang bahwa KUHP sekarang belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Kondisi di atas sangat dimungkinkan terjadi karena pengertian kejahatan menurut
hukum pidana berbeda dengan pengertian kejahatan menurut masyarakat.
Berkaitan
dengan hal tersebut terjadi ketidakpuasan dari sebagian masyarakat mengenai
perilaku-perilaku menyimpang terutama dalam lingkup kesusilaan. Hal ini
disebabkan karena perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma masyarakat
belum mendapatkan tempat semestinya dalam hukum pidana. Sebagai misal perbuatan
zina yang menurut pengertian masyarakat berbeda dengan pengertian zina dalam
hukum pidana Indonesia (KUHP).
Namun
demikian Sudarto telah
memberikan pijakan awal bahwa apabila hukum pidana itu digunakan untuk
mengatasi permasalahan sosial tersebut maka harus dipertimbangkan secara matang, karena hukum pidana itu
mempunyai fungsi subsidier. Artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain
diperkirakan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Jika hukum pidana tetap dilibatkan untuk mengatasi permasalahan
sosial tersebut maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik
kriminal.[13]
Para
penegak hukum maupun ahli hukum banyak
yang menyetujui delik perzinahan tetap diatur sebagai salah satu delik
baik dalam hukum pidana sekarang maupun untuk hukum pidana masa yang akan datang,
walaupun pengertian perzinahan menurut aturan hukum pidana sekarang tidak
seluas perzinahan menurut pandangan
masyarakat, dengan mendasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang
mengakui keberadaan hukum tidak tertulis serta pernyataan hasil seminar atau
simposium berikut ini :
a. Pasal 5 ayat (3) sub b
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara
untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil yang berbunyi sebagai berikut :
“…Bahwa suatu perbuatan
yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana, akan
tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau
denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat
yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…………Bahwa bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim itu melampaui hukuman
kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka ……terdakwa dapat dikenakan
hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian bahwa
hukuman adat yang….tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti
tersebut di atas.
b.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Pasal
14 ayat (1) berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Pasal
23 ayat (1) berbunyi :
“Segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga
harus memuat oula pasal-pasal tertentu dari aturan yang bersangkutan atau
bersumber dari hukum yang tidak tertulis”.
Pasal
27 ayat (1) berbunyi :
“Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup”.
c.
Resolusi Bidang Hukum Pidana
Seminar Hukum Nasional ke-1 Tahun 1963
Resolusi
Butir IV :
“Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat
tadi adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini
maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan
perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan
masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai
dengan martabat bangsa”
Resolusi
Butir VIII :
“Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan
dalam KUHP”
d. Kesimpulan Komisi II Simposium
Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana Tahun 1975.
“Tentang tanggapan terhadap perbuatan pidana dalam
KUHP dan perbuatan tercela lainnya, yang mempunyai norma yang saling menunjang
antara norma hukum dan norma agama/adat, antara lain:
1). Perzinahan;
2). Pelacuran;
3). dan lain-lain,
Sidang mendapatkan
pandangan-pandangan/pendapat-pendapat yang titik beratnya ditujukan kepada :
1)
Perzinahan
dalam KUHP diberikan arti yang luas, karena pada waktu sekarang dipandang tidak
cocok lagi.
2)
Mengenai
perzinahan dengan pemberian sanksi harus mengawini, timbul persoalan apabila
salah satu pihak telah dalam ikatan perkawinan di mana perkawinan baru
dihalangi oleh perkawinan lama. Demikian juga timbul persoalan anak yang
dilahirkan akibat perzinahan memungkinkan anak yang dilahirkan tetap menjadi
anak zina sekalipun oleh kedua orangtuanya kemudian diikuti dengan perkawinan.”
e.
Seminar Hukum Nasional IV Tahun
1979
Dalam laporan sub B II
mengenai “Sistem Hukum Nasional” dinyatakan antara lain:
a. Sistem
Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat
Indonesia.
b.
…
Hukum Nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping itu
hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional.[14]
Adapun keputusan-keputusan Pengadilan yang mengakui
perzinahan sebagai salah satu delik dengan mendasarkan pada hukum yang hidup
yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana karena
perzinahan adalah sebagai berikut :
a.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1977 No.
K/Kr/1976.
“Delik
adat zinah merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria
dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbutan tersebut itu
dilakukan seperti disyaratkan oleh pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari
persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan
oleh pasal 284 KUHP”.
b.
Putusan Mahkamah Agung No. 666
K/Pid/1984.
Putusan
kasasi ini menyangkut seorang terdakwa pemuda (30 tahun) yang menjalin hubungan
badan dengan gadis (24 tahun) dengan dalih akan dinikahi. Akan tetapi setelah
gadis tersebut hamil, pemuda tersebut menolak menikahi gadis tersebut. Menurut
masyarakat Luwuk, Sulawesi Tengah tempat
kejadian kasus ini perbuatan itu termasuk delik adat zina yang tidak ada
bandingannya dalam KUHP. Atas dasar pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang
Darurat No. 1 Tahun 1951 terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara tiga bulan.
c. Putusan Pengadilan Negeri
Denpasar No. 79/Tol. Pid/1983/PN Denpasar, putusan Pengadilan Negeri Denpasar
No. 104/PN/Dps/Pid/1980, putusan No. 2/Pid/B/1985/PN Denpasar, putusan No.
25/Pid/B/1986/PN Denpasar dan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.
22/Pid./S/1988/PT Dps untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27
Januari No. 1/Pid./S/1988/PN Klk.
Semua
putusan Pengadilan Bali ini menyangkut delik adat lokika sanggraha. Unsur-unsur yang menonjol adalah persetubuhan
dilakukan oleh dua orang yang berada di luar perkawinan dengan janji akan
dinikahi, atas dasar suka sama suka, namun ternyata pihak pria mengingkarinya.
Dasar pemidanaannya adalah pasal ayat
(3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal 359 Kitab Adigama.[15]
Prospek Delik Perzinahan dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Menurut naskah
rancangan KUHP Baru yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 dan
disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993, delik perzinahan
diatur dalam pasal 385 (14.09) Konsep KUHP. Pasal 385 ini dimasukkan ke dalam
salah satu tindak pidana dalam Bab XIV tentang Perbuatan Melanggar Kesusilaan
di Muka Umum Buku II Konsep KUHP.
Adapun perkembangan delik perzinahan
di dalam Konsep KUHP sudah dimulai sejak dikonsepkannya KUHP pertama kali yaitu
pada tahun 1977 (Konsep BAS). Dalam Konsep 1977 ini delik perzinahan diatur
sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP dengan ada beberapa perubahan. Akan tetapi dimasukkan pula delik-delik baru
yang berhubungan dengan delik perzinahan yaitu persetubuhan di luar nikah yang
berakibat hamilnya wanita dan pria menolak untuk mengawininya (pasal 301),
penyalahgunaan alat-alat pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan yang
sah (pasal 302) dan tindak pidana kumpul kebo (pasal 303).
Pada perkembangan selanjutnya delik
mengenai penyalahgunaan alat pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan
yang sah (pasal 302) dan kumpul kebo (pasal 303) dihapus di dalam Konsep KUHP
tahun 1984/1985. Peniadaan kedua pasal ini diikuti pula pada Konsep KUHP tahun
1986/1987, Konsep KUHP tahun 1989/1990 dan Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai
dengan Februari 1992). Namun di dalam Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan
Desember 1992) kumpul kebo yang diatur dalam Konsep BAS tahun 1977 dimasukkan
kembali sebagai salah satu tindak pidana kesusilaan.[16]
2. Ketentuan Mengenai Delik
Perzinahan dalam Konsep KUHP Tahun 1991/1992 (sampai dengan 13 Maret 1993)
Sebagaimana yang telah disebut di
atas, delik perzinahan dalam Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan 13
Maret 1993) dicantumkan dalam pasal 385 (14.09) dengan perumusan sebagai
berikut :
Pasal 385 (14.09)
(1)
Dipidana
karena permukahan, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
ke - 1 a. seorang laki-laki
yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan seorang
perempuan yang bukan isterinya;
b. seorang perempuan yang berada
dalam ikatan perkawinan yang melakukan persetubuhan dengan seorang laki-laki yang
bukan suaminya;.
ke - 2 a. seorang laki-laki
yang melakukan perbuatan tersebut, sedangkan diketahuinya bahwa perempuanyang
bersetubuh dengan ia itu berada dalam ikatan perkawinan;
b.
seorang perempuan yang
melakukan perbuatan tersebut sedangkan
diketahuinya bahwa laki-laki yang bersetubuh dengan dia itu berada dalam ikatan
perkawinan
(2)
Tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami/isteri yang tercemar.
(3)
Terhadap
pengaduan ini tidak berlaku pasal 27, 28 dan 108 KUHP.
(4)
Pengaduan
dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Apabila dibandingkan dengan
ketentuan delik perzinahan dalam pasal 284 KUHP maka akan diketahui beberapa
perbedaan dan persamaan mengenai delik perzinahan itu.
Menurut Konsep KUHP istilah yang digunakan
untuk menunjuk pada perbuatan zina adalah dengan istilah permukahan. Hal ini
apabila istilah tersebut tetap dipakai sampai disahkannya rancangan
Undang-undang KUHP maka akan menjadi
istilah yang dipakai secara yuridis. Berbeda dengan KUHP sekarang yang aslinya
berbahasa Belanda. Terdapat perbedaan pada beberapa terjemahan KUHP dalam mengartikan kata overspel pada pasal 284 KUHP itu.
Berdasarkan pasal 385 ayat (1)
Konsep KUHP pelaku tindak pidana permukahan mendapatkan ancaman pidana penjara
paling lama lima tahun. Sedangkan di dalam KUHP ancaman pidana bagi pelaku zina
lebih rendah , yaitu pidana penjara sembilan bulan.
Perkembangan lain yang dapat dilihat dalam pasal 385 ayat
(1) Konsep KUHP adalah bahwa Konsep tidak membedakan antara pelaku yang telah
kawin dengan pelaku yang belum kawin. Seperti yang dirumuskan dalam KUHP bahwa
perzinahan hanya dapat terjadi apabila seseorang telah kawin melakukan
persetubuhan. Sedangkan mereka yang belum kawin yang diatur dalam pasal 284
ayat (1) angka 2 disebut sebagai orang yang turut serta. Namun di dalam rumusan
Konsep KUHP tidak digunakan kata turut sebagaimana di dalam KUHP. Dengan
demikian, menurut Konsep KUHP seseorang
yang belum kawin disebut pula sebagai pelaku perzinahan.
Akan tetapi pada pokoknya antara
KUHP dengan Konsep KUHP mempunyai pandangan yang sama yaitu perzinahan atau
permukahan hanya dapat terjadi apabila keduanya atau salah satu dari mereka
sudah kawin.[17]
Di samping itu di dalam Konsep KUHP
tidak mensyaratkan lagi bagi pria itu tunduk pada pasal 27 BW. Hal itu berbeda
dengan KUHP yang mensyaratkan adanya pemberlakukan pasal 27 BW bagi pria yang
berzina.
Melihat rumusan pasal 385 ayat (2) ,
Konsep KUHP menganut prinsip yang sama dengan KUHP yaitu bahwa penuntutan atas
delik perzinahan harus didasarkan pada adanya pengaduan dari suami/isteri yang
tercemar.
Mengenai sifat delik perzinahan ini
sebenarnya Konsep KUHP tahun 1977 sampai dengan Konsep tahun 1991/1992 (sampai
dengan Desember 1992) masih berprinsip bahwa delik perzinahan termasuk delik
biasa atau bukan delik aduan lagi.[18]
Akan tetapi dengan memperhatikan rumusan yang ada dalam pasal 385 ayat (2)
Konsep KUHP (sampai dengan 13 Maret 1993) kedudukan delik perzinahan berubah
menjadi delik aduan.
Selama ini masih ada perbedaan
pendapat di antara para ahli hukum mengenai sifat delik perzinahan. Sehingga
karena belum adanya titik temu antara kedua belah pihak tersebut maka di dalam
Konsep KUHP disebutkan catatan bahwa ada pendapat delik perzinahan ini
sebaiknya bukan delik aduan, dan karena itu menyarankan agar ayat (2), (3) dan
(4) dihapuskan.
Terhadap masalah yang menimbullkan
pro dan kontra mengenai sifat delik perzinahan ini, Barda Nawawi Arief memberikan pertimbangan sebagai berikut :
a.Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat dan hakikat
perzinahan.
Delik
perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan yang erat kaitannya dengan
kesucian lembaga perkawinan. Sehingga masalah sentralnya terletak pada
pandangan masyarakat mengenai kesusilaan dan kesucian lembaga perkawinan.
Pandangan barat yang melatarbelakangi WvS berbeda dengan pandangan masyarakat
Indonesia mengenai perzinahan dan perkawinan. Perkawinan dalam pandangan
masyarakat terkait pula dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Sehingga
tidak bijaksana apabila delik perzinahan tetap dijadikan delik aduan absolut.
b. Aspek tujuan dari kebijakan kriminal (criminal policy).
Ditetapkannya
suatu delik sebagai delik aduan atau sebagai delik biasa merupakan sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Salah satu tujuannya adalah pencegahan (preventie). Dengan ditetapkannya delik
perzinahan sebagai delik aduan absolut, prevensinya lemah karena memberi
peluang dan dasar legitimasi kepada seseorang untuk merasa bebas melakukan
perzinahan. Hal ini justru menjadi faktor kriminogen.
c. Aspek kesusilaan nasional,
faktor kriminogen dan dampak negatif lainnya dari perzinahan.
Tujuan
politik kriminal dengan dilarangnya perzinahan adalah kesucian lembaga
perkawinan dan pengaruh negatif lainnya, antara lain mencegah tumbuh suburnya
pelacuran dan mencegah perbuatan main hakim sendiri.
d. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknis perumusan delik.
Adanya
perbuatan zina mengakibatkan kerugian individu bagi pihak yang terkena skandal
perzinahan. Namun hal ini pun perlu dipertimbangkan dengan kepentingan umum
yang turut dirugikan. Sehingga perlu dipertimbangkan secara proporsional antara
kepentingan individu dengan kepentingan umum. Apabila ada dua kepentingan yang
sama-sama kuat dan mendasar maka sepantasnya kedua kepentingan itu diperhatikan.
Jalan keluar dari permasalahan itu adalah perumusan delik perzinahan ditetapkan
sebagai delik aduan relatif.[19]
Yang menarik untuk diperhatikan
dalam Konsep KUHP adalah tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan dengan
masalah perzinahan seperti kumpul kebo dan janji nikah dimasukkan dalam
rumusannya, yaitu pada pasal 386, 387 dan pasal 388 Konsep KUHP tahun 1991/1992
sampai dengan 13 Maret 1993. Rumusannya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 386 (14.10)
(1) Barangsiapa yang melakukan
persetubuhan dengan orang lain di luar perkawinan yang sah, dipidana dnegan
denda paling banyak kategori I.
(2) Tidak dilakukan penuntutan,
kecuali atas pengaduan keluarga pembuat sampai derajat ke tiga atau oleh kepala
adat atau kepala desa setempat.
Berdasarkan rumusan pasal 386 Konsep
KUHP ini maka permasalahan bahwa permukahan hanya dapat terjadi apabila pelaku
atau satu telah kawin sedikit teratasi. Karena pada dasarnya persetubuhan di
luar nikah adalah permukahan juga. Di samping itu pasal 386 dirumuskan secara umum, baik yang sudah kawin
maupun yang belum kawin. Adapun ancaman pidananya adalah pidana denda kategori
I.
Mengenai pidana denda dengan
pengkategorian seperti yang dirumuskan dalam pasal 386 di atas dapat dilihat
pada Buku I Ketentuan Umum Konsep KUHP. Di dalam pasal 73 tentang Pidana ayat
(2) dan (3) Konsep KUHP dirumuskan sebagai berikut :
(2) Pidana denda paling sedikit
adalah seribu lima ratus rupiah kecuali ditentukan minimum khusus.
(3) Maksimum denda ditetapkan
berdasarkan kategori.
Ada 6 kategori, yaitu :
Kategori I
maksimum Rp. 150.000
Kategori II
maksimum Rp. 750.000
Kategori III
maksimum Rp. 3.000.000
Kategori IV
maksimum Rp. 7.500.000
Kategori V
maksimum Rp. 30.000.000
Kategori VI
maksimum Rp. 300.000.000
Dengan demikian
berdasarkan pasal 73 Konsep KUHP di atas,
apabila seseorang melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan di
dalam pasal 386,maka akan diancam pidana denda minimum Rp. 1.500 dan maksimum
Rp. 150.000.
Dalam delik ini pun ditentukan bahwa
penuntutan akan dilakukan hanya jika ada pengaduan. Sehingga dapat dikategorkan
sebagai delik aduan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pengaduan tindak
pidana ini ialah :
a.
keluarga pembuat sampai derajat
ketiga;
b.
kepala adat setempat;
c.
kepala desa setempat.
Sebagaimana pasal 385 Konsep KUHP,
pasal 386 ini pun termasuk pasal yang menjadi perdebatan di antara ahli hukum.
Sehingga dalam pasal 386 tersebut disebutkan pula catatan bahwa ada yang
berpendapat tindak pidana yang disebut dalam ayat (1) itu dihapus. Selain itu
ada pula yang tidak setuju dengan adanya rumusan bahwa delik ini dapat diadukan
oleh kepala adat atau kepala desa setempat.
Pasal 387 (14.10 a)
(1)
Pria
yang bersetubuh dengan perempuan dengan persetujuan perempuan itu karena janji akan dinikahi, kemudian
mengingkari janji itu atau karena tipu muslihat lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak kategori IV.
(2)
Pria
yang tidak beristeri yang bersetubuh dengan perempuan tidak bersuami yang
mengakibatkan hamilnya perempuan itu dan ia bersedia menikahi atau ada halangan
untuk nikah yang diketahuinya, menurut undang-undang perkawinan, dipidana
dengan pidana penjara paling alama lima tahun, atau denda paling banyak
kategori IV.
Melihat ketentuan yang dirumuskan
dalam pasal 387 Konsep KUHP di atas, maka dapat dilihat perkembangan di dalam
masalah janji nikah. Masalah ini merupakan masukan dari berbagai kalangan yang
melihat persetubuhan dengan janji untuk menikahi dan setelah wanita hamil pria
yang menghamili mengingkari janjinya adalah perbuatan tercela menurut
masyarakat. Sedangkan menurut KUHP perbuatan tersebut tidak merupakan tindak
pidana.
Adapun ancaman pidana yang dikenakan
bagi pria yang melakukan perbuatan tersebut dalam pasal 387 ayat (1) dan ayat
(2) adalah dengan sistem alternatif yaitu dengan penjara paling lama empat
tahun untuk ayat (1) dan paling lama lima tahun untuk ayat (2), atau dengan
pidana denda maksimum kategori IV (Rp. 7.500.00).
Pasal 387 ayat (2) Konsep KUHP
menyebutkan bahwa salah satu syarat bagi pria yang bersetubuh sehingga
mengakibatkan hamilnya perempuan itu, untuk dapat diberikan sanksi pidana
adalah ia tidak bersedia menikahi atau ada halangan untuk menikahi yang
diketahuinya menurut undang-undang
perkawinan.
Adapun menurut Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, halangan-halangan yang
menyebabkan adanya larangan untuk menikah disebutkan dalam pasal 8, 9 dan 10
yang juga disebut sebagai syarat-syarat materiel relatif perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi pihak yang hendak
dikawini.[20]
Pasal 8 Undang-undang Perkawinan itu
menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a.
berhubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah maupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis
keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.
berhubungan dengan semenda,
yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
d.
berhubungan susuan, yaitu orang
tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e.
berhubungan saudara dengan
isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dan hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang;
f.
mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin;
Adapun pasal 9 menyebutkan bahwa
seorang yang masih terikat oleh perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4
Undang-undang perkawinan ini. Sedangkan pasal 10 menentukan bahwa apabila suami
dan isteri yang telah cerai kawin lagi dengan yang lain dan bercerai untuk
kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Menanggapi pasal 387 Konsep KUHP
1991/1992 , Leden Marpaung berpendapat bahwa :
a. perlindungan tersebut merupakan perlindungan yang berlebihan jika
ditujukan untuk melindungi wanita yang dewasa;
b. perlindungan tersebut bukan merupakan perlindungan hukum, tetapi
telah merupakan perkosaan terhadap individu. Biarlah individu yang menentukan
jalan terbaik baginya.
c. perlindungan tersebut seyogyanya tidak diatur dakam KUHP karena kedua
pasal itu tidak merugikan masyarakat. Sedangkan ingkar janji telah diatur dalam
KUHPerdata.
d. perlindungan pasal 387 merupakan perlindungan yang sangat berbahaya
karena dapat dimanfaatkan oleh seorang wanita yang mencintai seorang pria yang
belum mencintainya dengan melakukan perbuatan yang menggairahkan birahi si
pria.
e. hal tersebut tidak melukiskan adanya emansipasi.[21]
Selain
itu dengan pengaturan sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 387 ayat (1) dan
(2) di atas, di satu sisi memang dapat mencegah orang melakukan perbuatan itu.
Akan tetapi bila ditinjau dari segi lain seolah nanti ada anggapan bahwa boleh
saja bersetubuh di luar nikah jika ia bermaksud menikahinya.
Masalah lainnya adalah dengan unsur
mengingkari janji pada ayat (1) dan tidak bersedia menikahi pada ayat (2)
dikhawatirkan muncul peristiwa pria menikahi wanita tersebut hanya untuk
menghindari hukuman kemudian menceraikannya. Dan muncul pula anggapan bahwa
yang lebih jahat adalah perbuatan mengingkari janji, bukan perbuatan
persetubuhan di luar nikah itu sendiri.[22]
3.
Kedudukan Hukum Adat sebagai
Hukum Tidak Tertulis dalam Konsep KUHP
Seperti yang telah dikemukakan di
awal bahwa perzinahan merupakan salah satu perbuatan yang kotor dan tercela
menurut masyarakat. Walaupun hukum pidana adat tidak menganut hukum tertulis,
namun perzinahan bagaimana bentuknya dianggap sebagai salah satu perbuatan yang
dapat dikenai sanksi adat. Sanksi adat sebagai reaksi sosial atas perbuatan itu
terdapat perbedaan antara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang
lain.
Berpijak pada hal demikian akan
dibahas perkembangan dari Konsep KUHP berkenaan dengan kedudukan hukum adat
dalam hukum pidana nasional yang akan datang.
a.
Asas Legalitas
Selama ini KUHP menganut asas legalitas formal. Hal ini ditegaskan
dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang
berbunyi :
“Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum,
melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan itu dilakukan.”
Dalam perkembangannya penetapan sumber hukum atau dasar dapat
dipidananya suatu perbuatan Konsep KUHP bertolak dari pengertian bahwa sumber
hukum yang utama adalah undang-undang (hukum
tertulis). Jadi tetap bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang
formal. Asas ini dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) Konsep KUHP yang dirumuskan
sebagai berikut :
“Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya atau tidak dilakukannya telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.
Namun berbeda dengan asas legalitas dalam KUHP selama ini, Konsep
memperluas perumusannya secara materiel dengan menegaskan dalam pasal 1 ayat
(3) sebagai berikut :
“Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan”.
Dengan demikian walaupun sumber hukum tertulis (undang-undang)
sebagai patokan formal yang utama, Konsep KUHP
masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis (hukum adat)
yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu
perbuatan, sepanjang tidak diatur di dalam undang-undang. Perluasan perumusan
asas legalitas ini tidak dapat
dilepaskan dari pokok pemikiran untuk mewujudkan dan sekaligus menjamin asas
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat dan
kepastian hukum dengan keadilan.[23]
b.
Penetapan Jenis-jenis Pidana
Menurut pasal 10 KUHP jenis-jenis pidana meliputi :
1. Pidana Pokok :
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda.
2. Pidana Tambahan :
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;
c. Pengumuman keputusan hakim.
Dalam perkembangannya, Konsep KUHP merumuskan bahwa
pemenuhan kewajiban adat merupakan salah satu jenis pidana tambahan. Lebih
lengkapnya, pasal 60 ayat (1) Konsep KUHP merumuskannya sebagai berikut :
(1)
Pidana
Tambahan adalah :
ke-1 pencabutan hak-hak tertentu;
ke-2 perampasan barang-barang tertentu dan
tagihan;
ke-3 pengumuman keputusan hakim;
ke-4 pembayaran ganti kerugian;
ke-5 pemenuhan kewajiban adat.
Pencantuman pemenuhan kewajiban adat dalam Konsep KUHP adalah suatu
konsekuensi logis dari diakuinya keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagai salah satu sumber hukum atau dasar dapat dipidananya suatu perbuatan. Hal ini juga disebabkan,
reaksi sosial atas perbuatan-perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat
tidak mungkin seluruhnya dapat dirumuskan dalam Konsep KUHP.
Seperti yang telah disebutkan di muka tindakan reaksi atau koreksi
terhadap pelanggaran di berbagai lingkungan adat Indonesia meliputi :
1. pengganti kerugian imateriel dalam berbagai rupa seperti paksaan
menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2. pembayaran uang adat kepada
yang terkena, yang berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian korban;
3. selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
aib;
4. penutup malu, permintaan maaf;
5. berbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
6. pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata
hukum.[24]
Pemberian sanksi adat terutama bagi orang yang melakukan delik
perzinahan antara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang lain
adalah berbeda. Sehingga dimasukkannya jenis pidana ini nantinya diharapkan
akan dapat menampung berbagai jenis sanksi adat atau sanksi menurut hukum tak
tertulis.
Melihat perumusan yang demikian itu Konsep KUHP mengenal dua pola
sanksi yaitu sanksi formal dan sanksi informal. Sanksi formal yaitu
sanksi yang sudah disebutkan secara konkret dan eksplisit menurut
undang-undang. Sedangkan sanksi informal merupakan sanksi yang hidup menurut
hukum tidak tertulis yang jenisnya tidak secara tegas disebutkan dalam
undang-undang.[25]
Pembagian demikian tidak berarti delik menurut undang-undang tidak
dapat dikenakan sanksi informal (pemenuhan kewajiban adat). Delik menurut
undang-undang tetap dapat dikenakan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat akan
tetapi sebagai pidana tambahan. Untuk delik informal, atau tindak pidana yang
memenuhi pasal 1 ayat (3) sanksi pemenuhan kewajiban adat merupakan pidana
pokok atau yang diutamakan (vide pasal 90 ayat (2) Konsep KUHP). Kemudian
apabila sanksi informal ini tidak dipenuhi maka sebagai gantinya adalah sanksi
formal. Menurut pasal 90 ayat (3) Konsep KUHP pengganti pidana kewajiban adat
ini adalah pidana denda dengan kategori I.[26]
--daftar pustaka dan footnote sengaja penulis sembunyikan...---
* Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta