Senin, 05 September 2005

Sholat Sunat Tarawih


Oleh: Ahmad Bahiej

Seperti yang telah dibahas pada makalah sebelumnya bahwa sholat sunnat dibagi menjadi dua yaitu sholat sunnat rowatib dan sholat sunnat ghoiru rowatib. Sholat sunnat ghoiru rowatib (sholat sunnat yang tidak mengikuti sholat wajib) berjumlah banyak, namun secara garis besar dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1).   yang disunatkan secara berjama’ah, seperti sholat sunnat tarawih, kusuf (gerhana matahari), khusuf (gerhana bulan), dan istisqo’ (sholat sunnat meminta hujan).
2).  yang tidak disunnatkan secara berjama’ah, seperti sholat sunnat witir, dluha, tahajud, hajat, tasbih, tahiyatul masjid, awwabin, syukril wudlu, taubat, safar, mutlaq, dan istikhoroh.

A.   Sholat Sunnat Tarowih
          Kata tarowih berasal dari kata kerja roha yang bermakna “istirahat”. Bentuk kata tarowih adalah lafdz jama’  yang menunjukkan arti banyak (lebih dari dua). Dalam sholat sunnat tarawih memang ditemui “banyak istirahat” yaitu berupa duduk istirahat di antara rokaat-rokaat sholat tarawih. Pada jaman Nabi Muhammad SAW, sebenarnya tidak ada nama sholat tarowih itu. Dalam hadis hanya disebutkan sholat sunat Romadlon (qiyamu Romadlon), seperti dalam hadis berikut:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ  (رواه البخارى)
Barangsiapa mendirikan sholat di bulan Romadlon, dengan penuh iman dan keikhlasan, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni oleh Allah. HR Bukhari.
Di dalam kitab-kitab hadis pun, tidak disebut adanya nama “tarowih” itu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kata “tarowih” muncul setelah berkembangnya ilmu fiqh sebagai pengembangan dari syari’at Islam (al-Qur’an dan Hadis).
          Pada jaman Nabi Muhammad SAW, sholat sunnat tarowih hanya dilakukan Nabi beberapa hari. Beliau bersama para sahabatnya melakukan sholat qiyamu Romadlon pada hari pertama, kedua, dan ketiga (dalam keterangan hadis, hari pertama, kedua, dan ketiga itu adalah tanggal 23, 25, dan 27 Romadlon). Pada hari keempat, masjid telah penuh sesak jama’ah dan Nabi tidak menampakkan diri ke masjid, karena Nabi khawatir bahwa sholat qiyamu Romadlon dianggap wajib/fardhu oleh kaum muslimin. Hadis riwayat Bukhari menceritakan kejadian tersebut:
كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فِي حُجْرَتِهِ وَجِدَارُ الْحُجْرَةِ قَصِيرٌ فَرَأَى النَّاسُ شَخْصَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحُوا فَتَحَدَّثُوا بِذَلِكَ فَقَامَ اللَّيْلَةَ الثَّانِيَةَ فَقَامَ مَعَهُ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ صَنَعُوا ذَلِكَ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا حَتَّى إِذَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ جَلَسَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَخْرُجْ فَلَمَّا أَصْبَحَ ذَكَرَ ذَلِكَ النَّاسُ فَقَالَ إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُكْتَبَ عَلَيْكُمْ صَلاَةُ اللَّيْلِ (رواه البخارى)
          Rasulullah sholat pada malam (bulan Romadlon) di kamarnya. Para sahabat (karena) melihat diri Nabi sholat, maka mereka mengikuti sholat. Pagi harinya, mereka menceritakan hal itu (tentang sholat malam Romadlon). Pada malam kedua, Nabi sholat lagi dan para sahabat mengikutinya lagi (Jawa: melu-melu). Mereka melakukannya pada dua malam atau tiga malam. Setelah itu, Nabi duduk dan tidak keluar lagi (maksudnya: tidak melakukan sholat malam Romadlon lagi, -pen.). Pagi harinya, para sahabat mempertanyakan itu dan Nabi menjawab, “Sungguh aku khawatir, jangan-jangan kalian mewajibkannya”. HR Bukhari.
          Setelah wafatnya Nabi, kaum Muslimin di Madinah masih terus-menerus melakukan sholat tarawih secara sendirian maupun secara berjama’ah dengan imam dari sahabat Nabi yang dipandang senior. Hal ini berlanjut sampai pada kekhalifahan Umar bin Khottob r.a. Khalifah Umar kemudian berkata, “Jika kalian melakukan sholat tarawih secara berjama’ah dengan seorang imam, tentulah lebih baik”. Dengan adanya usulan ini, kaum muslimin bersatu mengadakan sholat tarowih berjama’ah di Masjid Nabawi Madinah, sebagaimana Nabi mengimami para sahabat selama tiga hari  di masa hidupnya. Sahabat Umar r.a kemudian berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarowih dengan berjama’ah)”. Hadis riwayat Bukhori menceritakan hal ini.
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاََءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ  (رواه البخارى)
          Abdurrahman bin ‘Abd al-Qori berkata, “Saya keluar menuju masjid bersama Umar bin Khottob pada suat malam di bulan Romadlon. Sahabat lain yang telah berada di masjid melakukan sholat secara sendiri-sendiri. Umar kemudian berkata, ”Aku berpendapat, jika mereka aku kumpulkan pada imam yang satu, itu maka lebih baik.” Umar kemudian mengumpulkan mereka kepada Ubay bin Ka’ab. Pada malam yang lain saya (Abdurrahman bin ‘Abd al-Qori) keluar bersama Umar, para sahabat sedang sholat berjama’ah bersama imamnya, Umar bin Khottob berkata,”Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah dan lebih baik jika mereka melakukannya di akhir malam”. HR Bukhari.
          Mengikuti pendapat sahabat Umar tersebut, sampai sekarang pun di seantero dunia sholat sunnat tarowih dilakukan secara berjama’ah di masjid. Kekhawatiran Nabi pada saat itu dimaklumi karena masih barunya syari’ah Islam. Namun semenjak jaman Khalifah Umar bin Khottob r.a. sampai sekarang, umat Islam telah mampu membedakan antara yang sunnat dan yang wajib. Oleh karena itu, pelaksanaan sholat sunnat tarowih secara berjama’ah dapat digunakan untuk mensyi’arkan agama Islam selama bulan Romadlon yang penuh rahmat. Bagi pribadi muslim pun akan lebih ringan melakukannya karena sholat dilakukan secara bersama-sama.
          Dalam hal jumlah rokaat sholat sunnat tarowih, terdapat beberapa perbedaan pandangan. Perbedaan ini muncul telah lama, bahkan semenjak Kholifah Umar bin Abdul Aziz r.a. Penyebab adanya perbedaan ini karena tidak adanya dalil hadis Nabi yang kuat dan secara tegas menyebutkan angka rokaat sholat sunnat tarowih. Akibat tidak adanya hadis yang dipandang secara regas menyebutkan angka rokaat sholat sunnat tarowih itu, maka muncul beberapa penafsiran dengan dasar hukum (dalil) yang berbeda-beda. Hadis-hadis tentang qiyamu Ramadlon riwayat Imam Bukhari (sebagai salah satu perawi hadis yang dianggap banyak menampilkan hadis-hadis shahih/benar-benar berasal dari Nabi), hanya memuat hal-hal berikut:
a.    Nabi melakukan sholat malam di masjid pada bulan Ramadlon hanya tiga malam.
b.    Sholat tarowih dilakukan dengan berjama’ah
c.    Sholat lail Nabi dilakukan tengah malam sampai menjelang shubuh.
d.    Sholat tarowih adalah sunnat
e.    Sholat tarowih berjamaah di masjid dengan satu imam dimulai saat pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
f.     Penyatuan umat Islam dalam hal sholat sunnat tarowih adalah hal baru, oleh karena itu Khalifah Umar menyebutnya bid’ah.
         

          Adapun beberapa “model” jumlah rokaat tarowih akan dibahas satu per satu di bawah ini. Namun “model” yang akan dipaparkan adalah “model” yang sering ditemui di Indonesia, Sedangkan “model-model” yang lain hanya akan dibahas secara sekilas.
1.      20 Rokaat
          Menurut semua imam mujtahid madzhab (Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi), jumlah rokaat sholat sunnat tarowih adalah 20 rokaat dengan dua-dua rokaat (tiap 2 rokaat 1 kali salam). Hal itu didasarkan pada hadis al-Baihaqi bahwa pada saat Khalifah Umar bin Khattab r.a mengumpulkan para sahabat untuk melakukan sholat tarowih secara berjama’ah dan menunjuk sahabat Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Sholat tarowih yang dilakukan adalah 20 rokaat.
كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ فِي رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَكَانُوْا يَقُوْمُوْنَ بِالمْاِئَتَيْنِ وَكَانُوْا يَتَوَكَّؤُوْنَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِى عَهْدِ عُثْمَانَ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ (رواه البيهقى)
       Kaum muslimin mendirikan (sholat sunnat tarowih) pada masa Umar bin al-Khattab r.a di bulan Romadlon dengan 20 rokaat. Mereka melakukan (tarowih) dengan (bacaan) 200 (ayat tiap rokaat) pada masa Utsman dan mereka bersandar pada tongkat, karena semangat melakukannya. (HR Baihaqi)
كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه مالك)
       Kaum muslimin melakukan sholat sunnat tarowih pada masa Umar bin Khattab dengan 23 rokaat. HR Malik
       Sejak saat itu sampai sekarang, di Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram Makkah pelaksanaan sholat sunnat tarowih dilakukan secara berjama’ah sebanyak 20 rokaat. Bahkan pelaksanaannya dilakukan semalam suntuk. Setelah sholat Isya’, dilakukan sholat tarowih sebanyak 20 rokaat sampai tengah malam (karena yang dibaca setelah surat al-Fatihah adalah ayat-ayat panjang). Setelah selesai sholat tarowih, dilanjutkan sholat sunnat malam (qiyamul lail) sebanyak 8 rokaat dan ditutup dengan witir. Waktu yang tersisa sekitar 1 jam digunakan para jama’ah untuk sahur di kedai-kedai samping Masjidil Haram.
      Para ulama yang mendukung pendapat Khalifah Umar tentang masalah ini (sholat sunnat tarowih 20 rokaat) berpegangan pada sebuah hadis bahwa atsar sahabat Khulafa’ur Rasyidun (keputusan yang dibuat oleh sahabat empat yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., Umar bin al-Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalib r.a.) adalah dibenarkan oleh Nabi.
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلاَلَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
          Barangsiapa di antara kalian yang hidup nanti akan melihat banyak perselisihan, dan perkara-perkara baru. Sungguh hal itu adalah menyesatkan. Maka barangsiapa di antara kalian menemuinya, maka haruslah kalian tetap mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidun yang diberi petunjuk. Pegangilah dengan erat!” (HR Turmudzi dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Daromi)
Ajaran mengikuti perintah-perintah Rasulullah dan pendapat-pendapat Khulafa’ur Rasyidun inilah kemudian yang disebut sebagai ahlusssunah waljama’ah.
      Dalam riwayat lain yang disebutkan oleh KH Ali Ma’shum (alm) mantan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta alam bukunya Hujjah Ahlusssunah Waljama’ah (Argumentasi Ahlussunnah Waljama’ah) bahwa pada jaman Rasulullah masih hidup, beliau hanya melaksanakan sholat sunnat tarowih di masjid selama tiga malam (tanggal 23, 25, dan 27 Romadlon) dengan jumlah 8 rokaat di masjid dan diteruskan di rumah 12 rokaat secara sendirian. Hal ini juga diikuti oleh para sahabat bahkan sepeninggal Nabi dan semasa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar r.a. Setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar r.a. wafat dan kekhalifahan dipimpin oleh Umar bin Khatthab r.a., maka Khalifah Umar mengusulkan diadakannya jama’ah sholat tarowih sebagaimana keterangan di atas.
          Di samping itu ada juga hadis Nabi yang menyebutkan kebenaran keputusan dari Khalifah Umar, yaitu:
إِنَّ الله جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ (رواه الترمذى)
     Seseungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar. HR at-Turmudzi.
       Adapun mengenai jumlah rokaat tiap sholatnya adalah dua-dua rokaat sebagaimana sholat sunnat yang lain (kecuali sholat witir). Jika demikian, maka 20 rokaat tarowih akan memiliki 10 kali sholat, 10 kali istirahat jeda antar sholat dan biasanya ada jeda istirahat 4 kali yang lebih panjang (setiap 4 rokaat). Dengan demikian maka hal ini sesuai dengan namanya, yaitu tarowih yang berbentuk jama’ (lebih dari dua) yang berarti “banyak istirahatnya”.
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ فَقَالَ كَيْفَ صَلاَةُ اللَّيْلِ فَقَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ (رواه متفق عليه)
          Sesungguhnya seorang laki-laki mendatangi Nabi saat beliau berkhutbah. Laki-laki itu berkata, “Bagaimana mengerjakan sholat malam?”. Nabi menjawab, “dua rokaat-dua rokaat. Maka jika engkau khawatir datangnya waktu shubuh maka witirlah dengan satu rokaat.” (HR Muttafaq ‘alaih, yaitu Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik)
2.      8 Rokaat
          Jama’ah yang melaksanakan sholat sunnat tarowih 8 rokaat dengan 4 rokaat-4 rokaat (tiap 4 rokaat satu kali salam) mendasarkan diri pada sebuah hadis yang berasal dari Aisyah r.a., istri Rasululllah SAW berikut.
سُأِلَ عَائِشَةُ رَضِيَ الله عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ الله أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي (رواه البخارى ومسلم)        
      Aisyah ditanya, “Bagaimana sholat Nabi SAW di bulan Romadlon?”. Aisyah menjawab, “ Rasulullah tidak pernah menambah dari 11 rokaat, baik di bulan Romadlon maupun pada bulan lainnya. Beliau sholat empat (roka’at). Engkau jangan tanyakan tentang baik dan lamanya. Kemudian sholat empat (rokaat). Engkau jangan tanyakan tentang baik dan lamanya. Kemudian beliau sholat 3 (rokaat). Aisyah bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah, apakah Engkau akan tidur (padahal) belum witir?. Rasulullah menjawab, “Ya Aisyah, sungguh kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur. (HR Bukhari Muslim).
          Dengan hadis ini maka disimpulkan bahwa berdasar pengamatan Siti Aisyah (istri terakhir Rasulullah), ketika ditanya tentang bagaimana dan berapa sholat Rasulullah di bulan Romadlon, Rasulullah sholat malam, baik di bulan Romadlon maupun di luar Romadlon, tidak lebih dari 11 rokaat. Pelaksanaan sholat tersebut adalah 4 rokaat-4 rokaat dan diakhiri sholat witir 3 rokaat. Hadis ini kemudian oleh para sebagian ulama dimaknai bahwa sholat sunnat tarowih dilakukan sebayak 8 rokaat dengan susunan 4-4 dan diakhir witir 3 rokaat.
Bagaimana sikap kita?
          Terhadap adanya perbedaan dalam jumlah rokaat dalam sholat sunnat tarowih dan terhadap perbedaan-perbedaan lain yang sering kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam kancah keagamaan, politik, dan sosial harus kita sikapi dengan penuh bijak dan harus tetap dalam koridor ukhuwah islamiyyah. Jangan sampai kita menganggap bahwa pendapat dari (golongan) kita adalah pendapat yang PALING BENAR, dan pendapat dari (jama’ah) lain adalah SALAH. Menyesatkan yang lain, dan menshahihkan dirinya, seolah-olah dalam dirinya terdapat kebenaran. Padahal kebenaran di dunia adalah relatif, sedangkan kebenaran yang hakiki dan mutlak adalah milik Allah.
          Termasuk dalam masalah sholat sunnat tarowih ini, perbedaan jumlah rokaat sholat bukanlah perbedaan yang mendasar, hanya bersifat furu’iyyah (cabang-cabang Islam). Jadi, adalah naif jika kita masih mempermasalahkan jumlah rokaat. Masih banyak permasalahan besar umat yang lain dan lebih urgen/penting untuk dipecahkan bersama-sama, seperti korupsi, bencana, dakwah, kemaksiatan, dan lain-lain.
          Seringkali terjadi dalam anggapan masyarakat bahwa jumlah rokaat “menandai” golongannya. Misalnya, jika seseorang atau suatu masjid dilaksanakan sholat tarowih berjumlah 20 rokaat, maka disebut “orang NU” atau “masjid NU”. Sedangkan jika seseorang atau di masjid dilaksanakan sholat tarowih 8 rokaat disebut sholatnya “orang Muhammadiyah” atau “masjid Muhammadiyah”. Memang diakui bahwa sebagian besar warga NU mempergunakan/mengikuti pendapat sholat tarowih itu 20 rokaat, dan sebagian besar warga Muhammdiyah adalah 8 rokaat. Padahal, 20 dan 8 rokaat bukanlah “identitas” masing-masing. Perbedaan itu telah terjadi ratusan tahun lalu, bahkan sebelum datangnya agama Islam di Indonesia. Sebuah keterangan dalam Fath al-Bari, kitab kumpulan hadis Imam Bukhari dan sarahnya (keterangan/penjelasannya), ketika memberi keterangan tentang beberapa hadis qiyamu Romadlon menyebutkan bahwa:
          “Dalam riwayat ini tidak menyebutkan jumlah rokaat (qiyamu Romadlon) yang dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab (sahabat Nabi yang ditunjuk Umar bin Khatthab menjadi imam jama’ah tarawih,-pen). Dengan demikian, maka terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai jumlah rokaat itu. Dalam kitab Muwatha karya Imam Malik, riwayat dari Muhammad bin Yusuf dari Sa’id bin Yazid, sholat qiyamu Romadlon itu 11 rokaat. Muhammad bin Nasr al-Marwazi dari Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Yusuf meriwayatkan 13 rokaat. Abdurrozzaq dari Muhammd bin Yusuf meriwayatkan 21 rokaat. Malik dari Yazid bin Hashifah dari as-Sa’ib bin Yazid meriwayatkan 20 rokaat, tidak termasuk witir. Yazid bin Ruman meriwayatkan 23 rokaat. Muhammad bin Nasr dari Atho’ meriwayatkan 20 rokaat (tarowih) dan 3 rokaat sholat witir. Ikhtilaf/perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena bacaan yang panjang. Jika panjang maka disebut beberapa rokaat, atau sebaliknya. Jumlah rokaat yang pertama (11 rokaat, pen.) sesuai dengan hadis ‘Aisyah, sedangkan yang kedua (13 rokaat) jumlahnya mendekati. Sedangkan dalam riwayat 20 rokaat terdapat perbedaan mengenai sholat sunnat witirnya, ada yang 1 rokaat sholat witir an ada yang 3 rokaat sholat witir. Muhammad bin Nasr dari Dawud bin Qais meriwayatkan bahwa kaum muslimin pada kepemimpinan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz di Madinah mendirikan sholat qiyamu Romadlon sebanyak 36 rokaat dan sholat witir 3 rokaat. Al-Za’faroni dari asy-Syafi’i meriwayatkan bahwa kaum muslimin di Madinah (dahulu) melakukan sholat qiyamu Romadlon sebanyak 39 rokaat dan di Makkah 23 rokaat. At-Turmudzi meriwayatkan bahwa pendapat tentang sholat qiyamu Romadlon dikerjakan dengan paling banyak 40 rokaat dengan sholat witir 7 rokaat. Muhammad bin Nars dari Ibnu Aiman dari Malik menyebutkan 38 rokaat dan yang masyhur (terkenal) adalah 36 rokaat dan pelaksanaannya bahkan sampai 100 tahun lebih. Dalam riwayat Malik yang lain disebutkan juga bahwa sholat qiyamu Romadlon adalah 46 rokaat dan 3 rokaat witir. Ibnu Wahab dari al-Amri dari Nafi meriwayatkan, “Saya tidak menemui kaum muslimin kecuali mereka melakukan sholat qiyamu Romadlon sebanyak 39 rokaat dengan 3 rokaat witir. Zararah bin Aufa meriwayatkan bahwa dia sholat qiyamu Romadlon di Bashrah (sekarang di negara Irak, -pen.) sebanyak 34 rokaat. Sedangkan Sa’id bin Jabir meriwayatkan 24 rokaat dan Abi Mujalliz meriwayatkan 16 rokaat...”
          Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak perbedaan di antara kaum muslimin mengenai jumlah rokaat sholat qiyamu Romadlon, yaitu:
1.       11 rokaat (tarowih dan witir)               8.      34 rokaat
2.      13 rokaat (tarowih dan witir)                9.      36 rokaat
3.      16 rokaat                                            10.    36 rokaat tarowih dan 3 rokaat witir
4.      20 rokaat tarowih dan 3 rokaat witir      11.    38 rokaat
5.      21 rokaat (tarowih dan witir)                12.    39 rokaat (tarowih dan witir)
6.      23 rokaat (tarowih dan witir)                13.    40 rokaat tarowih dan 7 rokaat witir
7.       24 rokaat                                           14.    46 rokaat tarowih dan 3 rokaat witir
Sebuah Gagasan “Rekonsiliasi”
      Memperhatikan adanya sejumlah perbedaan dalam penentuan jumlah rokaat sholat tarowih seperti dijelaskan di atas dan ternyata masalah ini juga terjadi di Indonesia, maka menurut hemat penulis perlu dilakukan upaya rekonsiliasi agar tidak memperuncing perbedaan tersebut. Wujudnya, karena perbedaan yang sering kali terjadi adalah jumlah 20 rokaat (dengan tiap 2 rokaat 1 salam) dan 8 rokaat (dengan tiap 4 rokaat 1 salam), maka langkah rekonsiliasi atau jalan tengah adalah “menyamakan” jumlah rokaat tiap sholatnya, yaitu 2 rokaat 1 salam dan tetap sebanyak 8 rokaat, dan ditutup dengan 3 rokaat sholat witir (boleh langsung 3 rokaat sekaligus atau “dipecah”: 2 rokaat salam dan ditutup 1 rokaat). Dengan demikian, maka bagi orang yang terbiasa dengan 8 rokaat tetap menjalankannya dan bagi orang yang terbiasa dengan 20 rokaat dapat tetap melanjutkan 12 rokaat lagi setelah selesai. Praktek semacam ini telah dilaksanakan di Masjid Sunan Kalijaga, kampus UIN Sunan Kalijaga yang notabene sebagai tempat berkumpulnya tokoh-tokoh nasional dari dua jama’ah, yakni jama’ah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang dicap “jama’ah 20 rokaat” dan jama’ah organisasi Muhammadiyah yang dicap “jama’ah 8 rokaat”.
Bagaimana di masjid Al-Muttaqin Salakan?
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.