Oleh: Ahmad
Bahiej*
Abstrak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang masih diberlakukan di Indonesia saat ini merupakan salah
satu dari sekian ratus peraturan hukum warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara
resmi di Indonesia
sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan sebenarnya
bangsa Indonesia
telah mengenal aturan hukum pidana dalam kehidupan hukum adatnya. Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) yang pernah menduduki Indonesia pada tahun
1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun pernah memberlakukan hukum pidananya.
Perjalanan historis hukum pidana materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika
dan problematika tersendiri yang diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam
pembaharuan hukum pidana materiel saat ini.
Kata
kunci: KUHP, sejarah KUHP, problematika
hukum pidana
A. Pendahuluan
Sebagai hukum yang bersifat publik,
hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di
dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan
perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa
pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.[1]
Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum
pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara
Indonesia.
Di samping itu, mengingat materi hukum
pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali
digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan
menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru
memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena
itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra
hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana
itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum
pidana dengan masyarakat di mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah
satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap
baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki
masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak
sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
Untuk menyongsong pembaharuan hukum
pidana materiel Indonesia
(RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan hukum pidana
Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan historis semacam ini, diharapkan
beberapa problematika yang muncul selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van
Strafrecht) dapat tercover dan menjadi bahan pijakan bagi
pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia.
B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco
da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan
hukum pidana adat. Hukum pidana adat
yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan
di wilayah adat tertentu.
Hukum adat
tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum
perdata (privaat).[2]
Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana
yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.[3]
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan
oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi
satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental
dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh
masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang,
dan Ujung Pandang
yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh
ajaran-ajaran Hindu.[4]
Di samping hukum
pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang
tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun
melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di
wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum
adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat
dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja
Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana
adat Sumatera Selatan,[5] dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.[6]
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Masa pemberlakuan
hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara,
yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan
“kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC
berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara,
dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC
memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk
memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa
untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan
yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat,
tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip.
Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak
dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku
lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali
peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.[7]
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu
berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing,
dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain.
Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum
dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam
perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga
diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di
peradilan-peradilan adat.[8] Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini
disebabkan beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam
hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar
mentaati peraturan-peraturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak
mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti;
dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara
hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah
suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai
kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan,
sehingga perlu dipidana yang setimpal.[9]
Bentuk campur
tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan
para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi
antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai,
dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab
Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.[10]
Pada tanggal 31
Desember 1799, Vereenigde Oost Indische
Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan
pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles
yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris
di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah
berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris
meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah
Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja
sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana
terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten
Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri
Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah
jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan sistem
pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya
diatur dalam sebuah konstitusi.
Untuk
mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan
untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands
Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout,
Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan
yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena
menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan
kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria
dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).[11]
Dengan adanya
keterangan ini maka praktis masa Besluiten
Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana
baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum
pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement
op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau
Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen
Bepalingen van Wetgeving (AB) atau
Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek
van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum
Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara
Perdata.
c. Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di negara Belanda,
dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini
terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan
kekuasaan raja, karena parlemen (Staten
Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan
dan prundang-undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini
adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja
mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian
dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui
undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain
yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan
diatur dengan undang-undang”.[12]
Dengan ketentuan
seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan
di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak
semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk
Besluit, namun harus melalui mekanisme
perundang-undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama
oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2
Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda.
Pada masa
berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan,
yaitu:
1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan
Staatblad No. 55 Tahun 1866.
2. Algemene Politie Strafreglement atau
tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.
3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan
Staatblad No. 85 Tahun 1872.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan
Eropa.
5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan
dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische
Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui
Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan
pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun
1922. Perubahan Grond Wet tahun 1922 ini
mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal
61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan
undang-undang.
Pada masa ini,
keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131
jo. Pasal
163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku.
Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek
van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap
diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana
Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum
pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali
peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui
Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei
Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan
pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang
dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan
pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang
mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap
menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang
diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada
dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan
militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu
Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor
istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum
pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942
mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena
wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa
militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan
Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat
di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta.
Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di
masing-masing wilayah.[13]
3. Masa Setelah Kemerdekaan
Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam
sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi
Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi
UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan
konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
a. Tahun 1945-1949
Dengan diproklamirkannya negara Indonesia
sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan
dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum
nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan
tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara
kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang
Undang Dasar 1945.
Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah
awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional
bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa
membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan
membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri
sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum
dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan
agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang
dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan
yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu
adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah
diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. Hal ini
juga berarti funding fathers bangsa
Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum
kolonial menjadi tata hukum nasional.[14]
Presiden Sukarno selaku presiden pertama
kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10
Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala
badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru
menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan
dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai
berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Sekilas ini Penpres ini hampir
sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan
tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum
pidana warisan kolonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut
secara tegas menyatakan:
Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia
tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum
pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada
pada tanggal 8 Maret 1942.[15]
Dengan titik tonggak waktu penyerahan
kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua
peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan
yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA)
setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang tersebut
juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima
tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan
karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia
Belanda mengeluarkan Verordeningen van het
militer gezag.
Secara
lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut.
Semua peraturan hukum pidana yang
dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het
militer gezag) dicabut.[16]
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan
ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata
belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik
bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri
sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui
aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang
berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi
kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda
mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan
Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135
Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain
mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut
ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya
pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan
ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk
memerangi pejuang kemerdekaan.
Dengan adanya dua peraturan hukum pidana
yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka
munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh
para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.[17]
b. Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai
konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan
perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti
dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya,
Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan
tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik
Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang
dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.[18]
Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun
masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek
van Strafrecht yang
berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang
muncul setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih
tetap berlangsung pada masa ini.
c. Tahun 1950-1959
Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat
selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan
Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara
republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun
berubah yakni diganti dengan UUD Sementara.
Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa
sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia sendiri,
selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini.[19]
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana
yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun
demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir
masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor
73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan:
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih
berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang
Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor
Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama
sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu
ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di
Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia.
d. Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah
satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia
menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai
konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan
kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya.
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun
kemudian berlanjut sampai sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah
mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata
sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun
pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada
masing-masing konstitusi.
C. Sejarah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht)
Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di
Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33
15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI
merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan
diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.[20]
Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah
kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi
pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan
disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah
Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang,
pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun
1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon.
Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel
Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada
tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi
hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa
Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian
negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.[21]
Setelah perginya Perancis pada tahun
1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal)
selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan
hukum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada
ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code
Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun
1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van
Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai
diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van
Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia-Belanda sendiri
ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor
Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa)
dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari
1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van
Strafrecht voor Inlander (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan
dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.[22]
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu
terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan
hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg
(Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang
harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915
keluarlah Koninklijk Besluit (Titah
Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van
Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun
kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918.
Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah
terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan
dalam bagan berikut.
Tahun
|
Peristiwa
|
Selisih Waktu
|
1810
|
Code Penal diberlakukan
di Perancis
|
1 tahun
|
1811
|
Code
Penal diberlakukan di Belanda
|
56 tahun
|
1867
|
Wetboek
van Strafrecht voor Europeanen berlaku di
Hindia-Belanda
|
6 tahun
|
1873
|
Wetboek
van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di
Hindia-Belanda
|
8 tahun
|
1881
|
Wetboek
van Strafrecht disahkan di Belanda
|
5 tahun
|
1886
|
Wetboek
van Strafrecht diberlakukan di Belanda
|
29 tahun
|
1915
|
Wetboek
van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk
Hindia-Belanda
|
3 tahun
|
1918
|
Wetboek
van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di
Hindia-Belanda
|
28 tahun
|
1946
|
Wetboek van Strafrecht
Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia
|
|
|
|
Total selisih
waktu 136 tahun
|
D. Problematika Penerapan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia
(Wetboek van Strafrecht)
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa hukum pidana Indonesia
merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan penjajahan atas
Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka sejak 17
Agustus 1945, maka selayaknya hukum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa
Indonesia sendiri. Namun idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan
realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum
pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum
pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Problematika tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Kemerdekaan Indonesia yang
telah diproklamirkan sejak 59 tahun lalu merupakan awal pendobrakan hukum
kolonial menjadi hukum yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum
pidana positif (KUHP) Indonesia
merupakan warisan kolonial Belanda. Secara politis ini menimbulkan masalah bagi
bangsa yang merdeka.[23]
Dengan kata lain, walaupun Indonesia
merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan
diri dari penjajahan.
2. Wetboek
van Strafrecht atau bisa disebut Kitab
Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini
berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung sejak
dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur lebih dari
124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun
Indonesia
sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian, perubahan
ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP Belanda
sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.[24]
3. Wujud
asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek
van Strafrecht yang menurut
UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud
asli KUHP adalah berbahasa Belanda.[25]
KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda
oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah,
Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada
teks resmi terjemahan Wetboek van
Strafrecht yang
dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap
terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.[26]
4. KUHP
warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa
Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum
kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut
dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic
family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan
aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism,
and individual right)[27]. Hal ini
sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku,
benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan
menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
5. Jika
KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar[28]
dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana,
maka masalah-masalah dalam KUHP antara lain:
a. Pidana
KUHP
tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum
yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang
sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak dimungkinkannya
modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku.
Sistem pemidanaan dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak memberi keleluasaan
bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana pidana
mati,[29]
pidana denda,[30]
pidana penjara,[31]
dan pidana bagi anak.
b. Tindak pidana
Dalam menetapkan
dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus
dicantumkan dengan undang-undang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP
tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang
tidak tertulis dalam perundang-undangan.[32]
Di samping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada
sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).[33]
KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang
telah ditinggalkan. Tindak pidana-tindak pidana yang muncul di era modern ini,
seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan
hidup, dan beberapa perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak
pidana belum tercover di dalam
KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan
sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c. Pertanggungjawaban pidana
Beberapa masalah
yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas
kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun
hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.[34]
Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan
dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena
secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas
legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku
(memenuhi rumusan asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang
terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47)
adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak mengatur
secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan
beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah anak
di bawah umur 16 tahun.[35]
Selain itu, KUHP tidak menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi.[36]
Pada dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan korporasi seperti pencemaran
lingkungan.
E. Penutup
Memperhatikan
pembahasan tentang sejarah dan problematika hukum pidana Indonesia di atas, pembaharuan hukum pidana Indonesia
adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Problematika yang
muncul terkait dengan usangnya KUHP secara internal dan berkembangnya
persoalan-persoalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal menambah
dorongan yang kuat dari masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera
merealisasikan kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih
payah dan pemikiran bangsa Indonesia
sendiri. Oleh karena itu, RUU KUHP yang sudah kesekian kalinya direvisi
selayaknya segera dibahas oleh lembaga legislatif untuk disahkan.
---daftar pustaka dan footnote sengaja tidak ditampilkan---
* Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
[4] Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), tentang "Pengaruh Agama terhadap
Hukum Pidana", beberapa hukum adat di wilayah Nusantara masih
terkait dengan agama yang dianut mayoritas masyarakat adatnya.
[14] Segala perubahan membawa konsekuensi bahwa isi
kehendak itu perlu diubah. Ketentuan-ketentuan hukum positif yang pernah
berlaku di Indonesia, seperti Indische Staatregeling, Algemene Bepalingen
van Wetgeving, Burgerlijk Wetboek, Wetboek van Koophandel, Wetboek van Strafrecht
dan segala peraturan yang dikeluarkan pada masa penjajahan, dengan adanya
proklamasi kemerdekaan dituntut penggantiannya secara tepat dan cepat. Oleh
karena itu maka ditetapkan segera landasan tata hukum yang baru, yaitu Undang
Undang Dasar 1945.
[17] Sudarto menyebut istilah ini dengan kwasi-dualisme.
[24] Perubahan dalam KUHP Belanda antara lain dalam principal penalties (pidana
pokok) yang menghilangkan pidana mati dan menambahkan pidana kerja sosial serta
denda yang dibuat dengan kategorisasi.
[26] Dalam pandangan
peneliti, kecuali KUHP terjemahan BPHN, KUHP terjemahan Mulyatno, R. Susilo dan
yang lain terkadang belum mencantumkan beberapa perubahan parsial dalam KUHP,
seperti jenis pidana ditambahkan pidana tutupan, pengkalian 15 kali untuk
pidana denda, dan perluasan wilayah berlakunya hukum pidana menurut tempat. Di samping itu, terdapat juga perbedaan dalam
menerjemahkan suatu istilah, seperti overspel yang diterjemahkan menjadi
beberapa kata, seperti zina, mukah, dan gendak. Yang lebih fatal lagi adalah
ancaman pidana pada Pasal 386 tentang pemerasan. Di dalam KUHP versi BPHN dan
terjemahan dari Engelbrecht, ancaman pidananya 9 bulan, sedangkan dalam KUHP
versi Mulyatno dan R. Susilo ancaman pidananya 9 tahun. KUHP aslinya (WvS) yang
berbahasa Belanda menyebutnya dengan "jaren" yang berarti
"tahun".
[29] Di hukum pidana
beberapa negara, seperti Venezuela, Columbia, Rumania, Brazilia, Costarica,
Uruguay, Chili, Denmark, dan Belanda sendiri, pidana mati telah dihapuskan
karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan berupa pembinaan kepada
pelaku kejahatan. Dalam KUHP Indonesia, pidana mati dianggap masih diperlukan
namun pelaksanaannya belum manusiawi karena tetap dianggap sebagai sebuah
"harga mati" walaupun terpidana telah menanti eksekusi selama puluhan
tahun.
[30] Masalah pidana denda dalam KUHP terutama terkait
dengan jumlah denda yang sangat minim, karena penyesuaian kurs pidana denda
terakhir kali dilakukan dengan UU Nomor 18 Prp Tahun 1960. Sebagai contoh adalah ketentuan tentang pidana kurungan pengganti
denda. Dalam KUHP, persamaan pidana denda dengan pidana kurungan adalah Rp.
7,50 (tujuh, lima
puluh rupiah) disamakan dengan 1 hari kurungan.
[32] Permasalahan seperti ini sedikit terobati dengan
dikenalnya asas legalitas materiel yang mengakui adanya nilai-nilai yang hidup
di masyarakat dalam perundang-undangan seperti UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 dan UU
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[35] Terkait dengan kesepakatan internasional yang
diselenggarakan oleh United Nations di Beijing tahun 1985 tentang Standard
Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules)
yang salah satu materinya mengatur tentang pertanggungjawaban pidana anak (age
of criminal responsibility) agar tidak ditentukan terlalu rendah dengan
mempertimbangkan kematangan emosional, mental dan intelektual, Indonesia
mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Menurut UU ini anak
yang masih berumur 8 s.d. 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan, dan anak
yang berumur 12 s.d. 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Sedangkan anak yang belum
berumur 8 tahun dianggap belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dengan demikian, secara otomatis ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dalam
KUHP tersebut dihapuskan dengan UU Peradilan Anak ini.