Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak: Salah satu asas pokok di dalam
hukum pidana yang sering mendapatkan perhatian adalah asas legalitas. Hal ini
disebabkan karena asas legalitas sebagaimana sejarah kelahirannya, bertumpu
pada keadilan individu. Dengan asas legalitas [formil] ini, keadilan individu
dilindungi oleh hukum pidana dari kesewenang-wenangan penguasa. Namun, ketika
asas legalitas [formil] berhadapan dengan hukum adat sebagaimana di Indonesia, asas
legalitas [formil] diuji dengan keberpihakannya kepada dua sasaran keadilan,
masyarakat atau individu. Muncullah kemudian apa yang disebut asas legalitas
materiel.
Kata kunci: asas legalitas, keadian individu, keadilan masyarakat
Pendahuluan
Aturan mengenai kekuatan
berlakunya hukum pidana menurut waktu dalam kajian ilmu hukum pidana merupakan
aturan yang sangat fundamental. Dikatakan fundamental karena aturan ini
menentukan berlaku tidaknya suatu aturan pidana terhadap suatu tindak pidana
yang dilakukan pada waktu tertentu. Oleh sebab itu, wajarlah dalam hukum pidana
suatu negara asas ini disebutkan pertama kali dalam aturan hukum pidananya.
Seperti dalam Pasal 1 KUHP Indonesia, Pasal 1 KUHP Korea, Pasal 2 KUHP
Thailand, Pasal 1 dan 2 KUHP Polandia serta Pasal 3 KUHP Norwegia.
Dalam pandangan Oemar Seno Aji, prinsip legality
merupakan karekteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh Rule
of Law –konsep, maupun oleh faham Rechstaat dahulu, maupun oleh
konsep socialist legality. Demikian misalnya laranganan berlakunya hukum
pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi,
berlakunya asas nullum delicium dalam hukum pidana, kesemuanya itu
merupakan suatu refleksi dari prinsip legality.[2]
Dalam kajian ilmu hukum
pidana, kekuatan berlakunya hukum pidana menurut waktu memuat beberapa asas,
yaitu asas legalitas dan asas temporis delicti yang masing-masing
mempunyai konsekuensi logis atas pengaturannya. Konsekuensi yang muncul pada
asas legalitas adalah bahwa sering kali perbuatan-perbuatan yang menurut
masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang jahat, namun ternyata tidak
tercantum dalam hukum pidana. Dengan tidak dicantumkannya dalam hukum pidana,
maka perbuatan tersebut lepas dari jerat hukum berdasarkan asas legalitas
tersebut.
Jika ditinjau dari segi
sejarah munculnya asas legalitas ini,
sebenarnya asas legalitas dalam hukum pidana (termasuk dalam hukum
pidana Indonesia/KUHP) merupakan asas fundamental yang bertujuan untuk
melindungi hak asasi manusia. Awal pengkodifikasian hukum pidana di
negara-negara yang menganut sistem Romano-Germanic Family tidak terlepas
dari usaha rakyat melepaskan diri dari tirani kekuasaan raja.
Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap
tindak pidana dan jenis pidananya ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang
jelas perbuatan mana yang dianggap tindak pidana dan jenis pidana apa yang
diterapkan.[3] Hal ini dianggap kejam dan sangat bergantung kepada
pendapat pribadi raja. Oleh karena itu, pada saat memuncakknya reaksi terhadap
kekuasaan raja yang absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh Montesqueau
tahun 1748 (L’esprit des Lois) dan J.J. Rousseau tahun 1762 (Du
Contract Social) untuk menghindari tindakan sewenang-wenang raja/penguasa
terhadap rakyatnya.
Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des
peinlichen Recht (1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum
delictum nulla poena siena praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana,
tidak ada pidana, tanpa undang-undang pidana yang mendahului) yang berkaitan
dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya.[4]
Asas
ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et
du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun pecahnya
Revolusi Perancis. Selanjutnya, Napoelon Bonaparte, penguasa Perancis setelah
revolusi, memasukkan asas legalitas ke dalam Pasal 4 Code Penal dan
berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland 1881 dan Pasal 1 ayat (1) Wetboek
van Strafrecht voor Netherlandsch Indie (WvSNI-Kitab Undang-undang Hukum
Pidana bagi Hindia Belanda) 1918.
Asas
Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia
Sebagai
asas yang fundamental, asas legalitas diatur dalam pasal pertama ayat pertama
Kitab Undang-undang Pidana (KUHP), yaitu berbunyi:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Pasal
ini memberikan konsekuensi sebagai berikut:
1. Suatu tindak pidana harus
dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.
Konsekuensi:
a. Perbuatan
seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga
tidak dapat dipidana.
b. Ada
larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.
2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada
sebelum terjadinya tindak pidana.
Konsekuensi:
aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif), dasar pikirannya:
a. menjamin
kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
b. berhubungan
dengan teori paksaan psikis dari Anselem von Feuerbach, bahwa si calon pelaku
tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan
ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan
terhadapnya.[5]
Tidak jauh berbeda, Moelyatno menyebutkan tiga
kandungan asas legalitas, yaitu:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[6]
Di
negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini
dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak
dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926.
Hal demikian sesuai dengan tradisi sistem civil law, bahwa ada empat aspek asas legalitas yang
diterapkan secara ketat, yaitu peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, Roelof
H Haveman menyatakan bahwa though it might be said that not every
aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a
more true meaning to principle of legality.[7]
Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan
selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas
legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga dalam
UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk
hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam perundangundangan.”
Di dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam), asas
legalitas ini juga dikenal. Beberapa ayat al-Qur'an menunjukkan asas tersebut.
1. Al-Qur'an dalam Surat al-Isra ayat 15
...وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ
حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
...dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang
Rasul.
2. Al-Qur'an
dalam Surat al-Qasas ayat 59
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ
الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُوْلاً يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا
Dan Allah tidak akan
menghancurkan penduduk suatu negeri sebelum diutusnya Rasul di tengah-tengah
mereka untuk membacakan ayat-ayat kami …
3. Al-Qur'an dalam Surat al-An'am ayat 19
...وَأُحِيَ إِلَيَّ هَذَا
الْقُرْآنُ لأُ نْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ ...
… dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadamu supaya dengannya Aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)
…
4. Al-Qur'an dalam Surat al-Baqarah ayat 286
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا ...
Allah tidak akan membebani
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya …
Berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam ayat al-Qur’an
tersebut di atas, para ahli hukum Islam merumuskan kaidah-kaidah hukum Islam
yang diambil dari substansi ayat-ayat tersebut di atas, yaitu: [8]
لاَ حُكْمَ لأفْعَالِ الْعَقَلاَءِ قَبْلَ وُرُوْدِ النَّصِّ
Tidak ada hukuman bagi perbuatan
orang berakal sebelum adanya ketentuan nas.[9]
لاَ جَرِيْمَةَ وَلاَ عُقُوْبَةَ إِلاَّ
باِلنَّصِّ
Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.[10]
اَلأَصْلْ فِي الأَشْيَاءِ
الإِبَاحَةُ حَتَّي يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Pada
asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan kecuali adanya dalil
yang mengharamkan atau melarang perbuatan tersebut.[11]
لاَ يُمْكِنُ اِعْتِبَارُ فِعْلٍ أَوْ تَرْكُ جَرِيْمَةٍ إِلاَّ بِنَصٍّ صَرِيْحٍ
يَحْرُمُ الفِعْلَ أَوِ التَّرْكُ فَإِنْ لمَ ْيَرُدَّ نَصٌّ يَحْرُمُ الْفِعْلَ أَوِ
التَّرْكَ فَلاَ مَسْئُوْلِـيَّةَ وَلاَ عِقَابَ عَلَي فَاعِلٍ أَوْ تَارِكٍ
Suatu
perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak bisa dipandang sebagai suatu jarimah
sebelum adanya nas yang tegas melarang perbuatan atau sikap tidak berbuat.
Apabila tidak ada ketentuan nas yang mengaturnya maka perbuatan seseorang tidak
bisa dimintai pertanggungjawaban pidana dan tidak dapat dipidana.[12]
لاَيُكَلِّفُ شَرْعًا إِلاَّ مَنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى فَهْمِ دَلِيْلِ التَّكْلِيْفِ
أَهْلاً لمِاَ كَلَّفَ بِهِ وَلاَيُكَلِّفُ شَرْعًا إِلاَّ بِفِعْلٍ مُمْكِنٍ مَقْدُوْرٍ
لِلْمُكَلِّفِ مَعْلُوْمٍ لَهُ عِلْمًا يَحْمِلُهُ عَلَى امْتِثَالِهِ
Menurut syara’ seseorang tidak dapat dikenai taklif (pembebanan),
kecuali orang yang mampu memahami dalil-dalil pembebanan dan menurut syara’
pembebanan itu hanyalah pekerjaan yang mungkin dilakukan, disanggupi dan
diketahui sehingga ia dapat melaksanakan.[13]
Asas
Legalitas dalam RUU KUHP
Rancangan
KUHP memperluas eksistensi hukum tak tertulis sebagai dasar patut dipidananya
suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak
diatur dalam perundang-undangan. Ini untuk mewujudkan asas keseimbangan antara
kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum
dengan keadilan.
Selengkapnya,
RUU KUHP menyebutkan:
(1) Tiada
seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam
menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang
diakui oleh masyarakat bangsabangsa.
Penjelasannya:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas.
Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila
ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undangundang. Dipergunakannya
asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum
pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang
mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal
ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah
kesewenangwenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang
dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi
dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan
asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang
pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya
diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut
dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan
penggunaan analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama
ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak
tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah
tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana, yaitu
yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum
yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat
pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan
dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk
lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat
ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber
hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai
sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi
pada nilai nasional dan internasional.[14]
Keinginan untuk memasukkan "hukum yang hidup di
masyarakat" merupakan keinginan lama semenjak pembaharuan hukum pidana
materiel (RUU KUHP) dicanangkan. Simposium Hukum Pidana Nasional tahun 1980
yang diadakan di Semarang menyebutkan:
Masalah
kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik
kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan
oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat.[15]
Bahkan jauh sebelum itu, Seminar Hukum Nasional I tahun
1963 telah menyebutkan keinginan itu, yaitu disebutkan dalam butir (iv) bahwa:
Yang dipandang
sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan yang
dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundangundangan lain.
Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum
adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicitacitakan tadi,
dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.[16]
Sementara dalam Resolusi butir (vii) disebutkan bahwa
unsur-unsur hukum agama dan hukum adat dijalinkan dalam KUHP. Begitu pula dalam
Seminar Hukum Nasional IV tahun 1979, dalam laporan mengenai Sistem Hukum
Nasional disebutkan antara lain bahwa:
(i) sistem hukum nasional harus sesuai dengan
kebutuhan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia;
(ii) …
hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis.[17]
Dony
Ardyanto, Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta
menolak adanya aturan ini. Alasanya, pertama, hal itu akan mengkriminalisasi
perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam perundang-undangan.
Kedua, akan menimbulkan masalah penafsiran karena living law banyak yang tidak tertulis dan unsur-unsur pidananya
tidak rinci. Ketiga, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Keempat, pengakuan
terhadap living law justru akan
menghidupkan kembali analogi. Padahal pasal 1 ayat (2) sudah tegas melarang
penggunaan analogi.[18]
Andi
Hamzah mengusulkan agar asas legalitas dalam RUU KUHP meniru ketentuan Pasal 80
KUHP RRC yang memungkinkan diatur dalam peraturan lokal asalkan mendapat
persetujuan dari DPR. Pasal ini menyebutkan:
"In situation where the autonomous areas inhabited
by ethnic group cannot completely apply the stipulation of this Law, the organ
of state power of the autonomous regions or of the provinces may formulate
alternative or supplementary provisions of the local ethnic groups and the
basic principles of the stipulation of this Law, and these provisions shall go
into effect after they have been submitted to and approved by the Standing
Committee of the National People's Congress".[19]
Penolakan serupa disampaikan oleh
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang menyatakan bahwa pasal 1
ayat (3) RUU KUHP di atas justru bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2). Pasal 1 ayat (2) RKUHP melarang semua bentuk analogi. Baik
itu gesetz analogi maupun recht analogi.[20]
Di samping itu, ada beberapa hal keberatan ELSAM yang lain,
yaitu:
1. Belum Ada Batasan yang Jelas Mengenai Hukum yang Hidup dalam
Masyarakat
Pasal 1 ayat (3) ini tidak memberikan pengertian yang
sangat jelas apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Ketidakjelasan ini akan berakibat penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat
secara semena-mena.
Apabila dianggap sebagai suatu pengakuan mengenai
eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat, RKUHP tidak memberikan batasan
yang jelas hukum yang mana yang diterapkan mengingat bahwa setiap komunitas
mempunyai hukum yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Apabila
dalam hukum yang hidup dalam masyarakat itu tercakup juga hukum adat, RKUHP
tidak menentukan dengan jelas siapa yang dimaksud dengan masyarakat adat, tidak
ada batasan-batasan yang pasti dan rinci. Hal ini menjadikan setiap orang bisa
saja menganggap dirinya sebagai masyarakat adat sehingga ia dapat menolak atau
mengubah ketentuan hukum yang seharusnya berlaku baginya.
RKUHP juga belum memberikan lingkup keberlakuan hukum yang
hidup dalam masyarakat ini, misalnya wilayah geografis. Dalam Pasal 1 ayat (4)
disebutkan bahwa:
Berlakunya hukum
yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsi hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pada dasarnya pasal ini hendak membatasi pemberlakuan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Tidak semua hukum yang hidup dalam masyarakat
dapat diterapkan kecuali: (i) sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan (ii) sesuai
dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Tetapi,
batasan yang diberikan pasal ini tidak cukup untuk melindungi pemberlakuan
hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena, karena batasan yang
diberikan masih bersifat multiinterpretasi.
2. Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Berbeda dengan Hukum Pidana
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas menghendaki
peraturan yang dituliskan (lex scripta), dirumuskan dengan rinci (lex certa), tidak
diberlakukan surut (non-retroaktif), dan larangan analogi. Hukum yang hidup
dalam masyarakat tidaklah tertulis dan tidak mempunyai rumusan yang jelas
mengenai perbuatan yang dilarang itu. Lagi pula, pelanggaran terhadap hukum
yang hidup dalam masyarakat tidak mutlak rumusannya ada terlebih dahulu dari
perbuatannya. Hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berbeda dengan konsep
asas legalitas yang menghendaki aturan yang tertutup. Sementara hukum yang
hidup dalam masyarakat mempunyai sifat terbuka sehingga perbuatan jahat yang dimaksudkannya
adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan keseimbangan masyarakat
terganggu.
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam penjelasan RKUHP
bahwa pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan mengganggu asas
legalitas adalah anggapan yang keliru. Praktek pengadilan yang menerapkan hukum
adat sebagai dasar pemidanaan kebanyakan bukanlah kejahatan baru, melainkan
kejahatan yang memang sudah ada dalam KUHP. Sebagai contoh, misalnya perbuatan incest, pemerkosaan, pembunuhan,
perzinahan, dan sebagainya.61
Dalam RKUHP, jika terjadi tindak pidana maka
pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban individu. Sementara dalam hukum
yang hidup dalam masyarakat, terutama hukum adat, pertanggungjawaban pidana
tidak selalu pertanggungjawaban individu. Tetapi sanksi dapat pula dijatuhkan
pada orang lain yang bukan pelaku, di antaranya kepada keluarga pelaku. Pemberian
sanksi dalam hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan jahat itu sebagai perbuatan
yang disengaja atau tidak (kelalaian), melainkan melihat pada akibat yang ditimbulkan.
Hal ini tentu saja berbeda dengan konsep hukum pidana.
3. Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat adalah Analogi
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) RKUHP disebutkan bahwa
larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana
merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi
berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak
merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana
yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang
sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Melalui
penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat, perbuatan yang semula bukan tidak
pidana berdasarkan KUHP dapat menjadi tindak pidana, tidak lain merupakan suatu analogi. Berdasarkan hukum
yang hidup dalam masyarakat, yang deliknya tidak diatur dalam ketentuan pidana,
seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Hal semacam ini merupakan suatu
bentuk analogi yang bersifat gesetz analogi. Padahal telah secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2)
terdapat larangan analogi. Dengan demikian, telah terdapat pertentangan antara
Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) RKUHP.
4. Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Bukan Mengakomodasi Pluralisme
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain
merupakan suatu bentuk untuk membedakan hukum negara dan hukum bukan negara.
Hukum yang hidup dalam masyarakat ini berlaku karena diperintahkan dan
diperkenankan oleh negara melalui rumusan RKUHP berdasarkan pertimbangan bahwa
dalam kenyataannya memang masih ada sebagian kecil masyarakat yang menerapkan
hukum tersebut.
Pertimbangan diakomodasinya hukum yang hidup dalam
masyarakat ini tidak lain adalah pertimbangan pragmatis untuk mengakomodasi
pluralitas budaya Indonesia. Ruang lingkup berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat seperti yang diatur dalam RKUHP ini masih bergantung pada negara,
yaitu melalui pembatasan-pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4)
RKUHP. Bekerjanya hukum ini bukan bekerja dengan sendirinya melainkan
berdasarkan kontrol negara, yaitu: penerapannya masih berdasarkan pengadilan
pidana. Oleh karenanya, berlakunya hukum negara masih sangat dominan dibandingkan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, hukum yang hidup dalam
masyarakat ini masih diposisikan sebagai hukum yang nomor dua setelah hukum negara.
Karakter pengakuan ini, bisa dikatakan sebagai pluralisme hukum yang lemah. Dalam
artian belum mengakomodasi pluralisme hukum secara utuh.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dengan
dominannya hukum negara terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat ini patut
diduga pengaturan dalam RUUKUHP adalah sebagai usaha untuk menjinakkan
keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada akhirnya hukum yang hidup
dalam masyarakat ini akan menjadi hukum negara.
5. Pencantuman Hukum yang hidup dalam masyarakat Menghilangkan
Esensi Hukum Adat
Seperti yang disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam
masyarakat termasuk juga hukum adat yang masih berlaku di komunitas masyarakat
adat. Penegakan hukum adat, tidak terlepas dari unsur-unsur spiritualitas
masyarakat adat yang menerapkannya. Sehingga berkaitan pula dengan
ritual-ritual yang menjadi kebiasaan mereka untuk mengembalikan keseimbangan
jika terdapat pelanggaran.
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal 1
ayat (3) RKUHP tidak lain adalah suatu pengambilalihan fungsi penegakan hukum
adat. Dengan kata lain, pencantuman itu telah menjadikan hukum adat sebagai
hukum negara, sehingga penegakannya pun melalui hukum negara. Dengan demikian,
esensi hukum adat telah bergeser maknanya.
Pengakomodasian hukum adat tersebut tidak lain adalah
sebagai bentuk penaklukan, dan ingin melenyapkan hukum adat itu sendiri. Hukum
adat yang tidak tertulis itu akan dijadikan hukum yang tertulis dan akhirnya
terjadi positifisasi hukum adat. Padahal hukum adat sangat berbeda karakternya
dengan hukum tertulis (positif). Lagi pula, menurut John Griffiths, pemahaman
asas kepastian hukum dalam hukum adat (hukum yang hidup dalam masyarakat) tidak
sama dengan asas kepastian hukum yang dipahami dalam sistem hukum negara. Bagi
para penggerak sentralisme hukum beranggapan bahwa upaya membentuk suatu sistem
hukum modern yang seragam memerlukan adanya pengecualian-pengecualian melalui
pemberlakuan hukum adat tertentu, sampai pada suatu saat di mana masyarakat primitif
heterogen yang masih tersisa melebur menjadi masyarakat yang homogen dan modern.[21]
Asas
Legalitas Materiel: Upaya Mengatasi Keterbatasan Hukum
Menurut
asas legalitas formil di atas, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal ini menjadikan
masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang
menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan (dengan tidak
dicantumkan di dalam KUHP).
Oleh
karena itu dahulu Pasal 14 (2) UUDS 1950 telah menyebutkan aturan ini, bahwa
asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan di dalam
KUHP hanya menggunakan kata-kata “…perundang-undangan…” yang berarti bersifat
asas legalitas formil (tertulis).
Dengan
tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak tertulis tetap
diakui. Hal ini di dasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan sebagai
berikut.
a. Pasal 5 (3)
sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.
“Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus
dianggap suatu perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan
penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum
dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan
si terhukum.
Bahwa hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran
hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di
atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi
10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim
tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.
Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus
dianggap suatu perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana
Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”
b. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.”
Dengan
demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis. Artinya
tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga berdasar asas
legalitas materiel, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak tertulis/hukum adat.
Artinya suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup/adat dianggap sebagai
tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetap
dapat dianggap sebagai tindak pidana. Asas ini berdasar pada Pasal 5 (3) sub b
Undang-undang No. 1 Drt. 1951 dan Pasal
27 (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.
Secara
prinsip, asas legalitas materiel sebagaimana akan diberlakukan dalam hukum
pidana Indonesia mendatang (Pasal 1 ayat [3] RUU KUHP], tetaplah diperlukan. Di
samping sebagai penghormatan sistem hukum nasional terhadap living law, keseimbangan
antara keadilan individu yang tercermin dalam asas legalitas formil dengan keadilan
masyarakat yang tercermin dalam asas legalitas materiel perlu ditegakkan. Sebagai
negara yang menganut sistem komunal, asas legalitas materiel merupakan bukti. Asas
legalitas formil hanya akan mementingkan kepentingan individu di atas
kepentingan masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan
paparan di atas, terlihat bahwa asas legalitas materiel merupakan pengembangan
dari asas legalitas formil yang ada dalam KUHP. Asas legalitas materiel muncul
terkait dengan keterbatasan asas legalitas formil selama ini. Walaupun terjadi
pro kontra --yang merupakan hal wajar dalam negara demokrasi--, asas legalitas
materiel diperlukan guna jawaban hukum atas persoalan/kepentingan mayoritas
masyarakat Indonesia yang tidak semuanya terakomodir dalam aturan hukum pidana.
demi menjaga keaslian tulisan, Daftar Pustaka dan sumber referensi artikel ini sengaja tidak kami tampilkan...
* Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Dalam hukum Romawi kuno yang
menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada
saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang
berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara
criminal
extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan
durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini
diadopsi raja-raja yang berkuasa, sehingga terbuka peluang yang sangat lebar
untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran
tentang harus ditentukan dalam peraturan perundangundangan terlebih dahulu
perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk
menerapkan hukum pidana.
[4] Sebelum
asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah
memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya:
undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum
merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya. Namun menurut catatan penulis, asas legalitas lebih
dahulu dikenal dalam tradisi hukum Islam jauh sebelum Francis Bacon (1561-1626)
dan Anselm von Feuerbach (1801). Beberapa ulama muslim seperti Al-Ghazali,
Jalaluddin As-Suyuthi, Abdul Qadir Audah, dan Al-Amidi, Ibnu Hazm telah
mengutarakan asas ini. Pendapat mereka tertulis dalam artikel ini.
[20] Gesetz analogi adalah
menganalogikan suatu perbuatan kepada perbuatan yang mirip dalam undang-undang,
sedangkan recht analogi adalah menganalogikan suatu perbuatan yang sama sekali tidak ada
dalam undang-undang