Oleh: Ahmad Bahiej
Dosen Hukum Pidana Fakultas
Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ahmad_bahiej@yahoo.com
bahiejahmad@gmail.com
Pembaharuan KUHP secara
parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan mencabut,
menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP maupun aturan-aturan
hukum pidana di luar KUHP dengan beberapa peraturan perundang-undangan agar
sesuai dengan kondisi bangsa dan perkembangan jaman. Pembaharuan hukum pidana
materiel dengan model parsial ini telah dilakukan sejak awal Indonesia
merdeka dengan disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
sebagai “akta kelahiran” KUHP.
Beberapa peraturan
perundang-undangan yang mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal
dalam KUHP antara lain sebagai berikut.
1). UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dalam
undang-undang ini diatur beberapa hal terkait dengan usaha pembaharuan hukum
pidana, antara lain sebagai berikut.
a). Mengubah kata-kata “Nederlandsch-Indie” dalam
peraturan hukum pidana menjadi “Indonesia”.
b). Mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Strafrecht sebagai hukum
pidana Indonesia dan bisa disebut KUHP.
c). Perubahan beberapa pasal dalam KUHP agar
sesuai dengan kondisi bangsa yang merdeka dan tata pemerintahan yang berdaulat.
d). Krimininalisasi tindak pidana pemalsuan uang
dan kabar bohong.
2). UU
Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.
Dalam
undang-undang ini ditambahkan jenis pidana pokok baru berupa pidana tutupan ke
dalam Pasal 10 huruf a KUHP dan Pasal 6 huruf a KUHP Tentara.
3). UU
Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan
Dokter Gigi.
Dengan
undang-undang ini KUHP ditambahkan satu pasal, yaitu Pasal 512a tentang
kejahatan praktek dokter tanpa izin.
4). UU
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana.
Dalam
undang-undang ini diatur antara lain sebagai berikut:
a. Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk
seluruh wilayah Republik Indonesia.
b. Penambahan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu:
(1). Pasal 52 a tentang pemberatan pidana
(ditambah 1/3) jika pada saat melakukan kejahatan menggunakan bendera
kebangsaan Republik Indonesia.
(2). Pasal 142 a tentang kejahatan menodai
bendera kebangsaan negara sahabat.
(3). 154 a tentang kejahatan menodai bendera
kebangsaan dan lambang negara Republik Indonesia.
5). UU
Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP.
Dengan
undang-undang ini ancaman pidana pada Pasal 359, 360, dan 188 diubah, yaitu:
a). Pasal 359 tentang tindak pidana penghilangan
nyawa karena kealpaan dipidana lebih berat dari pidana penjara maksimal 1 tahun
atau pidana kurungan maksimal 9 bulan menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun
atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
b) Pasal 360 tentang tindak pidana karena
kesalahan menyebabkan luka berat, sehingga menyebabkan orang sakit sementara
atau tidak dapat menjalankan profesinya semula dipidana maksimal 9 bulan
penjara atau kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp. 300,-, dipisah
menjadi dua ayat, yaitu:
(1). Pasal 360 ayat (1) tentang tindak pidana
perlukaan berat karena kealpaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara
maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
(2). Pasal 360 ayat (2) tentang tindak pidana
perlukaan karena kealpaan sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit
sementara atau tidak dapat menjalankan pekerjaan dipidana lebih berat menjadi pidana
penjara maksimal 9 bulan atau pidana kurungan maksimal 6 bulan atau pidana
denda maksimal Rp. 300,-.
d). Pasal 188 tentang tindak pidana kebakaran,
peletusan, atau banjir yang membahayakan umum atau menyebabkan matinya orang
lain karena kealpaan dipidana lebih ringan yaitu pidana penjara maksimal 5
tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun atau pidana denda maksimal Rp.
300,-.
6). UU
Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP.
Dengan
undang-undang ini, kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasal 364, 373,
379, 384, dan 407 ayat (1) diubah menjadi Rp. 250,-.[1]
7). UU
Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan
dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17
Agustus 1945.
Dengan
undang-undang ini maka hukuman denda yang ada dalam KUHP maupun dalam ketentuan
pidana yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945 harus dibaca dalam mata uang
rupiah dan dilipatkan lima belas kali.
8). UU Nomor 1 Tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Dengan
undang-undang ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditambahkan pasal baru,
yaitu Pasal 156a yang berbunyi:
Dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima
tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
9). UU Nomor 7 Tahun
1974 tentang Penerbitan Perjudian.
Dengan
undang-undang ini diatur beberapa perubahan beberapa pasal dalam KUHP yang
berkaitan dengan tindak pidana perjudian, yaitu:
a). Semua tindak pidana perjudian dianggap sebagai
kejahatan. Dengan ketentuan ini, maka Pasal 542 tentang tindak pidana
pelanggaran perjudian yang diatur dalam Buku III tentang Pelanggaran dimasukkan
dalam Buku II tentang Kejahatan dan ditempatkan dalam Buku II setelah Pasal 303
dengan sebutan Pasal 303 bis.
b). Memperberat ancaman pidana bagi pelaku bandar
perjudian dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP dari pidana penjara maksimal 2 tahun 8
bulan atau denda maksimal Rp.
90.000,- menjadi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 25.000.000,-. Di samping pidana dipertinggi
jumlahnya (2 tahun 8 bulan menjadi 10 tahun dan Rp. 90.000,- menjadi Rp.
25.000.000,-) sanksi pidana juga diubah dari bersifat alternatif (penjara atau
denda) menjadi bersifat kumulatif (penjara dan denda).
c). Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542
ayat (1) tentang perjudian dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 1 bulan
atau denda maksimal Rp. 4.500,- menjadi pidana penjara maksimal 4 tahun atau
denda maksimal Rp. 10.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat
(1).
d). Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542
ayat (2) tentang residive perjudian
dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp.
7.500,- menjadi pidana penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp.
15.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (2).
10). UU Nomor 4
Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian
dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan
Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
a). Memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana
menurut tempat yang diatur dalam Pasal 3 dan 4 KUHP menjadi berbunyi:
Pasal 3
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Pasal 4
Salah satu
kejahatan yang tersebut dalam Pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446 tentang
pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan Pasal 479 hutrf j tentang penguasaan pesawat udara secara
melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n, o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.
b). Menambah Pasal 95a tentang arti pesawat udara Indonesia,
95b tentang arti penerbangan, dan 95c tentang arti dalam dinas.
c). Setelah Bab XXIX KUHP tentang Kejahatan
Pelayaran ditambahkan bab baru yaitu Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan
dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Dalam bab baru ini
terdapat 28 pasal baru yaitu Pasal 479a-479r.
11). UU
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dalam undang-undang ini ditambahkan 6
pasal baru tentang kejahatan terhadap keamanan negara, yaitu Pasal 107 a-f.
Pelaksanaan
pidana mati yang menurut Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah
dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati di
Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor
2/PnPs/1964 dilaksanakan dengan cara ditembak.
Di
samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah KUHP di atas, terdapat
juga beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang pidana. Di
antaranya adalah tindak pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), tindak
pidana korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian diperbaharui dengan
UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001),
tindak pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997), tindak pidana
psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan
hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pencucian uang
(diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana terorisme (diatur dengan
UU Nomor 15 Tahun 2003)[2], dan
lain sebagainya.
Wallahu
a'lam bi ash-shawab
[1] Dalam
kumpulan peraturan Engelbrecht, “vijf en twintig gulden” diterjemahkan menjadi dua puluh lima rupiah.
Lihat Engelbrecht, Kitab Undang Undang,…, hlm. 1441,1442, dan 1448.
[2] Dalam
perkembangannya, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini
dibatalkan setelah dilakukan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi
pada tahun 2005.