Kamis, 10 September 2009

Asas Legalitas Materiel: Mewujudkan Keseimbangan Keadilan Individu dan Masyarakat

Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak: Salah satu asas pokok di dalam hukum pidana yang sering mendapatkan perhatian adalah asas legalitas. Hal ini disebabkan karena asas legalitas sebagaimana sejarah kelahirannya, bertumpu pada keadilan individu. Dengan asas legalitas [formil] ini, keadilan individu dilindungi oleh hukum pidana dari kesewenang-wenangan penguasa. Namun, ketika asas legalitas [formil] berhadapan dengan hukum adat sebagaimana di Indonesia, asas legalitas [formil] diuji dengan keberpihakannya kepada dua sasaran keadilan, masyarakat atau individu. Muncullah kemudian apa yang disebut asas legalitas materiel.
Kata kunci: asas legalitas, keadian individu, keadilan masyarakat
Pendahuluan
Aturan mengenai kekuatan berlakunya hukum pidana menurut waktu dalam kajian ilmu hukum pidana merupakan aturan yang sangat fundamental. Dikatakan fundamental karena aturan ini menentukan berlaku tidaknya suatu aturan pidana terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan pada waktu tertentu. Oleh sebab itu, wajarlah dalam hukum pidana suatu negara asas ini disebutkan pertama kali dalam aturan hukum pidananya. Seperti dalam Pasal 1 KUHP Indonesia, Pasal 1 KUHP Korea, Pasal 2 KUHP Thailand, Pasal 1 dan 2 KUHP Polandia serta Pasal 3 KUHP Norwegia.
Dalam pandangan Oemar Seno Aji, prinsip legality merupakan karekteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh Rule of Law –konsep, maupun oleh faham Rechstaat dahulu, maupun oleh konsep socialist legality. Demikian misalnya laranganan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya asas nullum delicium dalam hukum pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip legality.[2]
Dalam kajian ilmu hukum pidana, kekuatan berlakunya hukum pidana menurut waktu memuat beberapa asas, yaitu asas legalitas dan asas temporis delicti yang masing-masing mempunyai konsekuensi logis atas pengaturannya. Konsekuensi yang muncul pada asas legalitas adalah bahwa sering kali perbuatan-perbuatan yang menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang jahat, namun ternyata tidak tercantum dalam hukum pidana. Dengan tidak dicantumkannya dalam hukum pidana, maka perbuatan tersebut lepas dari jerat hukum berdasarkan asas legalitas tersebut.
Jika ditinjau dari segi sejarah munculnya asas legalitas ini,  sebenarnya asas legalitas dalam hukum pidana (termasuk dalam hukum pidana Indonesia/KUHP) merupakan asas fundamental yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia. Awal pengkodifikasian hukum pidana di negara-negara yang menganut sistem Romano-Germanic Family tidak terlepas dari usaha rakyat melepaskan diri dari tirani kekuasaan raja.
Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap tindak pidana dan jenis pidananya ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang jelas perbuatan mana yang dianggap tindak pidana dan jenis pidana apa yang diterapkan.[3] Hal ini dianggap kejam dan sangat bergantung kepada pendapat pribadi raja. Oleh karena itu, pada saat memuncakknya reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh Montesqueau tahun 1748 (L’esprit des Lois) dan J.J. Rousseau tahun 1762 (Du Contract Social) untuk menghindari tindakan sewenang-wenang raja/penguasa terhadap rakyatnya.
Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa undang-undang pidana yang mendahului) yang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya.[4]
Asas ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun pecahnya Revolusi Perancis. Selanjutnya, Napoelon Bonaparte, penguasa Perancis setelah revolusi, memasukkan asas legalitas ke dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland 1881 dan Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht voor Netherlandsch Indie (WvSNI-Kitab Undang-undang Hukum Pidana bagi Hindia Belanda) 1918.
 Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia
Sebagai asas yang fundamental, asas legalitas diatur dalam pasal pertama ayat pertama Kitab Undang-undang Pidana (KUHP), yaitu berbunyi:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Pasal ini memberikan konsekuensi sebagai berikut:
1.   Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.
       Konsekuensi:
       a.  Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
       b.  Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.
2.    Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
      Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif), dasar pikirannya:
       a.  menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
       b.  berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselem von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.[5]
Tidak jauh berbeda, Moelyatno menyebutkan tiga kandungan asas legalitas, yaitu:
1)  Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2)   Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3)   Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[6]
Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926.
Hal demikian sesuai dengan tradisi sistem civil law, bahwa ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, Roelof H Haveman menyatakan bahwa though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.[7]
Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundangundangan.
Di dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam), asas legalitas ini juga dikenal. Beberapa ayat al-Qur'an menunjukkan asas tersebut.
1.    Al-Qur'an dalam Surat al-Isra ayat 15
...وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
...dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul.
2.    Al-Qur'an dalam Surat al-Qasas ayat 59
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُوْلاً يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا
Dan Allah tidak akan menghancurkan penduduk suatu negeri sebelum diutusnya Rasul di tengah-tengah mereka untuk membacakan ayat-ayat kami
3.    Al-Qur'an dalam Surat al-An'am ayat 19
...وَأُحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأُ نْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ ...
… dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadamu supaya dengannya Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya) …
4.    Al-Qur'an dalam Surat al-Baqarah ayat 286
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا ...
Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya …
Berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam ayat al-Qur’an tersebut di atas, para ahli hukum Islam merumuskan kaidah-kaidah hukum Islam yang diambil dari substansi ayat-ayat tersebut di atas, yaitu: [8]
لاَ حُكْمَ لأفْعَالِ الْعَقَلاَءِ  قَبْلَ وُرُوْدِ النَّصِّ
Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang berakal sebelum adanya ketentuan nas.[9]
لاَ جَرِيْمَةَ وَلاَ عُقُوْبَةَ إِلاَّ باِلنَّصِّ

Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.[10]

اَلأَصْلْ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّي يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Pada asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan kecuali adanya dalil yang mengharamkan atau melarang perbuatan tersebut.[11]
لاَ يُمْكِنُ اِعْتِبَارُ فِعْلٍ أَوْ تَرْكُ جَرِيْمَةٍ إِلاَّ بِنَصٍّ صَرِيْحٍ يَحْرُمُ الفِعْلَ أَوِ التَّرْكُ فَإِنْ لمَ ْيَرُدَّ نَصٌّ يَحْرُمُ الْفِعْلَ أَوِ التَّرْكَ فَلاَ مَسْئُوْلِـيَّةَ وَلاَ عِقَابَ عَلَي فَاعِلٍ أَوْ تَارِكٍ
Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak bisa dipandang sebagai suatu jarimah sebelum adanya nas yang tegas melarang perbuatan atau sikap tidak berbuat. Apabila tidak ada ketentuan nas yang mengaturnya maka perbuatan seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana dan tidak dapat dipidana.[12]
لاَيُكَلِّفُ شَرْعًا إِلاَّ مَنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى فَهْمِ دَلِيْلِ التَّكْلِيْفِ أَهْلاً لمِاَ كَلَّفَ بِهِ وَلاَيُكَلِّفُ شَرْعًا إِلاَّ بِفِعْلٍ مُمْكِنٍ مَقْدُوْرٍ لِلْمُكَلِّفِ مَعْلُوْمٍ لَهُ عِلْمًا يَحْمِلُهُ عَلَى امْتِثَالِهِ
Menurut syara’ seseorang tidak dapat dikenai taklif (pembebanan), kecuali orang yang mampu memahami dalil-dalil pembebanan dan menurut syara’ pembebanan itu hanyalah pekerjaan yang mungkin dilakukan, disanggupi dan diketahui sehingga ia dapat melaksanakan.[13]
Asas Legalitas dalam RUU KUHP
Rancangan KUHP memperluas eksistensi hukum tak tertulis sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam perundang-undangan. Ini untuk mewujudkan asas keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan.
Selengkapnya, RUU KUHP menyebutkan:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2)  Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4)  Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.
Penjelasannya:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undangundang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana, yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.[14]
Keinginan untuk memasukkan "hukum yang hidup di masyarakat" merupakan keinginan lama semenjak pembaharuan hukum pidana materiel (RUU KUHP) dicanangkan. Simposium Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang diadakan di Semarang menyebutkan:
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.[15]
Bahkan jauh sebelum itu, Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 telah menyebutkan keinginan itu, yaitu disebutkan dalam butir (iv) bahwa:
Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundangundangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicitacitakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.[16]
Sementara dalam Resolusi butir (vii) disebutkan bahwa unsur-unsur hukum agama dan hukum adat dijalinkan dalam KUHP. Begitu pula dalam Seminar Hukum Nasional IV tahun 1979, dalam laporan mengenai Sistem Hukum Nasional disebutkan antara lain bahwa:
(i)  sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia;
(ii)  … hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis.[17]
Dony Ardyanto, Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta menolak adanya aturan ini. Alasanya, pertama, hal itu akan mengkriminalisasi perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam perundang-undangan. Kedua, akan menimbulkan masalah penafsiran karena living law banyak yang tidak tertulis dan unsur-unsur pidananya tidak rinci. Ketiga, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Keempat, pengakuan terhadap living law justru akan menghidupkan kembali analogi. Padahal pasal 1 ayat (2) sudah tegas melarang penggunaan analogi.[18]
Andi Hamzah mengusulkan agar asas legalitas dalam RUU KUHP meniru ketentuan Pasal 80 KUHP RRC yang memungkinkan diatur dalam peraturan lokal asalkan mendapat persetujuan dari DPR. Pasal ini menyebutkan:
"In situation where the autonomous areas inhabited by ethnic group cannot completely apply the stipulation of this Law, the organ of state power of the autonomous regions or of the provinces may formulate alternative or supplementary provisions of the local ethnic groups and the basic principles of the stipulation of this Law, and these provisions shall go into effect after they have been submitted to and approved by the Standing Committee of the National People's Congress".[19]
Penolakan serupa disampaikan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang menyatakan bahwa pasal 1 ayat (3) RUU KUHP di atas justru bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2). Pasal 1 ayat (2) RKUHP melarang semua bentuk analogi. Baik itu gesetz analogi maupun recht analogi.[20]
Di samping itu, ada beberapa hal keberatan ELSAM yang lain, yaitu:
1.    Belum Ada Batasan yang Jelas Mengenai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Pasal 1 ayat (3) ini tidak memberikan pengertian yang sangat jelas apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketidakjelasan ini akan berakibat penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena.
Apabila dianggap sebagai suatu pengakuan mengenai eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat, RKUHP tidak memberikan batasan yang jelas hukum yang mana yang diterapkan mengingat bahwa setiap komunitas mempunyai hukum yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Apabila dalam hukum yang hidup dalam masyarakat itu tercakup juga hukum adat, RKUHP tidak menentukan dengan jelas siapa yang dimaksud dengan masyarakat adat, tidak ada batasan-batasan yang pasti dan rinci. Hal ini menjadikan setiap orang bisa saja menganggap dirinya sebagai masyarakat adat sehingga ia dapat menolak atau mengubah ketentuan hukum yang seharusnya berlaku baginya.
RKUHP juga belum memberikan lingkup keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat ini, misalnya wilayah geografis. Dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa:
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsi hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pada dasarnya pasal ini hendak membatasi pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tidak semua hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diterapkan kecuali: (i) sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan (ii) sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Tetapi, batasan yang diberikan pasal ini tidak cukup untuk melindungi pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena, karena batasan yang diberikan masih bersifat multiinterpretasi.
2.    Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Berbeda dengan Hukum Pidana
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas menghendaki peraturan yang dituliskan (lex scripta), dirumuskan dengan rinci (lex certa), tidak diberlakukan surut (non-retroaktif), dan larangan analogi. Hukum yang hidup dalam masyarakat tidaklah tertulis dan tidak mempunyai rumusan yang jelas mengenai perbuatan yang dilarang itu. Lagi pula, pelanggaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat tidak mutlak rumusannya ada terlebih dahulu dari perbuatannya. Hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berbeda dengan konsep asas legalitas yang menghendaki aturan yang tertutup. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat mempunyai sifat terbuka sehingga perbuatan jahat yang dimaksudkannya adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan keseimbangan masyarakat terganggu.
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam penjelasan RKUHP bahwa pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan mengganggu asas legalitas adalah anggapan yang keliru. Praktek pengadilan yang menerapkan hukum adat sebagai dasar pemidanaan kebanyakan bukanlah kejahatan baru, melainkan kejahatan yang memang sudah ada dalam KUHP. Sebagai contoh, misalnya perbuatan incest, pemerkosaan, pembunuhan, perzinahan, dan sebagainya.61
Dalam RKUHP, jika terjadi tindak pidana maka pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban individu. Sementara dalam hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama hukum adat, pertanggungjawaban pidana tidak selalu pertanggungjawaban individu. Tetapi sanksi dapat pula dijatuhkan pada orang lain yang bukan pelaku, di antaranya kepada keluarga pelaku. Pemberian sanksi dalam hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan jahat itu sebagai perbuatan yang disengaja atau tidak (kelalaian), melainkan melihat pada akibat yang ditimbulkan. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsep hukum pidana.
3.    Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat adalah Analogi
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) RKUHP disebutkan bahwa larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Melalui penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat, perbuatan yang semula bukan tidak pidana berdasarkan KUHP dapat menjadi tindak pidana, tidak lain merupakan suatu analogi. Berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang deliknya tidak diatur dalam ketentuan pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Hal semacam ini merupakan suatu bentuk analogi yang bersifat gesetz analogi. Padahal telah secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2) terdapat larangan analogi. Dengan demikian, telah terdapat pertentangan antara Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) RKUHP.
4.    Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Bukan Mengakomodasi Pluralisme
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain merupakan suatu bentuk untuk membedakan hukum negara dan hukum bukan negara. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini berlaku karena diperintahkan dan diperkenankan oleh negara melalui rumusan RKUHP berdasarkan pertimbangan bahwa dalam kenyataannya memang masih ada sebagian kecil masyarakat yang menerapkan hukum tersebut.
Pertimbangan diakomodasinya hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak lain adalah pertimbangan pragmatis untuk mengakomodasi pluralitas budaya Indonesia. Ruang lingkup berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat seperti yang diatur dalam RKUHP ini masih bergantung pada negara, yaitu melalui pembatasan-pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4) RKUHP. Bekerjanya hukum ini bukan bekerja dengan sendirinya melainkan berdasarkan kontrol negara, yaitu: penerapannya masih berdasarkan pengadilan pidana. Oleh karenanya, berlakunya hukum negara masih sangat dominan dibandingkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, hukum yang hidup dalam masyarakat ini masih diposisikan sebagai hukum yang nomor dua setelah hukum negara. Karakter pengakuan ini, bisa dikatakan sebagai pluralisme hukum yang lemah. Dalam artian belum mengakomodasi pluralisme hukum secara utuh.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dengan dominannya hukum negara terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat ini patut diduga pengaturan dalam RUUKUHP adalah sebagai usaha untuk menjinakkan keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada akhirnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini akan menjadi hukum negara.
5.    Pencantuman Hukum yang hidup dalam masyarakat Menghilangkan Esensi Hukum Adat
Seperti yang disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk juga hukum adat yang masih berlaku di komunitas masyarakat adat. Penegakan hukum adat, tidak terlepas dari unsur-unsur spiritualitas masyarakat adat yang menerapkannya. Sehingga berkaitan pula dengan ritual-ritual yang menjadi kebiasaan mereka untuk mengembalikan keseimbangan jika terdapat pelanggaran.
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal 1 ayat (3) RKUHP tidak lain adalah suatu pengambilalihan fungsi penegakan hukum adat. Dengan kata lain, pencantuman itu telah menjadikan hukum adat sebagai hukum negara, sehingga penegakannya pun melalui hukum negara. Dengan demikian, esensi hukum adat telah bergeser maknanya.
Pengakomodasian hukum adat tersebut tidak lain adalah sebagai bentuk penaklukan, dan ingin melenyapkan hukum adat itu sendiri. Hukum adat yang tidak tertulis itu akan dijadikan hukum yang tertulis dan akhirnya terjadi positifisasi hukum adat. Padahal hukum adat sangat berbeda karakternya dengan hukum tertulis (positif). Lagi pula, menurut John Griffiths, pemahaman asas kepastian hukum dalam hukum adat (hukum yang hidup dalam masyarakat) tidak sama dengan asas kepastian hukum yang dipahami dalam sistem hukum negara. Bagi para penggerak sentralisme hukum beranggapan bahwa upaya membentuk suatu sistem hukum modern yang seragam memerlukan adanya pengecualian-pengecualian melalui pemberlakuan hukum adat tertentu, sampai pada suatu saat di mana masyarakat primitif heterogen yang masih tersisa melebur menjadi masyarakat yang homogen dan modern.[21]
Asas Legalitas Materiel: Upaya Mengatasi Keterbatasan Hukum
Menurut asas legalitas formil di atas, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal ini menjadikan masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan (dengan tidak dicantumkan di dalam KUHP).
Oleh karena itu dahulu Pasal 14 (2) UUDS 1950 telah menyebutkan aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata-kata “…perundang-undangan…” yang berarti bersifat asas legalitas formil (tertulis).
Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak tertulis tetap diakui. Hal ini di dasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut.
a.    Pasal 5 (3) sub b Undang-undang  No. 1 Drt. 1951.
“Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan si terhukum.
Bahwa hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.
Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”
b.    Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis. Artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga berdasar asas legalitas materiel, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak tertulis/hukum adat. Artinya suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetap dapat dianggap sebagai tindak pidana. Asas ini berdasar pada Pasal 5 (3) sub b Undang-undang  No. 1 Drt. 1951 dan Pasal 27 (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.
Secara prinsip, asas legalitas materiel sebagaimana akan diberlakukan dalam hukum pidana Indonesia mendatang (Pasal 1 ayat [3] RUU KUHP], tetaplah diperlukan. Di samping sebagai penghormatan sistem hukum nasional terhadap living law, keseimbangan antara keadilan individu yang tercermin dalam asas legalitas formil dengan keadilan masyarakat yang tercermin dalam asas legalitas materiel perlu ditegakkan. Sebagai negara yang menganut sistem komunal, asas legalitas materiel merupakan bukti. Asas legalitas formil hanya akan mementingkan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa asas legalitas materiel merupakan pengembangan dari asas legalitas formil yang ada dalam KUHP. Asas legalitas materiel muncul terkait dengan keterbatasan asas legalitas formil selama ini. Walaupun terjadi pro kontra --yang merupakan hal wajar dalam negara demokrasi--, asas legalitas materiel diperlukan guna jawaban hukum atas persoalan/kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia yang tidak semuanya terakomodir dalam aturan hukum pidana.


demi menjaga keaslian tulisan, Daftar Pustaka dan sumber referensi artikel ini sengaja tidak kami tampilkan...



* Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa, sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundangundangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
[4] Sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya. Namun menurut catatan penulis, asas legalitas lebih dahulu dikenal dalam tradisi hukum Islam jauh sebelum Francis Bacon (1561-1626) dan Anselm von Feuerbach (1801). Beberapa ulama muslim seperti Al-Ghazali, Jalaluddin As-Suyuthi, Abdul Qadir Audah, dan Al-Amidi, Ibnu Hazm telah mengutarakan asas ini. Pendapat mereka tertulis dalam artikel ini.
[20] Gesetz analogi adalah menganalogikan suatu perbuatan kepada perbuatan yang mirip dalam undang-undang, sedangkan recht analogi adalah menganalogikan suatu perbuatan yang sama sekali tidak ada dalam undang-undang