Minggu, 01 September 2002

Refleksi dan Relevansi Pemikiran Madzhab-madzhab Hukum bagi Pengembangan Ilmu Hukum

Oleh: Ahmad Bahiej*

Abstrak

Beberapa pakar hukum mengeungkapkan bahwa pada saat ini posisi hukum di Indonesia mengalami kemunduran. Hukum yang diharapkan dapat menjadi pendukung bagi perubahan masyarakat yang lebih baik, ternyata hanyalah berupa aturan-aturan kosong yang tak mampu menjawab persoalan dalam masyarakat. Hukum terkadang hanyalah menjadi legitimasi penguasa dalam menancapkan ketidakadilannya pada masyarakat. Singkatnya, ada jarak yang semakin jauh antara law in books dengan law in action.
        Salah satu masalah yang menjadi sebab ketidakmampuan hukum ini adalah tentang ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum yang diajarkan melalui pendidikan hukum di Indonesia cenderung menganut salah satu aliran/madzhab hukum tertentu. Banyak pemikiran-pemikiran hukum di dalamnya yang sangat jauh dari sosio kultur dan sosio religius bangsa Indonesia. Oleh karena itulah, diperlukan suatu pengembangan pemikiran ilmu hukum Indonesia baru yang nantinya diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan sosial bangsa Indonesia.

A. Pendahuluan

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang vital. Ia akan memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.
Teori juga bisa mengandung sobyektifitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks, seperti hukum. Oleh karena itulah muncul beberapa aliran atau madzhab dalam ilmu hukum sesuai sudut pandang yang dipakai oleh orang-orang yang bergabung dalam dalam aliran-aliran tersebut1. Dengan demikian, teori-teori dalam ilmu hukum yang sudah dikembangkan oleh masing-masing penganutnya akan memberikan kontribusi ke dalam pemikiran tentang cara memaknai ilmu hukum itu sendiri.
Ibarat seekor gajah, yang diteliti oleh orang-orang buta, hukum memberikan banyak pengertian bagi para pemerhatinya. Orang buta yang berada di depan gajah akan memberikan pengertian atau definisi bahwa gajah itu berbentuk panjang dan bulat. Hal ini dimengerti karena orang buta pertama meraba belalainya. Akan tetapi, pemahaman seperti ini berbeda dengan orang buta kedua yang memberikan pengertian gajah dengan merabanya dari samping. Begitu pula pengertian ini berlainan dengan orang buta ketiga yang meraba gajah dari belakang. Teori-teori dalam ilmu hukum itu pun akan seluas dengan pengertian hukum itu sendiri. Pengertiannya akan berbeda jika dilihat dari sudut yang berbeda. Permasalahannya adakah suatu wawasan yang komprehensif integral dalam memahami hukum sehingga dihasilakn pengertian yang sesuai dengan kenyataan ?
Dalam tulisan ini, sengaja tidak mempersoalkan perbedaan dari istilah madzhab atau aliran. Kata madzhab yang berasal dari bahasa Arab itu ditransformasikan ke dalam lingkup hukum (Islam) secara majaz yang kemudian berarti aliran-aliran dalam hukum Islam. Namun kata ini selanjutnya mengalami transformasi juga ke dalam ilmu hukum secara umum. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kadang kala dipakai istilah madzhab. Sedangkan di tempat lain dipakai aliran dan adapula yang menggunakan istilah ajaran.
Dalam ilmu hukum dinela beberapa madzhab yang berusaha memahami hukum itu dengan jelas. Adanya madzhab itu berarti mensyaratkan adanya pola pemikiran yang sama di antara para ahli hukum dalam memahami fenomena hukum. Atau paling tidak, dalam unsur filasafati tentang hukum mereka mempunyai perspektif yang sama. Meskipun demikian seperti yang diungkapkan oleh Paton2 ada beberapa pakar hukum terkemuka yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu madzhab tersebut.Kalau dipaksakan ke dalam salah satu madzhab yang telah ditentukan justru nantinya akan mempersulit pemehaman dan mengacaukan obyeknya sendiri. Padahal tujuan penggolongan itu adalah untuk dapat memahami teori-teori dalam masing-masing madzhab secara lebih jelas dan mudah.

B.    Permasalahan

Meminjam istilah dari Meuwissen3, pengembangan hukum (rechtbeofening) antara yang praktis dan yang teoritis pada masa sekarang, terutama di Indonesia mengalami suatu paradigma pemikiran baru. Para ahli hukum Indonesia mempertanyakan kembali jarak antara law in books dengan law in action yang sudah cukup memprihatinkan. Menurut mereka hal ini bukan persoalan sepele. Ketidakmampuan hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial di luar hukum akan berakibat pada kewibawaan hukum itu sendiri. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada hukum untuk dapat menyelesaikan konflik dan sengketa dalam lingkungan hidupnya. Ada contoh menarik berkaitan dengan hal ini. Sikap apriori masyarakat terhadap hukum dan krisis keprcayaan mereka kepada aparat penegak hukum di zaman Orde baru mengakibatkan tindakan pelampiasan dengan cara main hakim sendiri dalam menangani masalah-masalah di tengah-tengah mereka. Kerusuhan, penjarahan dan pembakaran merupakan pelampisan rasa kesal mereka.
Satjipto Rahardjo bahkan sejak lama pernah mengungkapkan bahwa hukum mengalami kemandulan4. Mandul dalam pengertian di sini adalah bahwa ilmu hukum tidak dapat mendukung arah perubahan masyarakat dan dengan demikian tidak membantu usaha-usaha produktif yang sedang dijalankan oleh masyarakat . Ilmu hukum tidak peka lagi terhadap proses sosial dalam masyarakat. Masyarakt telah banyak memilih jalur-jalur di luar hukum untuk memecahkan permasalahan, konflik dan sengketa sosialnya. Sebagai contoh sudah banyak terjadi, beberpa anggota masyarakat lebih rela memberikan uang damai dengan polisi yang menilangnya daripada ia harus diproses melalui prosedur formal pengadilan.
Oleh sebab itu, untuk memberikan solusi bagi permaslahan-permaslan sosial di atas muncul pertanyaan apakah ilmu hukum yang diajarkan di pendidikan hukum Indonesia itu masih sesuai dengan perkembngan zaman dan soio-kultural bangsa Indonesia. Adakah Madzab-madzab dalam ilmu hukum yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia? Bagaimana refleksi dan relefansi madzhab-madzhab dalam ilmunhukum itu bagi pengembangan ilmu hukum nasional? Bagaimana metode refleksinya?

C.    Kelemahan Ilmu Hukum Barat dalam Konteks Indonesia

Perkembangan sejarah hukum di Indonesia sejak memproklamirkan diri sebagai negara merdeka lebih 50 tahun yang lalu, dihadapkan pada perubahan sosial dan pergeseran nilai di dalamnya secara mondial. Berbagai hubungan manusia yang semula bersifat sosial berganti menjadi komersial. Di dalam pergaulan manusia dunia, intensitas hubungannya semakin erat didukung dengan teknologi komunikasi elektronik yang semakin canggih.
Sementara dibayang-bayangi adanya perubahan secara mendunia ini, di Indonesia masih dihadapkan pada permaslahan-permasalan sosial (social issues) seperti kemiskinan, pengangguran, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, kerusakan lingkungan hidup dan lain sebagainya. Dalam dinamika perkembangannya, social issues tesebut menyebabkan ciri khas hukum yang stabil dan formal, pengembanan hukum praktis oleh aparat birokrasi pemerintahan dan para praktisi hukum dan pengembangan ilmu hukum jauh dari kenyataan. Seolah-olah hukum berada di dunia yang berbeda. Dengan kata lain, ada jarak di antara hukum dengan realitas-realitas sosial yang ada. Sebagai akibatnya hukum tak mampu menjawab persoalan-persoalan yang diajukan kepadanya.
Secara nyata, ilmu hukum yang diemban di Indonesia sebagaimana diajarakan di pendidikan-pendidikan hukum Indonesia dan yang dipraktekkan leh para praktisi hukum,  baik pemerintah maupun swasta masih cenderung berparadigma positivistik seperti yang diajarkan oleh Hans kelsen dan Reine Rechtslehre-nya. Menurut beberapa pakar hukum Indonesia, ilmu hukum demikian tidak adekuat dalam masyarakat yang sedang mengalami pembangunan hukum dan menjalani perubahan sosial5.
Sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Soedirman Kartohadiprodjo6 hukum itu ada untuk mewujudkan keadilan di samping ketertiban masyarakat. Unsur keadilan yang meresapi keseluruhan bidang hukum berwujud penilaian manusia laian dalam pergaulan hidup. Oleh karena itu, penilaian adil dan tidaknya suatu perbuatan atau perilaku akan ditentukan oleh pandangan manusia sesuai dengan tempat individu dalm pergaulan hidup dan dengan demikian menjadi inti dari pandangan hidup yang dianut. Tata hukum dan cara berfikir yuridis sangan ditentukan atau diwarnai oleh pandangan hidup masyarakat. Dengan demikian cara berpikir yuridis yang diajarkan di Indonesia masih dipengaruhi oleh cara pandang bangsa Barat (Belanda) mengenai hukum.
Cara pandang bangsa Barat yang tidak sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia seperti halnya sifat individualisme. Pandangan individualisme Barat muncul pada zaman Renaisance yang kemudian mengalami pergolakan dan perumusan kefilsafatan oleh para sarjana Barat seperti John Locke, Thomas Hobbes, Jean Jecques Rousseau dan Thomas Jefferson. Menurut Soedirman, individualistis mempunyai pandangan bahwa manusia diciptakan bebas dan sama, yang satu lepas dari yang lain dan manusia masing-masing mempunyai kekuasaan yang penuh (men are created free and equal).
Sedangkan bangsa Indonesia mempunyai pandangan yang jauh berbeda dengan pandangan bagsa Barat di atas. Manusia diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa untuk hidup bersatu dengan manusia lain. Oleh karena itu, individu itu bersatu dengan lingkungan sosialnya bahkan dangan alam sekitarnya.
Kekecewaan senada diungkapkan pula oleh Mochtar Kusumatmadja7 bahwa pendidikan hukum kolonial Belanda diimplementasikan oleh para yuris Indonesia yang diperoleh lewat jalur pendidikan hukum yang juga merupakan warisaan kolonial. Pendidikan hukum kolonial di Indonesia zaman dahulu hanya untuk mengawaki tata hukum untuk memnuhi kebutuhan masyarakat kolonial pada waktu itu dan sebagai penopang ekonomi negara induk. Padahal seharusnya para yuris di negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan pengetahuan antara hukum dan faktor-faktor pembangunan, norma-norma sosial dan institusi. Menurut Satjipto Rahardjo, pendidikan hukum seperti ini pada akhirnya menghasilkan sarjan-sarjana yang menguasai kemahiran sebagai tukang yaitu ahli hukum dan hanya mampu dan mahir menerapkan dan menafsirkan antara hukum posistif.

D.    Beberapa Penyebab Permasalahan

Pada intinya kekecewan-kekecewaan yang dilontarkan oleh para pakar hukum Indonesia di atas berkisar pada pemikiran atas cara pandang Ilmu Hukum barat yang tidak sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia. Bangsa barat pun mempunyai cara pandang hukum yang berbeda-beda sesuai dimensi waktu dan tempat. Pandangan mereka terekam pada gagasan-gagasan tentang hukum yang kemudian kita sebut sebagai madzhab dalam Ilmu Hukum. Selanjutnya pemikiran tentang Ilmu Hukum itu dianut oleh para legis di negeri Belanda. Hukum produk kolonial itu kemudian diajarkan kepada bangsa Indonesia melalui pendidikan hukum. Dengan demikian pandangan barat yang terekam dalam produk hukumnya diterima oleh para yuris di Indonesia.
Pada konteks seperti ini Ilmu Hukum dan/atau cara pandang bagsa barat dipaksakan utnuk diterima oleh bangsa Indonesia. Penyamaan bangsa barat dengan bagsa Indonesia mengenai Ilmu Hukum merupakan suatu pemerkosaan ilmu pengetahuan karena bangsa Indonesia walaupun sejak tahun 1945 telah menyatakan diri sebagai negara merdeka dari penjajahan bangsa asing tetapi secara kenyataan masih menerima Ilmu Hukum dari bangsa barat yang tidak sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia. Kita tentunya tidak apriori dengan sesuatu yang datangnya dari bangsa barat. Akan tetapi sesuatu yang datang dari barat dan tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia dan tetap dianut dan diajarkan di Indonesia justru tidak sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Paling tidak ada usaha ke arah pengembangan Ilmu Hukum Nasional yang selaras dengan jiwa dan cita bangsa Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kebebasan bangsa dalam menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh bangsa lain.
Oleh karena itu, untuk merefleksikan dan merelevansikan madzhab-madzhab hukum yang berasal dari barat itu bagi pengembangan Ilmu Hukum Nasional perlu dianalisis dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar, yaitu pertanyaan-pertanyaan who (siapa), what (apakah), when (kapankah), where (dimanakah), dan why (mengapa).  Analisis dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar ini perlu dilakukan agar jangan sampai madzhab-madzhab dalam Ilmu Hukum yang kebanyakan berasal dari barat itu ditelan mentah-mentah oleh bangsa Indonesia.
Pertama, pertanyaan dengan kata tanya who menanyakan siapakah tokoh-tokoh di belakang madzhab tersebut. Dengan mempertanyakan pelaku ini dihasilkan suatu pandangan integral mengenai latar belakang pelaku (tokoh madzhab), siapakah dia sebenarnya. Selama ini dalam literatur Ilmu Hukum maupun Filsafat Hukum masih jarang, jika tidak dikatakan tidak ada sama sekali, yang mengadakan analisis dengan dasar dua pertanyaan di atas. Padahal dengan tiga pertanyaan selanjunya yaitu when (kapan pendapatnya diilontarkan), where (di manakah pendapatnya itu dinyatakan) dan why (mengapa dia berpendapat seperti itu) akan lebih mempertajam wawasan pemerhati hukum dalam penyeleksian madzhab-madzhab dalam Ilmu Hukum yang ada. Sangat disayangkan, kajian menyeluruh (integrated) mengenai madzhab-madzhab hukum yang meliputi lima pertanyaan di atas masih jarang dilakukan.
Sebagai contoh, dengan pertanyaan when dan where dapat diketemuka dinamika yang begitu luas. Sebagaimana diketahui, madzhab-madzhab Ilmu Hukum dalam kajian Filsafat Hukum dimulai sejak zaman Yunani Kuno (600SM) dengan tokoh seperti Anaximander, Heraklitos, Parmenides, Plato, Aristoteles, dan Protagoras sampai abad XX dengan munculnya alian-aliran seperti fenomenlogi, eksistensialisme, dan teori-teori hukum alam8. Ini pun masih berkembang di masa-masa selanjutnya. Dengan rentang waktu yang demikian lamanya (sekitar 2550 tahun) tentu akan berkembang pula corak, ragam dan karakternya. Sedangkan negara tempat munculnya teori itu juga sangat beragam. Hanya ada sbagian kecil yang berasal dari luar Eropa, seperti China, Arab dan Amerika. Padahal tipa negara mempunyai garis politik, ciri pemerintahan, sejarah negara dan kondisi sosial berbeda-beda yang terbukti juga mempengaruhi pendapat para tokoh seperti terjadi pada Thomas Hobbes, Montesqiau, Karl Max dan lain-lain. Sekarang apakah Ilmu Hukum yang akan dikembangkan di Indonesia itu tetap berkutat pada pemikiran-pemikiran tentang hukum yang sudah dilontarkan oleh mereka? Bagaimanakah madzhab hukum Indonesia itu? Jawaban ini tentunya tidak mudah dijawab. Pertanyaan kedua ini menuntut kita untuk menggali terlebih dahulu nilai-nilai filosofi yang dianut  bangsa Indonesia.

E.    Metode dan Solusi

Merujuk pada madzhab-madzhab Ilmu Hukum yang dikenal, ada beberapa cara melakukan refleksi dan relevansi terhadapnya. Metode yang  digunakan seperti demikian sangat diharapkan selalu memperhatikan konteks masyarakat yang ada. Bisa jadi pandangan seperti ini menimbulkan sikap apriori terhadap madzhab-madzhab itu. Namun pengetahuan para hukum Indonesia tidak mungkin akan melepaskan pemikiran-pemikiran dari beberapa madzhab itu secara keseluruhan. Ajaran setia masdzhab merupakan basic knowledge untuk mengkontekskstualisasikan pemikiranmereka sesuai jiwa bangsa Indonesia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengembangan Ilmu hukum itu dapat dilakukan dengan metode:
a.        Memakai salah satu madzhab yang paling sesuai dengan pandangan bangsa Indonesia. Metode seperti ini jarang dilakukan mengingat beberapa ajaran madzhab itu mungkin sesuai akan tetapi ajaran yang tidak selaras. Dengan kata lain ajaran dari suatu madzhab ada yang diterima dan ada yang tidak diterima;
b.       Melakukannya dengan cara mengolah kembali pandangan-pandangan dalam madzhab itu serta menyesuaikannya dengankonteks sosial di Indonesia. Ibarat seorang juru masak, dia mengambil beberapa bumbu masak dengan proporsi seimbang sehingga menghasilkan masakan yang lezat menurut lidah pemesa. Para pakar hukum Indonesia mengembangkan “masakan” Ilmu Hukum dari macam-macam “bumbu” madzhab hukum untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan “cita rasa” Indonesia;
c.        Metode radikal yang dilakukan dengan membongkar ajaran-ajaran lama digantikan dengan ajaran yang baru sama sekali yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia dan merumuskannya dalam ajaran yang disebut “madzhab Indonesia”. Metode seperti ini sulit dilakukan karena pemikiran-pemikiran para pakar hukum Indonesia tidak begitu saja lepas dari pengaruh pemikiran darai para ahli dari luar Indonesia.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan Ilmu Hukum yang bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper bagitu saja Ilmu-ilmu Hukum yang bersal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak secara membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara selaras9.
Selanjutnya dengan mengilhami dari teori law as a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological yurisprudence Mochtar Kususmaatmadja menghasilkan teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat10. Beberapa karakteristik dari teori beliau yang membedakan dengan teori dari Roscoe Pound adalah:  
a.       Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses pembaharuan di Indonesia, sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama ditujukan pada peranan pembaharuan terhadap putusan pengadilan, khususnya putusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi;
b.      Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang menolak penerapan mekanistis dari konsepsi law as a tool of social engineering. Penerapan secara mekanistis demikian, yang digambarkan dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan legisme yang dalam sejarah hukum di Indonesia telah dikritik banyak pihak.
c.       Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan luhur. Dengan demikian, perumusan resmi ini merupakan pengalaman masyarakat bangsa Indonesia menurut sejarah11.
Beberapa pendapat para hukum Indonesia yang lain mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda bahwa pengembangan Ilmu Hukum Nasional harus didasarkan pada jiwa dannilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Soepomo, Moh. Kosnoe dan Sunaryati Hartono merupakan tokoh-tokoh yang gigih memperjuangkan hukum adat, sebagai hukum yang hidup, untuk dijadikan pijakan bagi pengambangan Ilmu Hukum nasional.
Satjipto Rahardjo memberikan catatan bahwa dalam mengkaji hukum adat ini tidak dilakukan mellaui jalur yang positivistis-normatis-legalistis karena dengan demikian akan memuculkan diskusi yang positivistis pula12. Tawaran beliau adalah melalui jalur keilmuan yaitu memberikanpenekanan pada aspek metodologis dalam menggarap permaslahannya. Aspek metodologis ini diwakili dengan pengkajian secara anthropologis. Pemanfaatan studi anthropologis akan memberikan hasil  (keadaan) yang mendekati realistas yang ada di massyarat.   

F.     Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik konklusi bahwa permasalahan-permasalahan hukum di Indonesia muncul tidak lepas dari kelemahan hukum, pendidikan hukum dan sarana-prasarana yang ada. Bila demikian, Ilmu Hukum pun dipertanyakan kembali. Konteks sosial Indonesia yang berlainan dengan sosial negara lain akan memberikan kesimpulan bahwa diperlukan pengembangan Ilmu Hukum nasional yang lebih selaras dengan kondisi sosial bangsa. Beberapa pakar hukum Indonesia telah mengadakan kajian mengenai permasalahan ini dan menyumbangkan pemikiran-pemikirannya tentang Ilmu Hukum Nasional.

---daftar pustaka dan footnote sengaja tidak ditampilkan---


*    Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar