Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak
Beberapa pakar hukum mengeungkapkan bahwa
pada saat ini posisi hukum di Indonesia
mengalami kemunduran. Hukum yang diharapkan dapat menjadi pendukung bagi
perubahan masyarakat yang lebih baik, ternyata hanyalah berupa aturan-aturan
kosong yang tak mampu menjawab persoalan dalam masyarakat. Hukum terkadang
hanyalah menjadi legitimasi penguasa dalam menancapkan ketidakadilannya pada
masyarakat. Singkatnya, ada jarak yang semakin jauh antara law in books dengan law in action.
Salah satu masalah yang menjadi sebab
ketidakmampuan hukum ini adalah tentang ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum yang
diajarkan melalui pendidikan hukum di Indonesia cenderung menganut salah
satu aliran/madzhab hukum tertentu. Banyak pemikiran-pemikiran hukum di
dalamnya yang sangat jauh dari sosio kultur dan sosio religius bangsa Indonesia. Oleh
karena itulah, diperlukan suatu pengembangan pemikiran ilmu hukum Indonesia baru yang nantinya diharapkan mampu
menjawab persoalan-persoalan sosial bangsa Indonesia.
A. Pendahuluan
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan
yang vital. Ia akan memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami
masalah yang dibicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar
dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain
secara bermakna. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara
mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.
Teori juga bisa mengandung sobyektifitas,
apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks, seperti hukum.
Oleh karena itulah muncul beberapa aliran atau madzhab dalam ilmu hukum sesuai
sudut pandang yang dipakai oleh orang-orang yang bergabung dalam dalam
aliran-aliran tersebut1. Dengan
demikian, teori-teori dalam ilmu hukum yang sudah dikembangkan oleh
masing-masing penganutnya akan memberikan kontribusi ke dalam pemikiran tentang
cara memaknai ilmu hukum itu sendiri.
Ibarat seekor gajah, yang diteliti oleh
orang-orang buta, hukum memberikan banyak pengertian bagi para pemerhatinya.
Orang buta yang berada di depan gajah akan memberikan pengertian atau definisi
bahwa gajah itu berbentuk panjang dan bulat. Hal ini dimengerti karena orang
buta pertama meraba belalainya. Akan tetapi, pemahaman seperti ini berbeda
dengan orang buta kedua yang memberikan pengertian gajah dengan merabanya dari
samping. Begitu pula pengertian ini berlainan dengan orang buta ketiga yang
meraba gajah dari belakang. Teori-teori dalam ilmu hukum itu pun akan seluas
dengan pengertian hukum itu sendiri. Pengertiannya akan berbeda jika dilihat
dari sudut yang berbeda. Permasalahannya adakah suatu wawasan yang komprehensif
integral dalam memahami hukum sehingga dihasilakn pengertian yang sesuai dengan
kenyataan ?
Dalam tulisan ini, sengaja tidak
mempersoalkan perbedaan dari istilah madzhab atau aliran. Kata madzhab yang
berasal dari bahasa Arab itu ditransformasikan ke dalam lingkup hukum (Islam)
secara majaz yang kemudian berarti aliran-aliran dalam hukum Islam. Namun kata
ini selanjutnya mengalami transformasi juga ke dalam ilmu hukum secara umum.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini kadang kala dipakai istilah madzhab.
Sedangkan di tempat lain dipakai aliran dan adapula yang menggunakan istilah
ajaran.
Dalam ilmu hukum dinela beberapa madzhab yang
berusaha memahami hukum itu dengan jelas. Adanya madzhab itu berarti
mensyaratkan adanya pola pemikiran yang sama di antara para ahli hukum dalam
memahami fenomena hukum. Atau paling tidak, dalam unsur filasafati tentang
hukum mereka mempunyai perspektif yang sama. Meskipun demikian seperti yang
diungkapkan oleh Paton2 ada
beberapa pakar hukum terkemuka yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu
madzhab tersebut.Kalau dipaksakan ke dalam salah satu madzhab yang telah
ditentukan justru nantinya akan mempersulit pemehaman dan mengacaukan obyeknya
sendiri. Padahal tujuan penggolongan itu adalah untuk dapat memahami
teori-teori dalam masing-masing madzhab secara lebih jelas dan mudah.
B. Permasalahan
Meminjam istilah dari Meuwissen3, pengembangan hukum (rechtbeofening)
antara yang praktis dan yang teoritis pada masa sekarang, terutama di Indonesia
mengalami suatu paradigma pemikiran baru. Para ahli hukum Indonesia
mempertanyakan kembali jarak antara law in books dengan law in action yang
sudah cukup memprihatinkan. Menurut mereka hal ini bukan persoalan sepele.
Ketidakmampuan hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial di luar hukum akan
berakibat pada kewibawaan hukum itu sendiri. Masyarakat memberikan kepercayaan
kepada hukum untuk dapat menyelesaikan konflik dan sengketa dalam lingkungan
hidupnya. Ada
contoh menarik berkaitan dengan hal ini. Sikap apriori masyarakat terhadap
hukum dan krisis keprcayaan mereka kepada aparat penegak hukum di zaman Orde
baru mengakibatkan tindakan pelampiasan dengan cara main hakim sendiri dalam
menangani masalah-masalah di tengah-tengah mereka. Kerusuhan, penjarahan dan
pembakaran merupakan pelampisan rasa kesal mereka.
Satjipto Rahardjo bahkan sejak lama pernah
mengungkapkan bahwa hukum mengalami kemandulan4.
Mandul dalam pengertian di sini adalah bahwa ilmu hukum tidak dapat mendukung
arah perubahan masyarakat dan dengan demikian tidak membantu usaha-usaha
produktif yang sedang dijalankan oleh masyarakat . Ilmu hukum tidak peka lagi
terhadap proses sosial dalam masyarakat. Masyarakt telah banyak memilih
jalur-jalur di luar hukum untuk memecahkan permasalahan, konflik dan sengketa
sosialnya. Sebagai contoh sudah banyak terjadi, beberpa anggota masyarakat lebih
rela memberikan uang damai dengan polisi yang menilangnya daripada ia harus
diproses melalui prosedur formal pengadilan.
Oleh sebab itu, untuk memberikan solusi bagi
permaslahan-permaslan sosial di atas muncul pertanyaan apakah ilmu hukum yang
diajarkan di pendidikan hukum Indonesia
itu masih sesuai dengan perkembngan zaman dan soio-kultural bangsa Indonesia.
Adakah Madzab-madzab dalam ilmu hukum yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa
Indonesia?
Bagaimana refleksi dan relefansi madzhab-madzhab dalam ilmunhukum itu bagi
pengembangan ilmu hukum nasional? Bagaimana metode refleksinya?
C. Kelemahan Ilmu Hukum Barat dalam Konteks Indonesia
Perkembangan sejarah hukum di Indonesia sejak
memproklamirkan diri sebagai negara merdeka lebih 50 tahun yang lalu, dihadapkan
pada perubahan sosial dan pergeseran nilai di dalamnya secara mondial. Berbagai
hubungan manusia yang semula bersifat sosial berganti menjadi komersial. Di
dalam pergaulan manusia dunia, intensitas hubungannya semakin erat didukung
dengan teknologi komunikasi elektronik yang semakin canggih.
Sementara dibayang-bayangi adanya perubahan
secara mendunia ini, di Indonesia masih dihadapkan pada permaslahan-permasalan
sosial (social issues) seperti kemiskinan, pengangguran, penyalahgunaan
obat-obatan terlarang, kerusakan lingkungan hidup dan lain sebagainya. Dalam
dinamika perkembangannya, social issues tesebut menyebabkan ciri khas
hukum yang stabil dan formal, pengembanan hukum praktis oleh aparat birokrasi
pemerintahan dan para praktisi hukum dan pengembangan ilmu hukum jauh dari
kenyataan. Seolah-olah hukum berada di dunia yang berbeda. Dengan kata lain,
ada jarak di antara hukum dengan realitas-realitas sosial yang ada. Sebagai
akibatnya hukum tak mampu menjawab persoalan-persoalan yang diajukan kepadanya.
Secara nyata, ilmu hukum yang diemban di Indonesia sebagaimana diajarakan di
pendidikan-pendidikan hukum Indonesia
dan yang dipraktekkan leh para praktisi hukum,
baik pemerintah maupun swasta masih cenderung berparadigma positivistik
seperti yang diajarkan oleh Hans kelsen dan Reine Rechtslehre-nya.
Menurut beberapa pakar hukum Indonesia,
ilmu hukum demikian tidak adekuat dalam masyarakat yang sedang mengalami
pembangunan hukum dan menjalani perubahan sosial5.
Sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Soedirman
Kartohadiprodjo6 hukum itu ada untuk
mewujudkan keadilan di samping ketertiban masyarakat. Unsur keadilan yang
meresapi keseluruhan bidang hukum berwujud penilaian manusia laian dalam
pergaulan hidup. Oleh karena itu, penilaian adil dan tidaknya suatu perbuatan
atau perilaku akan ditentukan oleh pandangan manusia sesuai dengan tempat
individu dalm pergaulan hidup dan dengan demikian menjadi inti dari pandangan
hidup yang dianut. Tata hukum dan cara berfikir yuridis sangan ditentukan atau
diwarnai oleh pandangan hidup masyarakat. Dengan demikian cara berpikir yuridis
yang diajarkan di Indonesia
masih dipengaruhi oleh cara pandang bangsa Barat (Belanda) mengenai hukum.
Cara pandang bangsa Barat yang tidak sesuai
dengan cara pandang bangsa Indonesia
seperti halnya sifat individualisme. Pandangan individualisme Barat muncul pada
zaman Renaisance yang kemudian mengalami pergolakan dan perumusan kefilsafatan
oleh para sarjana Barat seperti John Locke, Thomas Hobbes, Jean Jecques
Rousseau dan Thomas Jefferson. Menurut Soedirman, individualistis mempunyai
pandangan bahwa manusia diciptakan bebas dan sama, yang satu lepas dari yang
lain dan manusia masing-masing mempunyai kekuasaan yang penuh (men are
created free and equal).
Sedangkan bangsa Indonesia mempunyai pandangan yang
jauh berbeda dengan pandangan bagsa Barat di atas. Manusia diciptakan oleh
Tuhan yang Maha Esa untuk hidup bersatu dengan manusia lain. Oleh karena itu,
individu itu bersatu dengan lingkungan sosialnya bahkan dangan alam sekitarnya.
Kekecewaan senada diungkapkan pula oleh
Mochtar Kusumatmadja7 bahwa
pendidikan hukum kolonial Belanda diimplementasikan oleh para yuris Indonesia yang
diperoleh lewat jalur pendidikan hukum yang juga merupakan warisaan kolonial.
Pendidikan hukum kolonial di Indonesia
zaman dahulu hanya untuk mengawaki tata hukum untuk memnuhi kebutuhan
masyarakat kolonial pada waktu itu dan sebagai penopang ekonomi negara induk.
Padahal seharusnya para yuris di negara berkembang seperti Indonesia
membutuhkan pengetahuan antara hukum dan faktor-faktor pembangunan, norma-norma
sosial dan institusi. Menurut Satjipto Rahardjo, pendidikan hukum seperti ini
pada akhirnya menghasilkan sarjan-sarjana yang menguasai kemahiran sebagai
tukang yaitu ahli hukum dan hanya mampu dan mahir menerapkan dan menafsirkan
antara hukum posistif.
D. Beberapa Penyebab Permasalahan
Pada intinya kekecewan-kekecewaan yang
dilontarkan oleh para pakar hukum Indonesia
di atas berkisar pada pemikiran atas cara pandang Ilmu Hukum barat yang tidak
sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia. Bangsa barat pun
mempunyai cara pandang hukum yang berbeda-beda sesuai dimensi waktu dan tempat.
Pandangan mereka terekam pada gagasan-gagasan tentang hukum yang kemudian kita
sebut sebagai madzhab dalam Ilmu Hukum. Selanjutnya pemikiran tentang Ilmu
Hukum itu dianut oleh para legis di negeri Belanda. Hukum produk kolonial itu
kemudian diajarkan kepada bangsa Indonesia melalui pendidikan hukum.
Dengan demikian pandangan barat yang terekam dalam produk hukumnya diterima
oleh para yuris di Indonesia.
Pada konteks seperti ini Ilmu Hukum dan/atau
cara pandang bagsa barat dipaksakan utnuk diterima oleh bangsa Indonesia.
Penyamaan bangsa barat dengan bagsa Indonesia mengenai Ilmu Hukum merupakan
suatu pemerkosaan ilmu pengetahuan karena bangsa Indonesia walaupun sejak tahun
1945 telah menyatakan diri sebagai negara merdeka dari penjajahan bangsa asing
tetapi secara kenyataan masih menerima Ilmu Hukum dari bangsa barat yang tidak
sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia. Kita tentunya tidak apriori dengan
sesuatu yang datangnya dari bangsa barat. Akan tetapi sesuatu yang datang dari
barat dan tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia
dan tetap dianut dan diajarkan di Indonesia
justru tidak sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Paling tidak ada usaha
ke arah pengembangan Ilmu Hukum Nasional yang selaras dengan jiwa dan cita
bangsa Indonesia.
Kemerdekaan bangsa Indonesia
merupakan kebebasan bangsa dalam menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa
dipengaruhi oleh bangsa lain.
Oleh karena itu, untuk merefleksikan dan
merelevansikan madzhab-madzhab hukum yang berasal dari barat itu bagi
pengembangan Ilmu Hukum Nasional perlu dianalisis dengan pertanyaan-pertanyaan
mendasar, yaitu pertanyaan-pertanyaan who (siapa), what (apakah),
when (kapankah), where (dimanakah), dan why
(mengapa). Analisis dengan
pertanyaan-pertanyaan mendasar ini perlu dilakukan agar jangan sampai
madzhab-madzhab dalam Ilmu Hukum yang kebanyakan berasal dari barat itu ditelan
mentah-mentah oleh bangsa Indonesia.
Pertama, pertanyaan dengan kata tanya who menanyakan
siapakah tokoh-tokoh di belakang madzhab tersebut. Dengan mempertanyakan pelaku
ini dihasilkan suatu pandangan integral mengenai latar belakang pelaku (tokoh
madzhab), siapakah dia sebenarnya. Selama ini dalam literatur Ilmu Hukum maupun
Filsafat Hukum masih jarang, jika tidak dikatakan tidak ada sama sekali, yang
mengadakan analisis dengan dasar dua pertanyaan di atas. Padahal dengan tiga
pertanyaan selanjunya yaitu when (kapan pendapatnya diilontarkan), where (di
manakah pendapatnya itu dinyatakan) dan why (mengapa dia berpendapat seperti
itu) akan lebih mempertajam wawasan pemerhati hukum dalam penyeleksian
madzhab-madzhab dalam Ilmu Hukum yang ada. Sangat disayangkan, kajian
menyeluruh (integrated) mengenai madzhab-madzhab hukum yang meliputi lima pertanyaan di atas
masih jarang dilakukan.
Sebagai contoh, dengan pertanyaan when dan
where dapat diketemuka dinamika yang begitu luas. Sebagaimana diketahui,
madzhab-madzhab Ilmu Hukum dalam kajian Filsafat Hukum dimulai sejak zaman
Yunani Kuno (600SM) dengan tokoh seperti Anaximander, Heraklitos, Parmenides,
Plato, Aristoteles, dan Protagoras sampai abad XX dengan munculnya alian-aliran
seperti fenomenlogi, eksistensialisme, dan teori-teori hukum alam8. Ini pun masih berkembang di masa-masa
selanjutnya. Dengan rentang waktu yang demikian lamanya (sekitar 2550 tahun)
tentu akan berkembang pula corak, ragam dan karakternya. Sedangkan negara
tempat munculnya teori itu juga sangat beragam. Hanya ada sbagian kecil yang berasal
dari luar Eropa, seperti China,
Arab dan Amerika. Padahal tipa negara mempunyai garis politik, ciri
pemerintahan, sejarah negara dan kondisi sosial berbeda-beda yang terbukti juga
mempengaruhi pendapat para tokoh seperti terjadi pada Thomas Hobbes,
Montesqiau, Karl Max dan lain-lain. Sekarang apakah Ilmu Hukum yang akan
dikembangkan di Indonesia
itu tetap berkutat pada pemikiran-pemikiran tentang hukum yang sudah
dilontarkan oleh mereka? Bagaimanakah madzhab hukum Indonesia itu? Jawaban ini tentunya
tidak mudah dijawab. Pertanyaan kedua ini menuntut kita untuk menggali terlebih
dahulu nilai-nilai filosofi yang dianut
bangsa Indonesia.
E. Metode dan Solusi
Merujuk pada madzhab-madzhab Ilmu Hukum yang
dikenal, ada beberapa cara melakukan refleksi dan relevansi terhadapnya. Metode
yang digunakan seperti demikian sangat
diharapkan selalu memperhatikan konteks masyarakat yang ada. Bisa jadi
pandangan seperti ini menimbulkan sikap apriori terhadap madzhab-madzhab itu.
Namun pengetahuan para hukum Indonesia
tidak mungkin akan melepaskan pemikiran-pemikiran dari beberapa madzhab itu
secara keseluruhan. Ajaran setia masdzhab merupakan basic knowledge
untuk mengkontekskstualisasikan pemikiranmereka sesuai jiwa bangsa Indonesia. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa pengembangan Ilmu hukum itu dapat dilakukan dengan
metode:
a.
Memakai salah satu madzhab yang paling sesuai dengan pandangan bangsa Indonesia.
Metode seperti ini jarang dilakukan mengingat beberapa ajaran madzhab itu
mungkin sesuai akan tetapi ajaran yang tidak selaras. Dengan kata lain ajaran
dari suatu madzhab ada yang diterima dan ada yang tidak diterima;
b.
Melakukannya dengan cara mengolah kembali pandangan-pandangan dalam
madzhab itu serta menyesuaikannya dengankonteks sosial di Indonesia.
Ibarat seorang juru masak, dia mengambil beberapa bumbu masak dengan proporsi
seimbang sehingga menghasilkan masakan yang lezat menurut lidah pemesa. Para
pakar hukum Indonesia mengembangkan “masakan” Ilmu Hukum dari macam-macam
“bumbu” madzhab hukum untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan “cita rasa”
Indonesia;
c.
Metode radikal yang dilakukan dengan membongkar ajaran-ajaran lama
digantikan dengan ajaran yang baru sama sekali yang sesuai dengan kondisi
sosial masyarakat Indonesia
dan merumuskannya dalam ajaran yang disebut “madzhab Indonesia”. Metode seperti ini
sulit dilakukan karena pemikiran-pemikiran para pakar hukum Indonesia tidak begitu saja lepas dari pengaruh
pemikiran darai para ahli dari luar Indonesia.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan
Ilmu Hukum yang bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper
bagitu saja Ilmu-ilmu Hukum yang bersal dari luar dan yang dianggap modern,
tetapi juga tidak secara membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus
berjalan secara selaras9.
Selanjutnya dengan mengilhami dari teori law
as a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological
yurisprudence Mochtar Kususmaatmadja menghasilkan teori hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat10.
Beberapa karakteristik dari teori beliau yang membedakan dengan teori dari
Roscoe Pound adalah:
a.
Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses
pembaharuan di Indonesia,
sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama ditujukan pada peranan pembaharuan
terhadap putusan pengadilan, khususnya putusan Supreme Court sebagai mahkamah
tertinggi;
b.
Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang
menolak penerapan mekanistis dari konsepsi law as a tool of social
engineering. Penerapan secara mekanistis demikian, yang digambarkan dengan
kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan
penerapan legisme yang dalam sejarah hukum di Indonesia telah dikritik banyak
pihak.
c.
Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka Indonesia
sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan
kebijaksanaan luhur. Dengan demikian, perumusan resmi ini merupakan pengalaman
masyarakat bangsa Indonesia
menurut sejarah11.
Beberapa pendapat para hukum Indonesia yang lain mempunyai pandangan yang
tidak jauh berbeda bahwa pengembangan Ilmu Hukum Nasional harus didasarkan pada
jiwa dannilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Soepomo, Moh. Kosnoe dan
Sunaryati Hartono merupakan tokoh-tokoh yang gigih memperjuangkan hukum adat,
sebagai hukum yang hidup, untuk dijadikan pijakan bagi pengambangan Ilmu Hukum
nasional.
Satjipto Rahardjo memberikan catatan bahwa
dalam mengkaji hukum adat ini tidak dilakukan mellaui jalur yang positivistis-normatis-legalistis
karena dengan demikian akan memuculkan diskusi yang positivistis pula12. Tawaran beliau adalah melalui jalur
keilmuan yaitu memberikanpenekanan pada aspek metodologis dalam menggarap
permaslahannya. Aspek metodologis ini diwakili dengan pengkajian secara
anthropologis. Pemanfaatan studi anthropologis akan memberikan hasil (keadaan) yang mendekati realistas yang ada
di massyarat.
F. Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik
konklusi bahwa permasalahan-permasalahan hukum di Indonesia muncul tidak lepas
dari kelemahan hukum, pendidikan hukum dan sarana-prasarana yang ada. Bila
demikian, Ilmu Hukum pun dipertanyakan kembali. Konteks sosial Indonesia yang
berlainan dengan sosial negara lain akan memberikan kesimpulan bahwa diperlukan
pengembangan Ilmu Hukum nasional yang lebih selaras dengan kondisi sosial
bangsa. Beberapa pakar hukum Indonesia telah mengadakan kajian mengenai
permasalahan ini dan menyumbangkan pemikiran-pemikirannya tentang Ilmu Hukum
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar