Selasa, 23 Desember 2003

Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia

Oleh : Ahmad Bahiej 
 
A.   Pendahuluan

Hukum pidana Indonesia (baca: KUHP) yang nama aslinya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI), merupakan produk asli bangsa Belanda yang diterapkan bagi bangsa Indonesia. Baru kemudian dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut berubah nama menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), dan dapat disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Perubahan nama itu diikuti dengan perubahan istilah, penambahan beberapa tindak pidana, dan perubahan ancaman hukuman yang sifatnya tambal sulam agar tampak lebih meng-Indonesia.

Setelah sekian lama KUHP tersebut berlaku di Indonesia, terbukti masih saja menyisakan berbagai masalah sosial di Indonesia. Permasalahan-permasalahan sosial yang muncul, tidak secara otomatis kemudian selesai dengan hanya menerapkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut. Ada banyak faktor sosiologis bangsa Indonesia yang membuat KUHP itu malah merugikan bangsa. Apalagi, perkembangan teknologi yang sedemikian global membuat KUHP lebih tampak usang, out of date.

Secara lebih mendasar KUHP memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right)[1]. Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Masalah delik perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dengan kepentingan/nilai sosial masyarakat. Benturan-benturan yang sering terjadi di masyarakat, acapkali menimbulkan kejahatan baru seperti pembunuhan, penganiayaan, atau main hakim sendiri. Hal ini diperparah dengan lemahnya praktek penegakan hukum. Dalam edisi ini, pertama kali delik perzinahan hanya akan dikaji secara yuridis formal agar lebih mudah mencermati kejanggalan-kejanggalan yang ada. Sedangkan tinjauan berikutnya akan dipaparkan dalam kesempatan yang lain.
B.   Kedudukan Pasal 284 Mengenai Delik Perzinahan dalam KUHP
Delik perzinahan (overspel) diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:
a.       yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 - 283);
b.       zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
c.       perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d.       yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan (Pasal 299);
e.       memabukkan (Pasal 300);
f.         menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
g.       penganiayaan hewan (Pasal 302);
h.       perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a.       mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
b.       yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c.       yang berhubungan dengan perbuatan tidak susila terhadap hewan (Pasal 540, 541 dan 544);
d.       meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
e.       menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian (Pasal 546);
f.         saksi yang memakai jimat dalam persidangan (Pasal 547).
Ketentuan-ketentuan  pidana yang diatur dalam Bab XIV mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan ini sengaja dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan asusila dan perilaku-perilaku baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan di bidang seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat maupun dari segi kebiasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka[2].
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa kesusilaan itu mengenai juga tentang adat kebiasaan yang baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex) seorang manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik kesusilaan semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan[3]. Akan tetapi menurut Roeslan Saleh, pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat[4].
C.   Sejarah Pembentukan Pasal 284 KUHP
Pada zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan mengenai kejahatan perzinahan mengenai perlu atau tidaknya dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan dapat diancam dengan pidana. Menurut hukum Romawi, pihak wanita sajalah yang dapat dipersalahkan telah melakukan perzinahan. Jika terdapat isteri melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, maka ia telah dipandang sebagai seorang istri yang merugikan hak seorang suami untuk menuntut kesetiaan dari isterinya dalam perkawinan. Perlakuan di depan hukum yang tidak seimbang antara wanita denga pria itu kemudian berlanjut pada Code Penal Perancis.
Berbeda dengan hukum Romawi yang memandang wanita lebih rendah kedudukannya di depan hukum dibandingkan dengan pria, ternyata hukum gereja Katholik telah menempatkan kedudukan wanita itu sederajat dengan kedudukan pria di depan hukum. Oleh karena itu, perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai inbreuk op de heilige band van het huwelijk atau suatu penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan.
Pandangan gereja Katholik tentang kedudukan hukum yang sederajat antara pria dengan wanita itu telah diikuti oleh pembentuk undang-undang di negeri Belanda yang dapat dilihat cara mereka merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340 sampai dengan Pasal 344 Criminal Wetboek voor het Koninklijk Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinahan sebagai sutau perbuatan yang terlarang dan dapat diancam pidana.
Semula saat Wetboek van Strafrecht (KUHP) itu dibentuk, perzinahan tidak dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik (kejahatan). Akan tetapi atas usul Mr. Modderman, perzinahan dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang terlarang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Alasan yang dipakai Mr. Modderman adalah apabila perzinahan itu tidak diatur dalam WvS dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi kesusilaan.
Atas usul Modderman itu, kemudian perzinahan dicantumkan sebagai salah satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang dibentuk. Dengan demikian wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria yaitu bukan hanya berkedudukan sebagai subyek dari tindak pidana perzinahan akan tetapi berkedudukan pula sebagai pihak yang sama. Artinya, pihak wanita berhak pula mengajukan pengaduan dan gugatan perceraian jika perbuatan itu dipandang perlu baginya[5].
D.   Pengertian Overspel
Dari berbagai terjemahan WvS yang beredar di pasaran, para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel. Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain menggunakan kata atau istilah mukah atau gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya Moelyatno, Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau terjemahan KUHP dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman.
Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche Taag kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang kurang lebih berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Menurut putusan Hooge Raad tanggal 16 Mei 1946, overspel  berarti sebagai berikut:
“is niet begrepenvleeselijk gemeenschap met een derde onder goedkeuring van den anderen echtgenoot. De daad is dan geen schending van de huwelijk strouw. I.c. was de man souteneur; hij had zijn vrouw tot publiek vrouw gemaakt. Hij keurde haar levenswijze zonder voorbehoud goed”.
Artinya :
“di dalamnya tidak termasuk hubungan kelamin dengan seorang ketiga dengan persetujuan suami atau isterinya, perbuatan itu bukan pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan yaitu andaikata suaminya adalah germo maka dia telah membuat isterinya menjadi pelacur, ia menganggap cara hidupnya itu lebih baik tanpa pengecualian.
Demikian pula overspel menurut Noyon-Langemayer yang menegaskan bahwa overspel kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de angehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet medepleger, yang artinya perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah; yang tersangkut dalam perbuatan itu adalah turut serta (medepleger)[6].
Oleh karena itu, melihat ketentuan Pasal 284 sedemikian rupa, maka overspel yang dapat dikenai sanksi pidana menurut KUHP adalah:
a.       persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila pasangan ini belum menikah kedua-kedunaya, maka persetubuhan mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai overspel, hal mana berbeda dengan pengertian berzina yang menganggap persetubuhan  antara pasangan yang belum menikah juga termasuk di dalamnya.
b.       partner yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti apabila partner yang disetubuhi telah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku.
c.       persetubuhan tidak direstui oleh suami atau pun isteri yang bersangkutan. Secara a contrario dapat dikatakan kalau persetubuhan itu direstui oleh suami atau isteri yang bersangkutan maka itu bukan termasuk overspel.[7]
E.   Unsur-unsur Dapat Dipidananya Perzinahan Menurut Pasal 284 KUHP
Menurut asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana, unsur-unsur tindak pidana merupakan syarat-syarat untuk menentukan sampai di mana perbuatan seorang manusia dapat dikenakan hukuman/pidana. Unsur-unsur itu meliputi perbuatan manusia yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta unsur orang atau pelakunya, yakni adanya kesalahan pada diri pelaku.
Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang rumusan aslinya menggunakan bahasa Belanda, yaitu :
(1) Met gevangenisstraf van ten hoogste negen maanden wordt gestraft:
       1.    a.    de gehuwde man die wetende dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is, overspel pleegt;
              b.    de gehuwde vrouw die overspel pleegt;
       2.    a.    de man die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd is;
              b.    de ongehuwde vrouw die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd en dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is.
(2)  Geene vervolging heeft plaats dan op de klachte van den beledigden echtgenoot, gevolgd indien op de echtgenoten art. 27 van het Burgerlijk Wetboek toepasselijk is, binnen den tijd van drie maanden door een eis tot echtscheiding of scheiding van tafel  en bed op grond vanhetzelfde feit.
(3)  Ten aanzien van deze klachte zijn de art. 72, 73 en 75 niet van toepassing.
(4)  De klachte kan worden ingetrokken zolang het onderzoek ter terechtzitting niet is aangevangen.
(5)  Indien op de echgenoten art. 27 van het Burgerlijk Wetboek toepasselijkis,wordt aan de klachte geen gevolg  gegeven, zolang niet het huwelijk door echtscheiding is ontbonden of het vonnis, waarbij scheiding van tafel en bed is uit gesproken, onherroepelijk is geworden[8].
Tindak pidana perzinahan atau overspel yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk delict atau merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja[9]. Ini berarti bahwa unsur kesengajaan itu harus terbukti pada si pelaku agar ia dapat terbukti sengaja dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinahan dari tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.
Adapun mengenai kesengajaan ini, KUHP tidak memberikan definisi secara jelas. Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari Memorie van Toelchting (MvT) yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wettens). Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan[10]. Apabila unsur kesengajaan dari pelaku zina ini tidak dapat  dibuktikan maka pelaku tidak terbukti menghendaki atau tidak terbukti mengetahui perzinahan yang dilakukan, sehingga hakim harus memutuskan bebas dari tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) bagi pelaku.
            Menurut Simons, untuk adanya suatu perzinahan menurut Pasal 284 KUHP itu diperlukan adnya suatu vleeslijk gemeenschap atau diperlukan adanya suatu hubungan alat-alat kelamin yang selesai dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita[11]. Sehingga apabila dilakukan oleh dua orang yang berjenis kelamin sama bukan merupakan perzinahan yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP
Syarat lain yang perlu diperhatikan agar perbuatan melakukan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya telah kawin dapat disebut sebagai delik perzinahan menurut KUHP adalah bahwa tidak adanya persetujuan diantara suami isteri itu. Artinya jika ada persetujuan di antara suami dan isteri, misal suami yang bekerja sebagai mucikari dan isterinya menjadi pelacur bawahannya maka perbuatan semacam itu bukanlah termasuk perbuatan zina. Hal ini didasarkan pada Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 16 Mei 1946 N.J. 1946 Nomor 523 yang telah disebutkan di muka.
Agar lebih jelas di bawah ini akan diuraikan satu per satu dari bagian Pasal 284 KUHP.
1. Pasal 284 ayat (1)
Ayat (1) dari Pasal 284 KUHP ini terdiri dari dua angka yang masing-masing terdiri atas dua huruf, yaitu :
Ke-1      a.    Laki-laki beristri, yang berzina, sedangkan diketahuinya bahwa Pasal 27 Burgerlijk Wetboek berlaku baginya.
              b.    perempuan bersuami, yang berzina
Berdasarkan ketentuan demikian, maka seorang pria dapat didakwa melakukan zina apabila telah memenuhi unsur:
a.       pria tersebut telah menikah;
b.      pria tersebut telah mengetahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
Oleh karena itu, apabila seorang pria yang melakukan perzinahan itu telah menikah akan tetapi Pasal 27 BW tidak berlaku baginya maka pria tersebut tidak dapat didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP, melainkan pria tersebut didakwa dengan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a KUHP, yakni jika pria tersebut memang mengetahui bahwa wanita yang berzina dengan dirinya itu telah terikat  perkawinan dengan pria lain. Karena dalam ketentuan ini wanita tidak disyaratkan tunduk pada Pasal 27 BW.
Di dalam rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP juga disyaratkan adanya pengetahuan dari pelaku, yakni bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 BW itu berlaku bagi dirinya. Apabila ternyata di dalam persidangan yang memeriksa perkara perzinahan, syarat pengetahuan berlakunya ketentuan Pasal 27 BW itu tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum maka hakim harus memberikan putusan bebas  (vrijspraak) bagi pelaku.
Adapun Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) yang dijadikan salah satu unsur dari tindak pidana perzinahan itu berbunyi sebagai berikut :
 “Pada saat yang sama, seorang pria hanya dapat terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang wanita, dan seorang wanita hanya dapat terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang pria”.
Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf b menentukan larangan bagi seorang wanita yang telah menikah melakukan perzinahan dengan seorang pria. Berdasarkan ketentuan ini dapat diambil pengertian bahwa seorang wanita didakwa melakukan zina apabila telah memenuhi satu unsur saja, yakni dia telah menikah. Wanita itu tidak diharuskan tunduk pada Pasal 27 BW sebagaimana seorang laki-laki yang berzina, karena undang-undang telah menentukan secara umum tentang dapat dipidananya seorang wanita yang telah menikah yang melakukan suatu perzinahan.
Ke-2   a.    Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan diketahuinya bahwa yang turut bersalah, sudah bersuami.
Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a di atas mengatur larangan bagi seorang pria turut melakukan perzinahan dengan seorang wanita, yang ia ketahui bahwa wanita tersebut berada dalam keadaan menikah dengan pria lain. Dari ketentuan seperti ini seorang pria dapat diancam pidana sembilan bulan penjara karena turut melakukan (medeplegen) perzinahan jika:
a.       pria tersebut tidak berada dalam keadaan menikah dengan wanita lain atau sudah menikah tetapi Pasal 27 BW tidak berlaku baginya;
b.       pria tersebut mengetahui bahwa wanita yang ia zinahi itu sudah menikah dengan pria lain.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a, angka 2 huruf a inipun tidak mensyaratkan adanya wanita yang tunduk pada Pasal 27 BW. Jadi tidak mempermasalahkan apakah wanita tersebut tunduk pada Pasal 27 ataupun tidak. Dalam undang-undang ditentukan secara umum tentang dapat dipidananya seorang pria yang turut melakukan perzinahan dengan wanita yang bersuami.
Pada Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a inipun disyaratkan adanya pengetahuan dari seorang pria yang turut melakukan perbuatan zina bahwa wanita yang dia zinahi telah beristeri.
Ke-2      b. Perempuan yang tidak bersuami, yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan diketahuinya, bahwa yang turut bersalah sudah beristeri dan Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku baginya.
Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b menentukan larangan bagi seorang wanita yang tidak menikah turut melakukan perzinahan dengan seorang pria, yang ia ketahui bahwa pria tersebut berada dalam keadaan menikah dengan wanita lain, dan yang ia ketahui pula bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 BW berlaku bagi pria itu.
Dengan demikian seorang wanita dapat diancam pidana sembilan bulan karena turut melakukan perzinahan jika:
a.       wanita tersebut tidak dalam keadaan menikah;
b.       wanita tersebut mengetahui bahwa pria lawan mainnya sudah beristeri;
c.       wanita tersebut mengetahui bahwa atas pria lawan mainnya itu diberlakukan ketentuan Pasal 27 BW.
Pasal ini juga mensyaratkan adanya pengetahuan dari pihak wanita, bahwa ia mengetahui ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi si pria. Sehingga apabila dalam persidangan yang memeriksa perkara itu tidak terbukti bahwa wanita itu mengetahui maka bagi hakim harus memberikan putusan bebas (vrijspraak) bagi wanita.
Berdasarkan rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a dan b KUHP di atas dapat diketahui bahwa hanya pria dan wanita yang telah menikah sajalah yang dapat disebut sebagai pelaku perzinahan. Sedangkan pria dan wanita yang belum menikah, menurut Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a dan b KUHP, dipandang sebagai orang yang turut serta melakukan perzinahan.
2. Pasal 284 ayat (2) KUHP
            Selengkapnya, bunyi Pasal 284 ayat (2) itu adalah sebagai berikut:
“Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW , dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga”.
Ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHP berisi bahwa undang-undang menentukan terhadap pelaku tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP itu tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan dari suami atau isteri yang tercemar. Apabila bagi suami dan isteri itu berlaku Pasal 27 BW maka dalam tempo tiga bulan dari pengaduan tersebut harus diikuti dengan gugatan perceraian dari meja makan dan tempat tidur, yang disebabkan karena terjadinya perzinahan itu.
Berdasarkan  Pasal 284 ayat (2) KUHP di atas, dapat diketahui bahwa delik perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP merupakan delik aduan absolut (absolute klachtdelicten). Artinya, dalam keadaan apapun delik perzinahan merupakan delik aduan. Adanya aduan ini merupakan syarat mutlak agar pelaku-pelakunya dapat dituntut (voorwarde van vervolgbaasheid) secara pidana.
Alasan yang mendasari pemikiran bahwa delik perzinahan itu merupakan delik yang digantungkan pada adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirinya telah dirugikan oleh para pelakunya, laporan Tweede Kamer menjelaskan karena jika tidak ditentukan demikian maka hubungan-hubungan yang sifatnya khusus dalam keluarga itu seringkali akan menjadi terganggu tanpa guna. Selain itu apabila pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku ternyata tidak mempunyai keinginan untuk mengajukan gugatan perceraian atau gugatan perceraian dari meja makan dan tempat tidur maka tidak terdapat suatu dasar yang kuat untuk memberikan wewenang kepada pihak tersebut yakni untuk meminta kepada alat-alat negara agar terhadap pihak-pihak yang telah merugikan dirinya itu dilakukan penuntutan menurut hukum pidana.
Sementara itu Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 24 Oktober 1932 N.J. 1932 menentukan bahwa :
“kejahatan ini hanya dapat dituntut jika ada pengaduan, yakni bukan karena adanya hubungan pribadi antara orang yang terhina dengan para pelaku, melainkan karena sifatnya yang khusus dari kejahatan ini. Semua orang yang terlibat di dalamnya dalam salah satu bentuk keturutsertaan, termasuk juga orang yang telah menggerakkan para pelaku untuk melakukan kejahatan ini, hanya dapat dituntut setelah adanya pengaduan”[12].
Adanya keterangan dari Hooge Raad di atas menjelaskan  adanya ketentuan antara pelaku (dader) dengan pihak-pihak yang turut serta dalam delik perzinahan sehingga delik perzinahan itu dapat terjadi. Proses penyidikan dari kepolisian tidak hanya melakukan penyidikan terhadap orang yang diadukan oleh pengadu melainkan juga terhadap orang-orang yang terlibat dalam kejahatan itu, misalnya orang yang menyuruhlakukan (doenpleger), orang yang turut melakukan (medepleger) atau orang yang menggerakkan (oitlokker).
Hal ini pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan kasasinya tanggal 19 Maret 1955 Nomor 52 K/Kr/1953:
“Pasal 284 KUHP itu merupakan suatu absoluut klachdelict sehingga pengaduan terhadap laki-laki yang melakukan perzinahan juga merupakan pengaduan terhadap isteri yang berzinah, sedang jaksa berwenang untuk atas oportunitas hanya mengadakan penuntutan terhadap salah seorang dari mereka”.
3. Pasal 284 ayat (3) KUHP
Pasal 284 ayat (3) KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Bagi pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75”.
Ketentuan ini mengatur bahwa undang-undang menentukan bagi gugatan yang dimaksudkan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP itu tidak berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 72, 73 dan 75 KUHP. Adapun ketentuan yang diatur dalam pasal -pasal itu adalah
Pasal 72
(1)    Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, umurnya belum cukup umur enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia  di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain dari pada keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.
(2)    Jika wakil itu tidak ada atau ia sendiri yang harus diadukan maka penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau wali pengampu atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas atau kewajiban wali pengampu itu. Demikian juga atas pengaduan istri atau seorang keluarga sedarah dalam turunan yang lurus, atau bila tidak ada keluarga sedarah itu, atas pengaduan sedarah dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ke tiga.
Pasal 73
Jika orang yang terkena kejahatan itu meninggal dunia dalam tempo yang ditetapkan dalam pasal berikut, maka tanpa menambah tempo itu, penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya atau suami/isterinya yang masih hidup kecuali jika dapat dibuktikan bahwa yang meninggal itu tidak menghendaki penuntutan.

Pasal 75
Barangsiapa mengajukan penuntutan, ia berhak akan menarik kembali pengaduannya dalam tempo tiga bulan terhitung mulai pengaduan diadukan.
Tidak diberlakukannya Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 75 merupakan konsekuensi logis dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (2) dan ayat (4). Dalam adagium dikenal lex specialis derogat lex generali, peraturan yang lebih khusus menghapuskan peraturan yang berlaku umum. Pasal 284 ayat (2) ini menghapuskan ketentuan Pasal 72 dan Pasal 73 yang sifatnya lebih umum. Oleh karena itu, yang berhak mengadukan dalam delik perzinahan hanyalah suami atau isteri yang melakukan tindak pidana zina. Sedangkan wakil, keluarga sedarah ataupun orang tuanya tidak berhak atas pengaduan ini. Sedangkan tidak diberlakukannya Pasal 75 KUHP dalam delik perzinahan karena menurut Pasal 284 ayat (4) KUHP pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
4. Pasal 284 ayat (4) KUHP
Pasal 284 ayat (4) KUHP berbunyi :
“Pengaduan ini dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum dimulai”.
Ketentuan ini mengatur adanya kesempatan bagi pihak yang mengadukan delik perzinahan untuk melakukan pencabutan kembali pengaduannya. Undang-undang menentukan batas pencabutan pengaduan adalah selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Adapun permulaan pemeriksaan dalam sidang pengadilan adalah ketika hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang dibuka untuk umum. Akan tetapi karena delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan, maka sidang dibuka dan tertutup untuk umum. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP:
(3)  Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya  anak-anak.
5. Pasal 284 ayat (5) KUHP
Pasal 284 ayat (5) KUHP berbunyi :
“Jika bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 BW, maka pengaduan tidak diindahkan sebelum perkawinan diputus karena perceraian, atau sebelum keputusan, yang membebaskan mereka dari pada berdiam serumah, menjadi tetap”.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (5) ini pada dasarnya menentukan bahwa apabila bagi suami isteri yang kedamaian rumah tangganya telah diganggu oleh peristiwa perzinahan yang dilakukan oleh salah satu pihak dari mereka yang berlaku ketentuan dalam Pasal 27 BW, maka pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan tidak akan mempunyai kelanjutan, jika ikatan perkawinan antara mereka itu oleh pengadilan belum diputus oleh perceraian atau jika perceraian dari meja makan dan tempat tidur yang diputuskan oleh pengadilan itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Pasal 284 ayat (5) ini merupakan ketentuan yang baru, yang dimasukkan dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan Undang-undang tanggal 15 Januari 1886 yaitu sebelum WvS terbentuk pada tahun 1881 itu diberlakukan secara efektif di negeri Belanda pada tahun 1886[13].
F. Permasalahan yang Muncul Berkenaan Pasal 284 KUHP
Berdasarkan Pasal 284 KUHP, perbuatan yang disebut sebagai  perzinahan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya atau salah satu dari mereka telah menikah. Sehingga apabila perbuatan bersetubuh itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya tidak diikat oleh perkawinan dengan orang lain maka bukan termasuk perzinahan.
Batasan yang diberikan KUHP itu dirasa sangat sempit. Namun hal ini dimaklumi karena KUHP disusun oleh kolonial Belanda yang mempunyai pandangan berbeda dengan pandangan masyarakat dalam memandang perbuatan zina. Menurut pembentuk undang-undang, perzinahan hanya dapat terjadi karena pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Seperti yang disebut dalam Van Dale’s Groat Woordenboek der Nederlanche yang menyatakan bahwa perzinahan berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.
Padahal menurut pandangan masyarakat Indonesia umumnya, perrbuatan zina dapat terjadi apabila ada persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Pengertian seperti ini lebih luas dari pada pengertian overspel dalam KUHP.
Menurut Sahetapy, perbuatan bersetubuh yang tidak sah berarti persetubuhan yang bukan saja dilakukan oleh suami atau isteri di luar lembaga perkawinan, tetapi juga persetubuhan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya belum menikah, kendatipun sudah bertunangan. Sah di sini harus ditafsirkan sah dalam ruang lingkup lembaga perkawinan. Sehingga zina meliputi pula fornication yaitu persetubuhan yang dilakukan secara suka rela antara seorang yang belum menikah dengan seseorang dari sex yang berlawanan (yang belum menikah juga). Meskipun persetubuhan itu bersifat volunter, atas dasar suka sama suka, namun perbuatan bersetubuh itu tetap tidak sah. Menurut anggota masyarakat, persetubuhan yang sah hanya dilakukan dalam lmbaga perkawinan. Dengan demikian pengertian berzinah mencakup pengertian overspel, fornication dan prostitusi[14].
Jadi menurut KUHP, seseorang melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan di luar perkawinan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dapat dipidana, kecuali terbukti ada perzinahan. Persetubuhan yang dipidana menurut KUHP hanya terjadi apabila persetubuhan itu dilakukan secara paksa (Pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP) dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup lima belas tahun (Pasal 287 KUHP).
Mengenai makna persetubuhan secara spesifik bertalian dengan perzinahan dalam Pasal 284 itu menurut Soesilo adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani[15].
Menanggapi pengertian yang dipaparkan oleh Soesilo ini, Sahetapy berpendapat bahwa apabila berpangkal tolak dari pembuktian perzinahan dan bukan berpangkal tolak dari pembuktian kebapakan dari anak ini secara biologik maka penambahan kata-kata “…..sehingga mengeluarkan air mani” adalah sangat berlebihan. Bahkan sangat sulit dibuktikan, karena bukanlah kompetensi hukum pidana untuk menentukan kebapakan dan keturunan, melainkan termasuk wewenang dan ruang lingkup hukum perdata[16].
Telah disebut di muka bahwa partner yang disetubuhi belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti jika parner yang disetubuhi sudah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku. Padahal ketentuan Pasal 284 KUHP mengancam dengan pidana peseta pelaku dalam hal ini partner yang belum menikah. Dengan kata lain, partner yang belum menikah yang terlibat atau melibatkan diri dalam perzinahan tidak diancam dengan pidana kecuali atas pengaduan dari isteri atau suami yang bersangkutan. Ini merupakan konstruksi yuridis yang bukan saja deskriminatif tetapi juga tidak masuk akal bagi pikiran yang sehat[17].
Di samping itu Pasal 284 KUHP mensyaratkan adanya keberlakuan Pasal 27 BW bagi pria yang menikah yang berbuat zina. Banyak ahli yang tidak setuju dengan disebutkan hanya Pasal 27 BW ini sebagai ukuran. Hal ini disebabkan warga negara Indonesia yang takluk pada Pasal 27 BW adalah orang-orang Eropa dan Cina. Yang tidak takluk adalah orang-orang Indonesia asli, orang-orang Arab, India, Pakistan dan lain-lain orang yang bukan orang Eropa, kecuali Cina[18].
Permasalahan yang timbul akibat dipakainya ukuran Pasal 27 BW ini misalnya berkaitan dengan Pasal 284 ayat (1)  angka 2 huruf b KUHP. Dalam pasal ini undang-undang telah mensyaratkan adanya  dua pengetahuan dari seorang wanita yang tidak menikah yang telah berzina dengan seorang pria yang telah menikah yaitu :
1.             pria tersebut terikat dengan perkawinan dengan wanita lain;
2.             ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi pria tersebut.
Kiranya sudah cukup jelas bahwa karena pengetahuan yang disyaratkan terakhir itu tidak akan pernah dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun hakim, maka dengan sendirinya wanita yang telah menikah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tidak akan pernah dapat dinyatakan melanggar larangan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP. Atau dengan kata lain undang-undang pidana yang berlaku saat ini tidak melarang dilakukannya perzinahan oleh wanita yang tidak menikah dengan pria yang menikah jika pria tersebut tidak menundukkan diri pada Pasal 27 BW[19].
Selain itu, permasalahan-permasalahan dari persetubuhan yang tidak merupakan tindak pidana menurut KUHP, yaitu :
1.    dua orang yang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun
a.    perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat;
b.    wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan menikahi, tetapi diingkari;
c.    berakibat hamilnya wanita itu dan lai-laki yang menghamilinya tidak bersedia menikahinya atau ada halangan untuk nikah menurut undang-undang;
2.    seorang laki-laki telah bersuami menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut;
3.    seorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami isteri di luar perkawinan padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan atau mengganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat setempat[20].

F. Penutup

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pasal 284 KUHP ternyata pengertian perzinahan yang diberikan oleh masyarakat tidaklah sama dengan pengertian overspel. Overspel sebagai tindak pidana dalam KUHP jika salah satu pelaku zina atau keduanya telah terikat tali perkawinan dan proses peradilan pidana dapat diterapkan bagi tindak pidana perzinahan hanya jika terdapat pengaduan dari istri atau suami pelaku zina. Ketentuan demikian sangatlah tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan yang masih cukup kuat dipegang masyarakat Indonesia. Jika benturan antara nilai-nilai kesusilaan dengan hukum positif yang ada tetap dibiarkan terjadi, dikhawatirkan dapat memunculkan persoalan baru dalam masyarakat seperti main hakim sendiri, pembunuhan bayi hasil hubungan gelap atau kumpul kebo. Sekarang tinggal bagaimana para pembentuk undang-undang mencermati persoalan ini.

 ---daftar pustaka dan footnote sengaja penulis sembunyikan---

Minggu, 17 Agustus 2003

Tinjauan Delik Perzinahan dalam Berbagai Sistem Hukum dan Prospeknya dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia


Oleh: Ahmad Bahiej*

Abstrak
Tiap sistem hukum yang ada di dunia memandang berbeda terhadap delik perzinahan sebagai bagian dalam delik-delik mengenai kesusilaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, perzinahan akan dipandang sebagai sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini berbeda menurut masyarakat yang lebih bercorak individualis. Mereka menilai perzinahan sebagai bentuk perbuatan yang biasa dan tergantung kemauan tiap individu. Perzinahan akan dipandang tercela jika terjadi hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan.
Usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia yang didengung-dengungkan selama ini, diharapkan banyak membuat perubahan-perubahan baru mengenai kelemahan aturan pidana mengenai delik perzinahan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Oleh karena itu, semenjak Konsep KUHP dikeluarkan pada tahun 1964, aturan delik perzinahan mengalami perubahan signifikan.
Pendahuluan
Pada tulisan yang lalu, penulis telah memaparkan delik perzinahan secara yuridis formil sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 284 KUHP. Pembahasan secara positifistik tersebut ternyata memperjelas pemahaman, bahwa delik perzinahan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 284 KUHP memiliki banyak kelemahan secara moril. Nilai dasar yang dipakai dalam membentuk Pasal 284 KUHP berbeda sama sekali dengan konsepsi masyarakat Indonesia mengenai zina itu sendiri. Jelas sekali, perbedaan pandangan demikian berimbas pada perbedaan pengaturan zina dalam hukum pidana.
Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis kembali memaparkan kembali mengenai tindak pidana perzinahan, akan tetapi dalam sudut yang berbeda dengan tulisan yang lalu. Dalam tulisan ini, penulis berusaha memaparkan perbandingan delik perzinahan yang ada dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum lain mengenai tindak pidana perzinahan. Selain itu, akan dipaparkan pula bagaimana usaha yang telah dilakukan untuk mengeliminir kelemahan pengaturan delik perzinahan menurut KUHP dalam kerangka pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Perbandingan Delik Perzinahan dalam Hukum Pidana Positif Indonesia dengan Sistem Hukum Pidana Lain.
1. Hukum Pidana Islam
Dengan membandingkan hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif Indonesia (KUHP) dapat dikemukakan perbedaan-perbedaan sebagai berikut:
a. Menurut KUHP, zina hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan antara kedua orang pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan orang lain. Bukanlah perzinahan apabila perzinahan itu dilakukan dengan paksaan (vide pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (vide pasal 286 KUHP) dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup umur lima belas tahun (vide pasal 287 KUHP). Sedangkan menurut hukum pidana Islam, tidak mempersoalkan apakah pelaku-pelakunya telah diikat perkawinan dengan orang lain atau belum. Setiap persetubuhan di luar perkawinan yang sah adalah zina. Adapun persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan atau persetubuhan  dengan wanita dalam keadaan tidak berdaya atau pingsan hanya merupakan alasan penghapus pidana bagi wanita yang menjadi korban.[1] Bagi pria yang melakukan perbuatan-perbuatan itu tetap dikategorikan sebagai pelaku zina.
b.  Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHP, perzinahan hanya dapat terjadi jika ada persetubuhan yang dilakukan orang yang telah terikat dengan perkawinan. Sedangkan orang yang belum menikah  dalam perbuatan ini adalah termasuk orang yang turut melakukan (medepleger). Sedangkan perzinahan dalam tinjauan hukum pidana Islam adalah lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan dalam KUHP tersebut. Hukum pidana Islam tidak mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân.
c.  Ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal 284 ayat (1) KUHP adalah pidana penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku yang telah menikah maupun bagi orang yang turut serta melakukan perbuatan zina itu. Sedangkan menurut hukum pidana Islam, ancaman pidana disesuaikan dengan pelaku perzinahan. Jika pelaku zina itu muhsân atau telah menikah maka ancaman pidananya adalah rajam (stoning to death). Namun jika perzinahan itu dilakukan oleh orang yang belum menikah (gâiru muhsân) maka ancaman pidananya adalah dicambuk atau didera sebanyak delapan puluh kali.
d.  Ketentuan yang mengatur mengenai persaksian tidak diatur secara khusus dalam delik perzinahan menurut KUHP. Maka sistem pembuktian delik perzinahan sama dengan sistem pembuktian delik-delik yang lain. Artinya, alat bukti yang digunakan dalam membuktian adanya perbuatan zina ini seperti alat-alat bukti yang telah diatur dalam pasal 184 KUHAP, yaitu :
1.       keterangan saksi;
2.       keterangan ahli;
3.       surat;
4.       petunjuk;
5.       keterangan terdakwa.
Selanjutnya pasal 185 ayat (3) mengatur bahwa keterangan seorang saksi saja cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Ketentuan seperti ini berbeda dengan ketentuan mengenai delik perzinahan dalam hukum pidana Islam. Hukuman (had) dapat dijatuhkan apabila ada pengakuan dari pelaku bahwa dia telah melakukan zina atau dari keterangan saksi. Karena menyangkut hidup dan matinya seseorang, keterangan saksi ini mempunyai persyaratan-persyaratan yang khusus, yaitu:
1.   jumlah saksi harus empat orang laki-laki atau apabila tidak ada orang laki-laki maka setiap orang laki-laki hanya dapat digantikan oleh dua orang wanita;
2.   saksi-saksi itu haruslah sudah baligh, berakal sehat dan bersikap adil;
3.   saksi-saksi itu harus beragama Islam;
4.   keempat orang saksi itu mengetahui peristiwa perzinahan secara mendetail.[2]
e.  Pasal 284 ayat (2) KUHP mengatur bahwa delik perzinahan adalah delik aduan absolut (absoluut klachdelicten) yang hanya dapat dituntut atas pengaduan suami atau isteri yang tercemar dengan adanya perzinahan itu (vide pasal 284 ayat (2) KUHP). Hal ini berbeda dengan dengan hukum pidana Islam yang tidak membatasi pada aduan absolut. Hukum pidana Islam tidak memandang zina  sebagai delik aduan, tetapi dipandang sebagai dosa besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari orang-orang yang bersangkutan. Jika persyaratan saksi-saksi telah terpenuhi maka qodli (hakim ) dapat memutuskan perkara perzinahan itu. Saksi di sini tidak menutup kemungkinan dari suami/isteri pelaku atau pun orang lain.
2. Hukum Pidana Adat
Dengan membandingkan hukum pidana adat dengan hukum pidana positif Indonesia (KUHP) dapat dikemukakan perbedaan-perbedaan sebagai berikut
a.  Menurut ketentuan yang disebutkan dalam KUHP perzinahan dapat terjadi apabila ada persetubuhan antara seorang pria dengan seorang wanita yang keduanya atau salah seorang dari mereka telah terikat perkawinan  dengan orang lain. Sedangkan menurut hukum adat perzinahan tidak hanya dilakukan oleh orang yang sudah kawin. Jadi baik sudah menikah maupun belum menikah jika melakukan persetubuhan di luar hubungan yang sah tetap dianggap sebagai perbuatan yang terlarang dan disebut juga sebagai zina.[3]
b. Pasal 284 ayat (1) KUHP menentukan bahwa perbuatan zina dapat diancam dengan pidana penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku yang sudah kawin maupun bagi orang yang turut melakukan perbuatan itu. Namun menurut hukum pidana adat, berat atau ringannya pidana tergantung dari hukum adat yang berlaku di lingkungan adat masing-masing.[4] Adapun tindakan reaksi atau koreksi terhadap kejahatan dalam lingkungan masyarakat adat Indonesia dikenal tindakan-tindakan sebagai berikut :
1.  penggantian kerugian materiel dalam berbagai rupa seperti paksaan untuk menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2.  pembayaran uang adat kepada yang terkena, berupa benda sakti sebagi pengganti kerugian rohani;
3.  selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib;
4.   penutup malu atau permintaan maaf;
5.   pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum;
6.   hukuman badan hingga hukuman mati.[5]
c. Hukum pidana Indonesia (KUHP) menganut asas legalitas formal sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUHP, yaitu tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Akibat dianutnya asas legalitas formal ini maka tafsiran analogi tidak boleh dipergunakan dalam menentukan adanya tindak pidana. Sedangkan asas legalitas formal ini tidak dikenal dalam hukum adat. Setiap perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa sendiri, maka perbuatan atau kejadian itu dianggap sebagai delik adat.[6] Oleh sebab itu dengan alasan manusia tidak akan mampu meramalkan masa yang akan datang, maka ketentuan-ketentuan dalam hukum adat tidak pasti dan bersifat terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang dijadikan ukuran utama menurut hukum adat adalah rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan, waktu dan tempat.[7]
3. Hukum Pidana Negara Lain
Delik perzinahan di berbagai negara asing banyak yang telah dihapuskan dari hukum pidana positifnya seperti Belanda sebagai sumber KUHP Indonesia, Perancis dan Inggris. Alasan-alasan penghapusan pidana untuk delik perzinahan ini adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan zina merupakan perbuatan tercela tetapi jika tujuannya untuk melindungi perkawinan yang sah sehingga diberi sanksi pidana, maka hal tersebut tidak dapat dipertahankan karena rumusan hukumnya mewajibkan bagi mereka bercerai. Kalau akan bercerai, sia-sia memberi pidana yang bersangkutan.
b.  Penegakan hak asasi manusia yang telah berpengaruh luas sehingga kesamaan hak untuk menikmati seks dianggap milik manusia yang telah dewasa. Kesamaan antara pria dan wanita berakibat pula pada kesamaan antara suami dan isteri. Suami isteri hidup berdampingan tanpa ada yang merasa lebih tinggi atau berkuasa.
c.  Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka  seks telah dianggap sebagai kebutuhan orang dewasa. Menyadari hal tersebut maka pasukan perang dibagikan kondom dan narapidana diberi kesempatan untuk itu.[8]
Walaupun demikian ada beberapa negara yang masih  menganggap perzinahan sebagai delik yang diatur dalam KUHP-nya. Berikut akan dikemukakan negara-negara yang masih mempertahankan perzinahan sebagai delik dan perbedaannya dengan ketentuan delik perzinahan menurut KUHP Indonesia.
a. KUHP Filiphina
Ketentuan mengenai delik perzinahan menurut KUHP Filiphina disebutkan di dalam Buku II tentang Kejahatan dan Pidana, Titel II tentang Kesucian Hubungan Seksual. Ketentuan delik perzinahan itu menyebutkan :
Pasal 333
(Permukahan)
Mukah ialah dilakukan oleh seorang wanita yang mengadakan senggama dengan seorang pria yang bukan suaminya dan oleh seorang pria yang mengadakan hubungan senggama dengan wanita yang diketahuinya sudah menikah, meski perkawinan itu kemudian dinyatakan batal.
Mukah dipidana dengan prision correctional dalam masa waktu menengah dan minimumnya.
Jika orang yang bersalah karena mukah melakukan delik ini pada saat ditinggalkan tanpa izin oleh suaminya, maka pidana yang ditentukan adalah setingkat lebih rendah dari pada yang ditetapkan dalam paragraf di atas.[9]
Pada prinsipnya ketentuan delik pezinahan yang diatur dalam KUHP Filiphina tersebut adalah sama dengan yang diatur dalam KUHP Indonesia, yaitu jika dilakukan oleh pria atau wanita yang telah menikah. Akan tetapi di sini disebutkan pula ketentuan pidana bagi suami yang melakukan pergundikan, yaitu diatur dalam pasal 334. Pasal 334 itu berbunyi sebagai berikut :
“Seorang suami yang memelihara gundik yang tinggal bersama sebagai suami isteri, atau melakukan hubungan seksual dalam kemudian tidak senonoh dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau tinggal bersama sebagai suami isteri di suatu tempat, dipidana prison correctional dalam masa waktu minimum dan menengahnya”.
Selain itu bagi pelaku zina dan pergundikan diancam hukuman penjara koreksi (prison correctional). Pasal 92 KUHP Filiphina menyebutkan bahwa prison correctional adalah penjara sepuluh tahun.
b. KUHP Korea
Ketentuan mengenai zina di atur KUHP Korea dalam Bab 22 dengan judul “Crimes Against Moral”. Zina (adultery) menurut KUHP Korea termasuk delik kesusilaan yang diancam pidana maksimum dua tahun. Perbedaannya dengan KUHP Indonesia adalah pengaduan delik przinahan  tidak dapat ditarik kembali jika suami atau isteri memanfaatkan mukah itu. Selain itu dalam Bab 32 berjudul “Crimes Concerning Chasity” (Kejahatan yang Berhubungan dengan Kesucian) dalam pasal 304 diatur mengenai sexual intercourse under pretex of marriage, yaitu persetubuhan yang dilakukan dengan cara membujuk wanita baik-baik dengan dalih untuk dikawin atau dengan cara-cara tipuan lain.[10]
c. KUHP Argentina
Mukah (overspel) diatur dalam Pasal 118 tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan Umum. Ketentuan mengenai perzinahan ini berbunyi sebagai berikut :
Pasal 118
Siapapun dari orang-orang berikut ini akan dipidana dengan tutupan dari satu bulan sampai dengan satu tahun :
1.    perempuan bersuami yang melakukan mukah (overspel)
2.    seorang yang melakukan mukah (overspel) dengan perempuan bersuami
3.   seorang laki-laki beristeri yang memelihara gundik baik di rumah tangganya sendiri atau di mana saja
4.    gundik demikian dari laki-laki beristeri.[11]
Berdasarkan ketentuan demikian, menurut KUHP Argentina pada dasarnya mirip dengan ketentuan dalam KUHP Indonesia yaitu delik perzinahan hanya dapat terjadi bila salah seorang pelakunya telah terikat  perkawinan dengan orang lain.
d.  KUHP Yugoslavia
Delik kesusilaan dapat dilihat dalam Chapter XVI dengan judul  Criminal Offences Against the Dignity of the Person and Morals” atau Tindak Pidana-tindak pidana yang Melawan Kehormatan Seseorang dan Moral pada pasal 179 sampai dengan pasal 189. Dalam bagian ini  tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang  delik perzinahan. Akan tetapi  di dalam pasal 193  disebutkan pasal yang mengatur tentang kumpul kebo sebagai berikut :
(1) yang dipidana adalah kumpul kebo antara orang dewasa dengan anak yang telah mencapai usia 14 tahun, pidananya tidak kurang dari tiga bulan penjara
(2) pidana yang sama juga dikenakan pada orang tua atau wali yang mengizinkan atau mendorong/membujuk anak di atas 14 tahun untuk kumpul kebo dengan orang lain
(3) apabila ayat (2) dilakukan untuk kepentingan pribadi, maksimum pidananya lima tahun penjara berat
(4)  apabila perkawinan berlangsung, penuntutan tidak dilakukan; dan apabila telah diadakan penuntutan, penuntutan itu tidak dilakukan.[12]
Dasar Pembenaran terhadap Perzinahan sebagai Delik dalam KUHP
Upaya penanggulangan kejahatan senantiasa menjadi pembicaraan yang menarik bagi banyak kalangan, khususnya ahli hukum pidana dan kriminologi. Dalam hukum pidana ada pembicaraan mengenai norma, yakni larangan atau suruhan, dan ada sanksi atas pelanggaran norma-norma itu berupa ancaman  pidana. Dalam kriminologi masalah penanggulangan kejahatan manjadi bagian penting dengan kajian penologinya yang menaruh perhatian pada pengendalian kejahatan dengan sistem sanksi pidana.
Kejahatan perlu mendapatkan kajian serius mengingat kerugian yang ditimbulkannya. Kerugian tersebut dapat terjadi pada negara, masyarakat maupun individu sehingga perlu diatasi. Oleh sebab itu negara memberikan reaksi berupa larangan terhadap perbuatan itu serta memberikan sanksi bagi orang yang melanggarnya.
Di samping itu dalam kenyataan sosial, reaksi sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tidak hanya diberikan oleh negara. Masyarakat dan individu yang merasa dirugikan rasa keadilannya akan memberikan reaksi pula. Aturan pidana yang kurang layak sering menjadi obyek ketidakpuasan masyarakat yang akhirnya menumbuhkan reaksi sosial. Hal ini semakin jelas apabila diperhatikan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional mengenai Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana. Baik masyarakat Bali, Aceh ataupun Manado memandang bahwa KUHP sekarang belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kondisi di atas sangat dimungkinkan terjadi karena pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan pengertian kejahatan menurut masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut terjadi ketidakpuasan dari sebagian masyarakat mengenai perilaku-perilaku menyimpang terutama dalam lingkup kesusilaan. Hal ini disebabkan karena perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma masyarakat belum mendapatkan tempat semestinya dalam hukum pidana. Sebagai misal perbuatan zina yang menurut pengertian masyarakat berbeda dengan pengertian zina dalam hukum pidana Indonesia (KUHP).
Namun demikian Sudarto telah memberikan pijakan awal bahwa apabila hukum pidana itu digunakan untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut maka harus dipertimbangkan  secara matang, karena hukum pidana itu mempunyai fungsi subsidier. Artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Jika hukum pidana  tetap dilibatkan untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal.[13]
Para penegak hukum maupun ahli hukum banyak  yang menyetujui delik perzinahan tetap diatur sebagai salah satu delik baik dalam hukum pidana sekarang maupun untuk hukum pidana masa yang akan datang, walaupun pengertian perzinahan menurut aturan hukum pidana sekarang tidak seluas  perzinahan menurut pandangan masyarakat, dengan mendasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan hukum tidak tertulis serta pernyataan hasil seminar atau simposium berikut ini :
a.  Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil yang berbunyi sebagai berikut :
“…Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…………Bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim itu melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka ……terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang….tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.
b.  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan  Kehakiman.
Pasal 14 ayat  (1) berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan  mengadilinya”.
Pasal 23 ayat (1) berbunyi :
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat oula pasal-pasal tertentu dari aturan yang bersangkutan atau bersumber dari hukum yang tidak tertulis”.
Pasal 27 ayat (1) berbunyi :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup”.
c.  Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional ke-1 Tahun 1963
Resolusi Butir IV :
“Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa”
Resolusi Butir VIII :
“Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan dalam KUHP”
d. Kesimpulan Komisi II Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana Tahun 1975.
“Tentang tanggapan terhadap perbuatan pidana dalam KUHP dan perbuatan tercela lainnya, yang mempunyai norma yang saling menunjang antara norma hukum dan norma agama/adat, antara lain:
1). Perzinahan;
2). Pelacuran;
3). dan lain-lain,
Sidang mendapatkan pandangan-pandangan/pendapat-pendapat yang titik beratnya ditujukan kepada :
1) Perzinahan dalam KUHP diberikan arti yang luas, karena pada waktu sekarang dipandang tidak cocok lagi.
2)  Mengenai perzinahan dengan pemberian sanksi harus mengawini, timbul persoalan apabila salah satu pihak telah dalam ikatan perkawinan di mana perkawinan baru dihalangi oleh perkawinan lama. Demikian juga timbul persoalan anak yang dilahirkan akibat perzinahan memungkinkan anak yang dilahirkan tetap menjadi anak zina sekalipun oleh kedua orangtuanya kemudian diikuti dengan perkawinan.”
e.  Seminar Hukum Nasional IV Tahun 1979
Dalam laporan sub B II mengenai “Sistem Hukum Nasional” dinyatakan antara lain:
a. Sistem Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
b.  … Hukum Nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping itu hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional.[14]
Adapun keputusan-keputusan Pengadilan yang mengakui perzinahan sebagai salah satu delik dengan mendasarkan pada hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana karena perzinahan adalah sebagai berikut :
a.  Putusan  Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1977 No. K/Kr/1976.
“Delik adat zinah merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbutan tersebut itu dilakukan seperti disyaratkan oleh pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP”.
b.  Putusan Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984.
Putusan kasasi ini menyangkut seorang terdakwa pemuda (30 tahun) yang menjalin hubungan badan dengan gadis (24 tahun) dengan dalih akan dinikahi. Akan tetapi setelah gadis tersebut hamil, pemuda tersebut menolak menikahi gadis tersebut. Menurut masyarakat Luwuk, Sulawesi Tengah  tempat kejadian kasus ini perbuatan itu termasuk delik adat zina yang tidak ada bandingannya dalam KUHP. Atas dasar pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara tiga bulan.
c. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 79/Tol. Pid/1983/PN Denpasar, putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 104/PN/Dps/Pid/1980, putusan No. 2/Pid/B/1985/PN Denpasar, putusan No. 25/Pid/B/1986/PN Denpasar dan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/Pid./S/1988/PT Dps untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27 Januari No. 1/Pid./S/1988/PN Klk.
Semua putusan Pengadilan Bali ini menyangkut delik adat lokika sanggraha. Unsur-unsur yang menonjol adalah persetubuhan dilakukan oleh dua orang yang berada di luar perkawinan dengan janji akan dinikahi, atas dasar suka sama suka, namun ternyata pihak pria mengingkarinya. Dasar pemidanaannya adalah pasal  ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal 359 Kitab Adigama.[15]
Prospek Delik Perzinahan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
 Menurut naskah rancangan KUHP Baru yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 dan disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993, delik perzinahan diatur dalam pasal 385 (14.09) Konsep KUHP. Pasal 385 ini dimasukkan ke dalam salah satu tindak pidana dalam Bab XIV tentang Perbuatan Melanggar Kesusilaan di Muka Umum Buku II Konsep KUHP.
          Adapun perkembangan delik perzinahan di dalam Konsep KUHP sudah dimulai sejak dikonsepkannya KUHP pertama kali yaitu pada tahun 1977 (Konsep BAS). Dalam Konsep 1977 ini delik perzinahan diatur sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP dengan ada beberapa perubahan.  Akan tetapi dimasukkan pula delik-delik baru yang berhubungan dengan delik perzinahan yaitu persetubuhan di luar nikah yang berakibat hamilnya wanita dan pria menolak untuk mengawininya (pasal 301), penyalahgunaan alat-alat pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan yang sah (pasal 302) dan tindak pidana kumpul kebo (pasal 303).
        Pada perkembangan selanjutnya delik mengenai penyalahgunaan alat pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan yang sah (pasal 302) dan kumpul kebo (pasal 303) dihapus di dalam Konsep KUHP tahun 1984/1985. Peniadaan kedua pasal ini diikuti pula pada Konsep KUHP tahun 1986/1987, Konsep KUHP tahun 1989/1990 dan Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan Februari 1992). Namun di dalam Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan Desember 1992) kumpul kebo yang diatur dalam Konsep BAS tahun 1977 dimasukkan kembali sebagai salah satu tindak pidana kesusilaan.[16]
2. Ketentuan Mengenai Delik Perzinahan dalam Konsep KUHP Tahun 1991/1992 (sampai dengan 13 Maret 1993)
            Sebagaimana yang telah disebut di atas, delik perzinahan dalam Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan 13 Maret 1993) dicantumkan dalam pasal 385 (14.09) dengan perumusan sebagai berikut :
Pasal 385 (14.09)
(1) Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
ke - 1 a. seorang laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang bukan isterinya;
b.   seorang perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan yang melakukan persetubuhan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya;.
ke - 2 a. seorang laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut, sedangkan diketahuinya bahwa perempuanyang bersetubuh dengan ia itu berada dalam ikatan perkawinan;
b.   seorang perempuan yang melakukan perbuatan  tersebut sedangkan diketahuinya bahwa laki-laki yang bersetubuh dengan dia itu berada dalam ikatan perkawinan
(2) Tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami/isteri yang tercemar.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 27, 28 dan 108 KUHP.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

        Apabila dibandingkan dengan ketentuan delik perzinahan dalam pasal 284 KUHP maka akan diketahui beberapa perbedaan dan persamaan mengenai delik perzinahan itu.
       Menurut Konsep KUHP istilah yang digunakan untuk menunjuk pada perbuatan zina adalah dengan istilah permukahan. Hal ini apabila istilah tersebut tetap dipakai sampai disahkannya rancangan Undang-undang KUHP maka  akan menjadi istilah yang dipakai secara yuridis. Berbeda dengan KUHP sekarang yang aslinya berbahasa Belanda. Terdapat perbedaan pada beberapa terjemahan KUHP  dalam mengartikan kata overspel pada pasal 284 KUHP itu.
        Berdasarkan pasal 385 ayat (1) Konsep KUHP pelaku tindak pidana permukahan mendapatkan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun. Sedangkan di dalam KUHP ancaman pidana bagi pelaku zina lebih rendah , yaitu pidana penjara sembilan bulan.
           Perkembangan  lain yang dapat dilihat dalam pasal 385 ayat (1) Konsep KUHP adalah bahwa Konsep tidak membedakan antara pelaku yang telah kawin dengan pelaku yang belum kawin. Seperti yang dirumuskan dalam KUHP bahwa perzinahan hanya dapat terjadi apabila seseorang telah kawin melakukan persetubuhan. Sedangkan mereka yang belum kawin yang diatur dalam pasal 284 ayat (1) angka 2 disebut sebagai orang yang turut serta. Namun di dalam rumusan Konsep KUHP tidak digunakan kata turut sebagaimana di dalam KUHP. Dengan demikian, menurut Konsep KUHP  seseorang yang belum kawin disebut pula sebagai pelaku perzinahan.
      Akan tetapi pada pokoknya antara KUHP dengan Konsep KUHP mempunyai pandangan yang sama yaitu perzinahan atau permukahan hanya dapat terjadi apabila keduanya atau salah satu dari mereka sudah kawin.[17]
       Di samping itu di dalam Konsep KUHP tidak mensyaratkan lagi bagi pria itu tunduk pada pasal 27 BW. Hal itu berbeda dengan KUHP yang mensyaratkan adanya pemberlakukan pasal 27 BW bagi pria yang berzina.
        Melihat rumusan pasal 385 ayat (2) , Konsep KUHP menganut prinsip yang sama dengan KUHP yaitu bahwa penuntutan atas delik perzinahan harus didasarkan pada adanya pengaduan dari suami/isteri yang tercemar.
       Mengenai sifat delik perzinahan ini sebenarnya Konsep KUHP tahun 1977 sampai dengan Konsep tahun 1991/1992 (sampai dengan Desember 1992) masih berprinsip bahwa delik perzinahan termasuk delik biasa atau bukan delik aduan lagi.[18] Akan tetapi dengan memperhatikan rumusan yang ada dalam pasal 385 ayat (2) Konsep KUHP (sampai dengan 13 Maret 1993) kedudukan delik perzinahan berubah menjadi delik aduan.
       Selama ini masih ada perbedaan pendapat di antara para ahli hukum mengenai sifat delik perzinahan. Sehingga karena belum adanya titik temu antara kedua belah pihak tersebut maka di dalam Konsep KUHP disebutkan catatan bahwa ada pendapat delik perzinahan ini sebaiknya bukan delik aduan, dan karena itu menyarankan agar ayat (2), (3) dan (4) dihapuskan.
     Terhadap masalah yang menimbullkan pro dan kontra mengenai sifat delik perzinahan ini, Barda Nawawi Arief memberikan pertimbangan sebagai berikut :
a.Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat dan hakikat perzinahan.
Delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan yang erat kaitannya dengan kesucian lembaga perkawinan. Sehingga masalah sentralnya terletak pada pandangan masyarakat mengenai kesusilaan dan kesucian lembaga perkawinan. Pandangan barat yang melatarbelakangi WvS berbeda dengan pandangan masyarakat Indonesia mengenai perzinahan dan perkawinan. Perkawinan dalam pandangan masyarakat terkait pula dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Sehingga tidak bijaksana apabila delik perzinahan tetap dijadikan delik aduan absolut.
b. Aspek tujuan dari kebijakan kriminal (criminal policy).
Ditetapkannya suatu delik sebagai delik aduan atau sebagai delik biasa merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Salah satu tujuannya adalah pencegahan (preventie). Dengan ditetapkannya delik perzinahan sebagai delik aduan absolut, prevensinya lemah karena memberi peluang dan dasar legitimasi kepada seseorang untuk merasa bebas melakukan perzinahan. Hal ini justru menjadi faktor kriminogen.
c. Aspek kesusilaan nasional, faktor kriminogen dan dampak negatif lainnya dari perzinahan.
Tujuan politik kriminal dengan dilarangnya perzinahan adalah kesucian lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya, antara lain mencegah tumbuh suburnya pelacuran dan mencegah perbuatan main hakim sendiri.
d. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknis perumusan delik.
Adanya perbuatan zina mengakibatkan kerugian individu bagi pihak yang terkena skandal perzinahan. Namun hal ini pun perlu dipertimbangkan dengan kepentingan umum yang turut dirugikan. Sehingga perlu dipertimbangkan secara proporsional antara kepentingan individu dengan kepentingan umum. Apabila ada dua kepentingan yang sama-sama kuat dan mendasar maka sepantasnya kedua kepentingan itu diperhatikan. Jalan keluar dari permasalahan itu adalah perumusan delik perzinahan ditetapkan sebagai delik aduan relatif.[19]
     Yang menarik untuk diperhatikan dalam Konsep KUHP adalah tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan dengan masalah perzinahan seperti kumpul kebo dan janji nikah dimasukkan dalam rumusannya, yaitu pada pasal 386, 387 dan pasal 388 Konsep KUHP tahun 1991/1992 sampai dengan 13 Maret 1993. Rumusannya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 386 (14.10)
(1) Barangsiapa yang melakukan persetubuhan dengan orang lain di luar perkawinan yang sah, dipidana dnegan denda paling banyak kategori I.
(2) Tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan keluarga pembuat sampai derajat ke tiga atau oleh kepala adat atau kepala desa setempat.

    Berdasarkan rumusan pasal 386 Konsep KUHP ini maka permasalahan bahwa permukahan hanya dapat terjadi apabila pelaku atau satu telah kawin sedikit teratasi. Karena pada dasarnya persetubuhan di luar nikah adalah permukahan juga. Di samping itu pasal 386  dirumuskan secara umum, baik yang sudah kawin maupun yang belum kawin. Adapun ancaman pidananya adalah pidana denda kategori I.
        Mengenai pidana denda dengan pengkategorian seperti yang dirumuskan dalam pasal 386 di atas dapat dilihat pada Buku I Ketentuan Umum Konsep KUHP. Di dalam pasal 73 tentang Pidana ayat (2) dan (3) Konsep KUHP dirumuskan sebagai berikut :
(2) Pidana denda paling sedikit adalah seribu lima ratus rupiah kecuali ditentukan minimum khusus.
(3) Maksimum denda ditetapkan berdasarkan kategori.
Ada 6 kategori, yaitu :
Kategori I     maksimum Rp. 150.000
Kategori II    maksimum Rp. 750.000
Kategori III   maksimum Rp. 3.000.000
Kategori IV   maksimum Rp. 7.500.000
Kategori V     maksimum Rp. 30.000.000
Kategori VI    maksimum Rp. 300.000.000
           
       Dengan demikian berdasarkan pasal 73 Konsep KUHP di atas,  apabila seseorang melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan di dalam pasal 386,maka akan diancam pidana denda minimum Rp. 1.500 dan maksimum Rp. 150.000.
       Dalam delik ini pun ditentukan bahwa penuntutan akan dilakukan hanya jika ada pengaduan. Sehingga dapat dikategorkan sebagai delik aduan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pengaduan tindak pidana ini ialah :
a.   keluarga pembuat sampai derajat ketiga;
b.   kepala adat setempat;
c.   kepala desa setempat.
   Sebagaimana pasal 385 Konsep KUHP, pasal 386 ini pun termasuk pasal yang menjadi perdebatan di antara ahli hukum. Sehingga dalam pasal 386 tersebut disebutkan pula catatan bahwa ada yang berpendapat tindak pidana yang disebut dalam ayat (1) itu dihapus. Selain itu ada pula yang tidak setuju dengan adanya rumusan bahwa delik ini dapat diadukan oleh kepala adat atau kepala desa setempat.
Pasal 387 (14.10 a)
(1) Pria yang bersetubuh dengan perempuan dengan persetujuan perempuan itu  karena janji akan dinikahi, kemudian mengingkari janji itu atau karena tipu muslihat lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak kategori IV.
(2) Pria yang tidak beristeri yang bersetubuh dengan perempuan tidak bersuami yang mengakibatkan hamilnya perempuan itu dan ia bersedia menikahi atau ada halangan untuk nikah yang diketahuinya, menurut undang-undang perkawinan, dipidana dengan pidana penjara paling alama lima tahun, atau denda paling banyak kategori IV.

        Melihat ketentuan yang dirumuskan dalam pasal 387 Konsep KUHP di atas, maka dapat dilihat perkembangan di dalam masalah janji nikah. Masalah ini merupakan masukan dari berbagai kalangan yang melihat persetubuhan dengan janji untuk menikahi dan setelah wanita hamil pria yang menghamili mengingkari janjinya adalah perbuatan tercela menurut masyarakat. Sedangkan menurut KUHP perbuatan tersebut tidak merupakan tindak pidana.
      Adapun ancaman pidana yang dikenakan bagi pria yang melakukan perbuatan tersebut dalam pasal 387 ayat (1) dan ayat (2) adalah dengan sistem alternatif yaitu dengan penjara paling lama empat tahun untuk ayat (1) dan paling lama lima tahun untuk ayat (2), atau dengan pidana denda maksimum kategori IV (Rp. 7.500.00).
        Pasal 387 ayat (2) Konsep KUHP menyebutkan bahwa salah satu syarat bagi pria yang bersetubuh sehingga mengakibatkan hamilnya perempuan itu, untuk dapat diberikan sanksi pidana adalah ia tidak bersedia menikahi atau ada halangan untuk menikahi yang diketahuinya menurut undang-undang  perkawinan.
     Adapun menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, halangan-halangan yang menyebabkan adanya larangan untuk menikah disebutkan dalam pasal 8, 9 dan 10 yang juga disebut sebagai syarat-syarat materiel relatif perkawinan,  yaitu syarat-syarat bagi pihak yang hendak dikawini.[20] Pasal 8  Undang-undang Perkawinan itu menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a.   berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas;
b.  berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.  berhubungan dengan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
d.  berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e.  berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dan hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.  mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin;
      Adapun pasal 9 menyebutkan bahwa seorang yang masih terikat oleh perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang perkawinan ini. Sedangkan pasal 10 menentukan bahwa apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
       Menanggapi pasal 387 Konsep KUHP 1991/1992 , Leden Marpaung berpendapat bahwa :
a.   perlindungan tersebut merupakan perlindungan yang berlebihan jika ditujukan untuk melindungi wanita yang dewasa;
b. perlindungan tersebut bukan merupakan perlindungan hukum, tetapi telah merupakan perkosaan terhadap individu. Biarlah individu yang menentukan jalan terbaik baginya.
c.  perlindungan tersebut seyogyanya tidak diatur dakam KUHP karena kedua pasal itu tidak merugikan masyarakat. Sedangkan ingkar janji telah diatur dalam KUHPerdata.
d.  perlindungan pasal 387 merupakan perlindungan yang sangat berbahaya karena dapat dimanfaatkan oleh seorang wanita yang mencintai seorang pria yang belum mencintainya dengan melakukan perbuatan yang menggairahkan birahi si pria.
e.   hal tersebut tidak melukiskan adanya emansipasi.[21]
        Selain itu dengan pengaturan sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 387 ayat (1) dan (2) di atas, di satu sisi memang dapat mencegah orang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi bila ditinjau dari segi lain seolah nanti ada anggapan bahwa boleh saja bersetubuh di luar nikah jika ia bermaksud menikahinya.
        Masalah lainnya adalah dengan unsur mengingkari janji pada ayat (1) dan tidak bersedia menikahi pada ayat (2) dikhawatirkan muncul peristiwa pria menikahi wanita tersebut hanya untuk menghindari hukuman kemudian menceraikannya. Dan muncul pula anggapan bahwa yang lebih jahat adalah perbuatan mengingkari janji, bukan perbuatan persetubuhan di luar nikah itu sendiri.[22]
3.   Kedudukan Hukum Adat sebagai Hukum Tidak Tertulis dalam Konsep KUHP
        Seperti yang telah dikemukakan di awal bahwa perzinahan merupakan salah satu perbuatan yang kotor dan tercela menurut masyarakat. Walaupun hukum pidana adat tidak menganut hukum tertulis, namun perzinahan bagaimana bentuknya dianggap sebagai salah satu perbuatan yang dapat dikenai sanksi adat. Sanksi adat sebagai reaksi sosial atas perbuatan itu terdapat perbedaan antara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang lain.
      Berpijak pada hal demikian akan dibahas perkembangan dari Konsep KUHP berkenaan dengan kedudukan hukum adat dalam hukum pidana nasional yang akan datang.
a.   Asas Legalitas  
Selama ini KUHP menganut asas legalitas formal. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP  yang berbunyi :
Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.”

Dalam perkembangannya penetapan sumber hukum atau dasar dapat dipidananya suatu perbuatan Konsep KUHP bertolak dari pengertian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum  tertulis). Jadi tetap bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Asas ini dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) Konsep KUHP yang dirumuskan sebagai berikut :
“Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya atau tidak dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.

Namun berbeda dengan asas legalitas dalam KUHP selama ini, Konsep memperluas perumusannya secara materiel dengan menegaskan dalam pasal 1 ayat (3)  sebagai berikut :
“Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Dengan demikian walaupun sumber hukum tertulis (undang-undang) sebagai patokan formal yang utama, Konsep KUHP  masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis (hukum adat) yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan, sepanjang tidak diatur di dalam undang-undang. Perluasan perumusan asas legalitas ini  tidak dapat dilepaskan dari pokok pemikiran untuk mewujudkan dan sekaligus menjamin asas keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat dan kepastian hukum dengan keadilan.[23]
b.   Penetapan Jenis-jenis Pidana
Menurut pasal 10 KUHP jenis-jenis pidana meliputi :
1.   Pidana Pokok :
a.   Pidana mati;
b.   Pidana penjara;
c.   Pidana kurungan;
d.   Pidana denda.
2.   Pidana Tambahan :
a.   Pencabutan hak-hak tertentu;
b.   Perampasan barang-barang tertentu;
c.   Pengumuman keputusan hakim.
Dalam perkembangannya, Konsep KUHP merumuskan bahwa pemenuhan kewajiban adat merupakan salah satu jenis pidana tambahan. Lebih lengkapnya, pasal 60 ayat (1) Konsep KUHP merumuskannya sebagai berikut :
(1) Pidana Tambahan adalah :
ke-1 pencabutan hak-hak tertentu;
ke-2 perampasan barang-barang tertentu dan tagihan;
ke-3 pengumuman keputusan hakim;
ke-4 pembayaran ganti kerugian;
ke-5 pemenuhan kewajiban adat.

Pencantuman pemenuhan kewajiban adat dalam Konsep KUHP adalah suatu konsekuensi logis dari diakuinya keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai salah satu sumber hukum atau dasar dapat dipidananya  suatu perbuatan. Hal ini juga disebabkan, reaksi sosial atas perbuatan-perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat tidak mungkin seluruhnya dapat dirumuskan dalam Konsep KUHP.
Seperti yang telah disebutkan di muka tindakan reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran di berbagai lingkungan adat Indonesia meliputi  :
1.   pengganti kerugian imateriel dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2.   pembayaran uang adat kepada yang terkena, yang berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian korban;
3.   selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib;
4.   penutup malu, permintaan maaf;
5.   berbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
6.   pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.[24]
Pemberian sanksi adat terutama bagi orang yang melakukan delik perzinahan antara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang lain adalah berbeda. Sehingga dimasukkannya jenis pidana ini nantinya diharapkan akan dapat menampung berbagai jenis sanksi adat atau sanksi menurut hukum tak tertulis.
Melihat perumusan yang demikian itu Konsep KUHP mengenal dua pola sanksi yaitu sanksi formal dan sanksi informal. Sanksi formal yaitu sanksi yang sudah disebutkan secara konkret dan eksplisit menurut undang-undang. Sedangkan sanksi informal merupakan sanksi yang hidup menurut hukum tidak tertulis yang jenisnya tidak secara tegas disebutkan dalam undang-undang.[25]
Pembagian demikian tidak berarti delik menurut undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi informal (pemenuhan kewajiban adat). Delik menurut undang-undang tetap dapat dikenakan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat akan tetapi sebagai pidana tambahan. Untuk delik informal, atau tindak pidana yang memenuhi pasal 1 ayat (3) sanksi pemenuhan kewajiban adat merupakan pidana pokok atau yang diutamakan (vide pasal 90 ayat (2) Konsep KUHP). Kemudian apabila sanksi informal ini tidak dipenuhi maka sebagai gantinya adalah sanksi formal. Menurut pasal 90 ayat (3) Konsep KUHP pengganti pidana kewajiban adat ini adalah pidana denda dengan kategori I.[26]
    

--daftar pustaka dan footnote sengaja penulis sembunyikan...---

* Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta