Selasa, 23 Desember 2003

Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia

Oleh : Ahmad Bahiej 
 
A.   Pendahuluan

Hukum pidana Indonesia (baca: KUHP) yang nama aslinya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI), merupakan produk asli bangsa Belanda yang diterapkan bagi bangsa Indonesia. Baru kemudian dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut berubah nama menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), dan dapat disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Perubahan nama itu diikuti dengan perubahan istilah, penambahan beberapa tindak pidana, dan perubahan ancaman hukuman yang sifatnya tambal sulam agar tampak lebih meng-Indonesia.

Setelah sekian lama KUHP tersebut berlaku di Indonesia, terbukti masih saja menyisakan berbagai masalah sosial di Indonesia. Permasalahan-permasalahan sosial yang muncul, tidak secara otomatis kemudian selesai dengan hanya menerapkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut. Ada banyak faktor sosiologis bangsa Indonesia yang membuat KUHP itu malah merugikan bangsa. Apalagi, perkembangan teknologi yang sedemikian global membuat KUHP lebih tampak usang, out of date.

Secara lebih mendasar KUHP memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right)[1]. Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Masalah delik perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dengan kepentingan/nilai sosial masyarakat. Benturan-benturan yang sering terjadi di masyarakat, acapkali menimbulkan kejahatan baru seperti pembunuhan, penganiayaan, atau main hakim sendiri. Hal ini diperparah dengan lemahnya praktek penegakan hukum. Dalam edisi ini, pertama kali delik perzinahan hanya akan dikaji secara yuridis formal agar lebih mudah mencermati kejanggalan-kejanggalan yang ada. Sedangkan tinjauan berikutnya akan dipaparkan dalam kesempatan yang lain.
B.   Kedudukan Pasal 284 Mengenai Delik Perzinahan dalam KUHP
Delik perzinahan (overspel) diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:
a.       yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 - 283);
b.       zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
c.       perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d.       yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan (Pasal 299);
e.       memabukkan (Pasal 300);
f.         menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
g.       penganiayaan hewan (Pasal 302);
h.       perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a.       mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
b.       yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c.       yang berhubungan dengan perbuatan tidak susila terhadap hewan (Pasal 540, 541 dan 544);
d.       meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
e.       menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian (Pasal 546);
f.         saksi yang memakai jimat dalam persidangan (Pasal 547).
Ketentuan-ketentuan  pidana yang diatur dalam Bab XIV mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan ini sengaja dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan asusila dan perilaku-perilaku baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan di bidang seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat maupun dari segi kebiasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka[2].
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa kesusilaan itu mengenai juga tentang adat kebiasaan yang baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex) seorang manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik kesusilaan semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan[3]. Akan tetapi menurut Roeslan Saleh, pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat[4].
C.   Sejarah Pembentukan Pasal 284 KUHP
Pada zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan mengenai kejahatan perzinahan mengenai perlu atau tidaknya dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan dapat diancam dengan pidana. Menurut hukum Romawi, pihak wanita sajalah yang dapat dipersalahkan telah melakukan perzinahan. Jika terdapat isteri melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, maka ia telah dipandang sebagai seorang istri yang merugikan hak seorang suami untuk menuntut kesetiaan dari isterinya dalam perkawinan. Perlakuan di depan hukum yang tidak seimbang antara wanita denga pria itu kemudian berlanjut pada Code Penal Perancis.
Berbeda dengan hukum Romawi yang memandang wanita lebih rendah kedudukannya di depan hukum dibandingkan dengan pria, ternyata hukum gereja Katholik telah menempatkan kedudukan wanita itu sederajat dengan kedudukan pria di depan hukum. Oleh karena itu, perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai inbreuk op de heilige band van het huwelijk atau suatu penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan.
Pandangan gereja Katholik tentang kedudukan hukum yang sederajat antara pria dengan wanita itu telah diikuti oleh pembentuk undang-undang di negeri Belanda yang dapat dilihat cara mereka merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340 sampai dengan Pasal 344 Criminal Wetboek voor het Koninklijk Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinahan sebagai sutau perbuatan yang terlarang dan dapat diancam pidana.
Semula saat Wetboek van Strafrecht (KUHP) itu dibentuk, perzinahan tidak dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik (kejahatan). Akan tetapi atas usul Mr. Modderman, perzinahan dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang terlarang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Alasan yang dipakai Mr. Modderman adalah apabila perzinahan itu tidak diatur dalam WvS dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi kesusilaan.
Atas usul Modderman itu, kemudian perzinahan dicantumkan sebagai salah satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang dibentuk. Dengan demikian wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria yaitu bukan hanya berkedudukan sebagai subyek dari tindak pidana perzinahan akan tetapi berkedudukan pula sebagai pihak yang sama. Artinya, pihak wanita berhak pula mengajukan pengaduan dan gugatan perceraian jika perbuatan itu dipandang perlu baginya[5].
D.   Pengertian Overspel
Dari berbagai terjemahan WvS yang beredar di pasaran, para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel. Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain menggunakan kata atau istilah mukah atau gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya Moelyatno, Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau terjemahan KUHP dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman.
Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche Taag kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang kurang lebih berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Menurut putusan Hooge Raad tanggal 16 Mei 1946, overspel  berarti sebagai berikut:
“is niet begrepenvleeselijk gemeenschap met een derde onder goedkeuring van den anderen echtgenoot. De daad is dan geen schending van de huwelijk strouw. I.c. was de man souteneur; hij had zijn vrouw tot publiek vrouw gemaakt. Hij keurde haar levenswijze zonder voorbehoud goed”.
Artinya :
“di dalamnya tidak termasuk hubungan kelamin dengan seorang ketiga dengan persetujuan suami atau isterinya, perbuatan itu bukan pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan yaitu andaikata suaminya adalah germo maka dia telah membuat isterinya menjadi pelacur, ia menganggap cara hidupnya itu lebih baik tanpa pengecualian.
Demikian pula overspel menurut Noyon-Langemayer yang menegaskan bahwa overspel kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de angehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet medepleger, yang artinya perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah; yang tersangkut dalam perbuatan itu adalah turut serta (medepleger)[6].
Oleh karena itu, melihat ketentuan Pasal 284 sedemikian rupa, maka overspel yang dapat dikenai sanksi pidana menurut KUHP adalah:
a.       persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila pasangan ini belum menikah kedua-kedunaya, maka persetubuhan mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai overspel, hal mana berbeda dengan pengertian berzina yang menganggap persetubuhan  antara pasangan yang belum menikah juga termasuk di dalamnya.
b.       partner yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti apabila partner yang disetubuhi telah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku.
c.       persetubuhan tidak direstui oleh suami atau pun isteri yang bersangkutan. Secara a contrario dapat dikatakan kalau persetubuhan itu direstui oleh suami atau isteri yang bersangkutan maka itu bukan termasuk overspel.[7]
E.   Unsur-unsur Dapat Dipidananya Perzinahan Menurut Pasal 284 KUHP
Menurut asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana, unsur-unsur tindak pidana merupakan syarat-syarat untuk menentukan sampai di mana perbuatan seorang manusia dapat dikenakan hukuman/pidana. Unsur-unsur itu meliputi perbuatan manusia yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta unsur orang atau pelakunya, yakni adanya kesalahan pada diri pelaku.
Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang rumusan aslinya menggunakan bahasa Belanda, yaitu :
(1) Met gevangenisstraf van ten hoogste negen maanden wordt gestraft:
       1.    a.    de gehuwde man die wetende dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is, overspel pleegt;
              b.    de gehuwde vrouw die overspel pleegt;
       2.    a.    de man die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd is;
              b.    de ongehuwde vrouw die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd en dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is.
(2)  Geene vervolging heeft plaats dan op de klachte van den beledigden echtgenoot, gevolgd indien op de echtgenoten art. 27 van het Burgerlijk Wetboek toepasselijk is, binnen den tijd van drie maanden door een eis tot echtscheiding of scheiding van tafel  en bed op grond vanhetzelfde feit.
(3)  Ten aanzien van deze klachte zijn de art. 72, 73 en 75 niet van toepassing.
(4)  De klachte kan worden ingetrokken zolang het onderzoek ter terechtzitting niet is aangevangen.
(5)  Indien op de echgenoten art. 27 van het Burgerlijk Wetboek toepasselijkis,wordt aan de klachte geen gevolg  gegeven, zolang niet het huwelijk door echtscheiding is ontbonden of het vonnis, waarbij scheiding van tafel en bed is uit gesproken, onherroepelijk is geworden[8].
Tindak pidana perzinahan atau overspel yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk delict atau merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja[9]. Ini berarti bahwa unsur kesengajaan itu harus terbukti pada si pelaku agar ia dapat terbukti sengaja dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinahan dari tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.
Adapun mengenai kesengajaan ini, KUHP tidak memberikan definisi secara jelas. Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari Memorie van Toelchting (MvT) yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wettens). Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan[10]. Apabila unsur kesengajaan dari pelaku zina ini tidak dapat  dibuktikan maka pelaku tidak terbukti menghendaki atau tidak terbukti mengetahui perzinahan yang dilakukan, sehingga hakim harus memutuskan bebas dari tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) bagi pelaku.
            Menurut Simons, untuk adanya suatu perzinahan menurut Pasal 284 KUHP itu diperlukan adnya suatu vleeslijk gemeenschap atau diperlukan adanya suatu hubungan alat-alat kelamin yang selesai dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita[11]. Sehingga apabila dilakukan oleh dua orang yang berjenis kelamin sama bukan merupakan perzinahan yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP
Syarat lain yang perlu diperhatikan agar perbuatan melakukan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya telah kawin dapat disebut sebagai delik perzinahan menurut KUHP adalah bahwa tidak adanya persetujuan diantara suami isteri itu. Artinya jika ada persetujuan di antara suami dan isteri, misal suami yang bekerja sebagai mucikari dan isterinya menjadi pelacur bawahannya maka perbuatan semacam itu bukanlah termasuk perbuatan zina. Hal ini didasarkan pada Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 16 Mei 1946 N.J. 1946 Nomor 523 yang telah disebutkan di muka.
Agar lebih jelas di bawah ini akan diuraikan satu per satu dari bagian Pasal 284 KUHP.
1. Pasal 284 ayat (1)
Ayat (1) dari Pasal 284 KUHP ini terdiri dari dua angka yang masing-masing terdiri atas dua huruf, yaitu :
Ke-1      a.    Laki-laki beristri, yang berzina, sedangkan diketahuinya bahwa Pasal 27 Burgerlijk Wetboek berlaku baginya.
              b.    perempuan bersuami, yang berzina
Berdasarkan ketentuan demikian, maka seorang pria dapat didakwa melakukan zina apabila telah memenuhi unsur:
a.       pria tersebut telah menikah;
b.      pria tersebut telah mengetahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
Oleh karena itu, apabila seorang pria yang melakukan perzinahan itu telah menikah akan tetapi Pasal 27 BW tidak berlaku baginya maka pria tersebut tidak dapat didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP, melainkan pria tersebut didakwa dengan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a KUHP, yakni jika pria tersebut memang mengetahui bahwa wanita yang berzina dengan dirinya itu telah terikat  perkawinan dengan pria lain. Karena dalam ketentuan ini wanita tidak disyaratkan tunduk pada Pasal 27 BW.
Di dalam rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP juga disyaratkan adanya pengetahuan dari pelaku, yakni bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 BW itu berlaku bagi dirinya. Apabila ternyata di dalam persidangan yang memeriksa perkara perzinahan, syarat pengetahuan berlakunya ketentuan Pasal 27 BW itu tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum maka hakim harus memberikan putusan bebas  (vrijspraak) bagi pelaku.
Adapun Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) yang dijadikan salah satu unsur dari tindak pidana perzinahan itu berbunyi sebagai berikut :
 “Pada saat yang sama, seorang pria hanya dapat terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang wanita, dan seorang wanita hanya dapat terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang pria”.
Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf b menentukan larangan bagi seorang wanita yang telah menikah melakukan perzinahan dengan seorang pria. Berdasarkan ketentuan ini dapat diambil pengertian bahwa seorang wanita didakwa melakukan zina apabila telah memenuhi satu unsur saja, yakni dia telah menikah. Wanita itu tidak diharuskan tunduk pada Pasal 27 BW sebagaimana seorang laki-laki yang berzina, karena undang-undang telah menentukan secara umum tentang dapat dipidananya seorang wanita yang telah menikah yang melakukan suatu perzinahan.
Ke-2   a.    Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan diketahuinya bahwa yang turut bersalah, sudah bersuami.
Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a di atas mengatur larangan bagi seorang pria turut melakukan perzinahan dengan seorang wanita, yang ia ketahui bahwa wanita tersebut berada dalam keadaan menikah dengan pria lain. Dari ketentuan seperti ini seorang pria dapat diancam pidana sembilan bulan penjara karena turut melakukan (medeplegen) perzinahan jika:
a.       pria tersebut tidak berada dalam keadaan menikah dengan wanita lain atau sudah menikah tetapi Pasal 27 BW tidak berlaku baginya;
b.       pria tersebut mengetahui bahwa wanita yang ia zinahi itu sudah menikah dengan pria lain.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a, angka 2 huruf a inipun tidak mensyaratkan adanya wanita yang tunduk pada Pasal 27 BW. Jadi tidak mempermasalahkan apakah wanita tersebut tunduk pada Pasal 27 ataupun tidak. Dalam undang-undang ditentukan secara umum tentang dapat dipidananya seorang pria yang turut melakukan perzinahan dengan wanita yang bersuami.
Pada Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a inipun disyaratkan adanya pengetahuan dari seorang pria yang turut melakukan perbuatan zina bahwa wanita yang dia zinahi telah beristeri.
Ke-2      b. Perempuan yang tidak bersuami, yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan diketahuinya, bahwa yang turut bersalah sudah beristeri dan Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku baginya.
Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b menentukan larangan bagi seorang wanita yang tidak menikah turut melakukan perzinahan dengan seorang pria, yang ia ketahui bahwa pria tersebut berada dalam keadaan menikah dengan wanita lain, dan yang ia ketahui pula bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 BW berlaku bagi pria itu.
Dengan demikian seorang wanita dapat diancam pidana sembilan bulan karena turut melakukan perzinahan jika:
a.       wanita tersebut tidak dalam keadaan menikah;
b.       wanita tersebut mengetahui bahwa pria lawan mainnya sudah beristeri;
c.       wanita tersebut mengetahui bahwa atas pria lawan mainnya itu diberlakukan ketentuan Pasal 27 BW.
Pasal ini juga mensyaratkan adanya pengetahuan dari pihak wanita, bahwa ia mengetahui ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi si pria. Sehingga apabila dalam persidangan yang memeriksa perkara itu tidak terbukti bahwa wanita itu mengetahui maka bagi hakim harus memberikan putusan bebas (vrijspraak) bagi wanita.
Berdasarkan rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a dan b KUHP di atas dapat diketahui bahwa hanya pria dan wanita yang telah menikah sajalah yang dapat disebut sebagai pelaku perzinahan. Sedangkan pria dan wanita yang belum menikah, menurut Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a dan b KUHP, dipandang sebagai orang yang turut serta melakukan perzinahan.
2. Pasal 284 ayat (2) KUHP
            Selengkapnya, bunyi Pasal 284 ayat (2) itu adalah sebagai berikut:
“Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW , dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga”.
Ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHP berisi bahwa undang-undang menentukan terhadap pelaku tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP itu tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan dari suami atau isteri yang tercemar. Apabila bagi suami dan isteri itu berlaku Pasal 27 BW maka dalam tempo tiga bulan dari pengaduan tersebut harus diikuti dengan gugatan perceraian dari meja makan dan tempat tidur, yang disebabkan karena terjadinya perzinahan itu.
Berdasarkan  Pasal 284 ayat (2) KUHP di atas, dapat diketahui bahwa delik perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP merupakan delik aduan absolut (absolute klachtdelicten). Artinya, dalam keadaan apapun delik perzinahan merupakan delik aduan. Adanya aduan ini merupakan syarat mutlak agar pelaku-pelakunya dapat dituntut (voorwarde van vervolgbaasheid) secara pidana.
Alasan yang mendasari pemikiran bahwa delik perzinahan itu merupakan delik yang digantungkan pada adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirinya telah dirugikan oleh para pelakunya, laporan Tweede Kamer menjelaskan karena jika tidak ditentukan demikian maka hubungan-hubungan yang sifatnya khusus dalam keluarga itu seringkali akan menjadi terganggu tanpa guna. Selain itu apabila pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku ternyata tidak mempunyai keinginan untuk mengajukan gugatan perceraian atau gugatan perceraian dari meja makan dan tempat tidur maka tidak terdapat suatu dasar yang kuat untuk memberikan wewenang kepada pihak tersebut yakni untuk meminta kepada alat-alat negara agar terhadap pihak-pihak yang telah merugikan dirinya itu dilakukan penuntutan menurut hukum pidana.
Sementara itu Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 24 Oktober 1932 N.J. 1932 menentukan bahwa :
“kejahatan ini hanya dapat dituntut jika ada pengaduan, yakni bukan karena adanya hubungan pribadi antara orang yang terhina dengan para pelaku, melainkan karena sifatnya yang khusus dari kejahatan ini. Semua orang yang terlibat di dalamnya dalam salah satu bentuk keturutsertaan, termasuk juga orang yang telah menggerakkan para pelaku untuk melakukan kejahatan ini, hanya dapat dituntut setelah adanya pengaduan”[12].
Adanya keterangan dari Hooge Raad di atas menjelaskan  adanya ketentuan antara pelaku (dader) dengan pihak-pihak yang turut serta dalam delik perzinahan sehingga delik perzinahan itu dapat terjadi. Proses penyidikan dari kepolisian tidak hanya melakukan penyidikan terhadap orang yang diadukan oleh pengadu melainkan juga terhadap orang-orang yang terlibat dalam kejahatan itu, misalnya orang yang menyuruhlakukan (doenpleger), orang yang turut melakukan (medepleger) atau orang yang menggerakkan (oitlokker).
Hal ini pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan kasasinya tanggal 19 Maret 1955 Nomor 52 K/Kr/1953:
“Pasal 284 KUHP itu merupakan suatu absoluut klachdelict sehingga pengaduan terhadap laki-laki yang melakukan perzinahan juga merupakan pengaduan terhadap isteri yang berzinah, sedang jaksa berwenang untuk atas oportunitas hanya mengadakan penuntutan terhadap salah seorang dari mereka”.
3. Pasal 284 ayat (3) KUHP
Pasal 284 ayat (3) KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Bagi pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75”.
Ketentuan ini mengatur bahwa undang-undang menentukan bagi gugatan yang dimaksudkan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP itu tidak berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 72, 73 dan 75 KUHP. Adapun ketentuan yang diatur dalam pasal -pasal itu adalah
Pasal 72
(1)    Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, umurnya belum cukup umur enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia  di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain dari pada keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.
(2)    Jika wakil itu tidak ada atau ia sendiri yang harus diadukan maka penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau wali pengampu atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas atau kewajiban wali pengampu itu. Demikian juga atas pengaduan istri atau seorang keluarga sedarah dalam turunan yang lurus, atau bila tidak ada keluarga sedarah itu, atas pengaduan sedarah dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ke tiga.
Pasal 73
Jika orang yang terkena kejahatan itu meninggal dunia dalam tempo yang ditetapkan dalam pasal berikut, maka tanpa menambah tempo itu, penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya atau suami/isterinya yang masih hidup kecuali jika dapat dibuktikan bahwa yang meninggal itu tidak menghendaki penuntutan.

Pasal 75
Barangsiapa mengajukan penuntutan, ia berhak akan menarik kembali pengaduannya dalam tempo tiga bulan terhitung mulai pengaduan diadukan.
Tidak diberlakukannya Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 75 merupakan konsekuensi logis dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (2) dan ayat (4). Dalam adagium dikenal lex specialis derogat lex generali, peraturan yang lebih khusus menghapuskan peraturan yang berlaku umum. Pasal 284 ayat (2) ini menghapuskan ketentuan Pasal 72 dan Pasal 73 yang sifatnya lebih umum. Oleh karena itu, yang berhak mengadukan dalam delik perzinahan hanyalah suami atau isteri yang melakukan tindak pidana zina. Sedangkan wakil, keluarga sedarah ataupun orang tuanya tidak berhak atas pengaduan ini. Sedangkan tidak diberlakukannya Pasal 75 KUHP dalam delik perzinahan karena menurut Pasal 284 ayat (4) KUHP pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
4. Pasal 284 ayat (4) KUHP
Pasal 284 ayat (4) KUHP berbunyi :
“Pengaduan ini dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum dimulai”.
Ketentuan ini mengatur adanya kesempatan bagi pihak yang mengadukan delik perzinahan untuk melakukan pencabutan kembali pengaduannya. Undang-undang menentukan batas pencabutan pengaduan adalah selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Adapun permulaan pemeriksaan dalam sidang pengadilan adalah ketika hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang dibuka untuk umum. Akan tetapi karena delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan, maka sidang dibuka dan tertutup untuk umum. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP:
(3)  Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya  anak-anak.
5. Pasal 284 ayat (5) KUHP
Pasal 284 ayat (5) KUHP berbunyi :
“Jika bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 BW, maka pengaduan tidak diindahkan sebelum perkawinan diputus karena perceraian, atau sebelum keputusan, yang membebaskan mereka dari pada berdiam serumah, menjadi tetap”.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (5) ini pada dasarnya menentukan bahwa apabila bagi suami isteri yang kedamaian rumah tangganya telah diganggu oleh peristiwa perzinahan yang dilakukan oleh salah satu pihak dari mereka yang berlaku ketentuan dalam Pasal 27 BW, maka pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan tidak akan mempunyai kelanjutan, jika ikatan perkawinan antara mereka itu oleh pengadilan belum diputus oleh perceraian atau jika perceraian dari meja makan dan tempat tidur yang diputuskan oleh pengadilan itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Pasal 284 ayat (5) ini merupakan ketentuan yang baru, yang dimasukkan dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan Undang-undang tanggal 15 Januari 1886 yaitu sebelum WvS terbentuk pada tahun 1881 itu diberlakukan secara efektif di negeri Belanda pada tahun 1886[13].
F. Permasalahan yang Muncul Berkenaan Pasal 284 KUHP
Berdasarkan Pasal 284 KUHP, perbuatan yang disebut sebagai  perzinahan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya atau salah satu dari mereka telah menikah. Sehingga apabila perbuatan bersetubuh itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya tidak diikat oleh perkawinan dengan orang lain maka bukan termasuk perzinahan.
Batasan yang diberikan KUHP itu dirasa sangat sempit. Namun hal ini dimaklumi karena KUHP disusun oleh kolonial Belanda yang mempunyai pandangan berbeda dengan pandangan masyarakat dalam memandang perbuatan zina. Menurut pembentuk undang-undang, perzinahan hanya dapat terjadi karena pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Seperti yang disebut dalam Van Dale’s Groat Woordenboek der Nederlanche yang menyatakan bahwa perzinahan berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.
Padahal menurut pandangan masyarakat Indonesia umumnya, perrbuatan zina dapat terjadi apabila ada persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Pengertian seperti ini lebih luas dari pada pengertian overspel dalam KUHP.
Menurut Sahetapy, perbuatan bersetubuh yang tidak sah berarti persetubuhan yang bukan saja dilakukan oleh suami atau isteri di luar lembaga perkawinan, tetapi juga persetubuhan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya belum menikah, kendatipun sudah bertunangan. Sah di sini harus ditafsirkan sah dalam ruang lingkup lembaga perkawinan. Sehingga zina meliputi pula fornication yaitu persetubuhan yang dilakukan secara suka rela antara seorang yang belum menikah dengan seseorang dari sex yang berlawanan (yang belum menikah juga). Meskipun persetubuhan itu bersifat volunter, atas dasar suka sama suka, namun perbuatan bersetubuh itu tetap tidak sah. Menurut anggota masyarakat, persetubuhan yang sah hanya dilakukan dalam lmbaga perkawinan. Dengan demikian pengertian berzinah mencakup pengertian overspel, fornication dan prostitusi[14].
Jadi menurut KUHP, seseorang melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan di luar perkawinan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dapat dipidana, kecuali terbukti ada perzinahan. Persetubuhan yang dipidana menurut KUHP hanya terjadi apabila persetubuhan itu dilakukan secara paksa (Pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP) dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup lima belas tahun (Pasal 287 KUHP).
Mengenai makna persetubuhan secara spesifik bertalian dengan perzinahan dalam Pasal 284 itu menurut Soesilo adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani[15].
Menanggapi pengertian yang dipaparkan oleh Soesilo ini, Sahetapy berpendapat bahwa apabila berpangkal tolak dari pembuktian perzinahan dan bukan berpangkal tolak dari pembuktian kebapakan dari anak ini secara biologik maka penambahan kata-kata “…..sehingga mengeluarkan air mani” adalah sangat berlebihan. Bahkan sangat sulit dibuktikan, karena bukanlah kompetensi hukum pidana untuk menentukan kebapakan dan keturunan, melainkan termasuk wewenang dan ruang lingkup hukum perdata[16].
Telah disebut di muka bahwa partner yang disetubuhi belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti jika parner yang disetubuhi sudah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku. Padahal ketentuan Pasal 284 KUHP mengancam dengan pidana peseta pelaku dalam hal ini partner yang belum menikah. Dengan kata lain, partner yang belum menikah yang terlibat atau melibatkan diri dalam perzinahan tidak diancam dengan pidana kecuali atas pengaduan dari isteri atau suami yang bersangkutan. Ini merupakan konstruksi yuridis yang bukan saja deskriminatif tetapi juga tidak masuk akal bagi pikiran yang sehat[17].
Di samping itu Pasal 284 KUHP mensyaratkan adanya keberlakuan Pasal 27 BW bagi pria yang menikah yang berbuat zina. Banyak ahli yang tidak setuju dengan disebutkan hanya Pasal 27 BW ini sebagai ukuran. Hal ini disebabkan warga negara Indonesia yang takluk pada Pasal 27 BW adalah orang-orang Eropa dan Cina. Yang tidak takluk adalah orang-orang Indonesia asli, orang-orang Arab, India, Pakistan dan lain-lain orang yang bukan orang Eropa, kecuali Cina[18].
Permasalahan yang timbul akibat dipakainya ukuran Pasal 27 BW ini misalnya berkaitan dengan Pasal 284 ayat (1)  angka 2 huruf b KUHP. Dalam pasal ini undang-undang telah mensyaratkan adanya  dua pengetahuan dari seorang wanita yang tidak menikah yang telah berzina dengan seorang pria yang telah menikah yaitu :
1.             pria tersebut terikat dengan perkawinan dengan wanita lain;
2.             ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi pria tersebut.
Kiranya sudah cukup jelas bahwa karena pengetahuan yang disyaratkan terakhir itu tidak akan pernah dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun hakim, maka dengan sendirinya wanita yang telah menikah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tidak akan pernah dapat dinyatakan melanggar larangan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP. Atau dengan kata lain undang-undang pidana yang berlaku saat ini tidak melarang dilakukannya perzinahan oleh wanita yang tidak menikah dengan pria yang menikah jika pria tersebut tidak menundukkan diri pada Pasal 27 BW[19].
Selain itu, permasalahan-permasalahan dari persetubuhan yang tidak merupakan tindak pidana menurut KUHP, yaitu :
1.    dua orang yang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun
a.    perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat;
b.    wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan menikahi, tetapi diingkari;
c.    berakibat hamilnya wanita itu dan lai-laki yang menghamilinya tidak bersedia menikahinya atau ada halangan untuk nikah menurut undang-undang;
2.    seorang laki-laki telah bersuami menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut;
3.    seorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami isteri di luar perkawinan padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan atau mengganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat setempat[20].

F. Penutup

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pasal 284 KUHP ternyata pengertian perzinahan yang diberikan oleh masyarakat tidaklah sama dengan pengertian overspel. Overspel sebagai tindak pidana dalam KUHP jika salah satu pelaku zina atau keduanya telah terikat tali perkawinan dan proses peradilan pidana dapat diterapkan bagi tindak pidana perzinahan hanya jika terdapat pengaduan dari istri atau suami pelaku zina. Ketentuan demikian sangatlah tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan yang masih cukup kuat dipegang masyarakat Indonesia. Jika benturan antara nilai-nilai kesusilaan dengan hukum positif yang ada tetap dibiarkan terjadi, dikhawatirkan dapat memunculkan persoalan baru dalam masyarakat seperti main hakim sendiri, pembunuhan bayi hasil hubungan gelap atau kumpul kebo. Sekarang tinggal bagaimana para pembentuk undang-undang mencermati persoalan ini.

 ---daftar pustaka dan footnote sengaja penulis sembunyikan---

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. pak bisa di share daftar pustaka dan footnotenya.
    mau tak carek bukunya, tambahan buat refrensi skripsi..
    mintak tolong pak

    BalasHapus
  3. Hindi ko lubos na pasasalamatan si Dr EKPEN TEMPLE sa pagtulong sa akin na ibalik ang Kaligayahan at kapayapaan ng pag-iisip sa aking pag-aasawa matapos ang maraming mga isyu na halos humantong sa diborsyo, salamat sa Diyos na ang ibig kong sabihin ay si Dr EKPEN TEMPLE sa tamang oras. Ngayon masasabi ko sa iyo na ang Dr EKPEN TEMPLE ay ang solusyon sa problemang iyon sa iyong kasal at relasyon. Makipag-ugnay sa kanya sa (ekpentemple@gmail.com)

    BalasHapus