Oleh : Ahmad Bahiej
A. Pendahuluan
Hukum pidana Indonesia (baca: KUHP) yang nama aslinya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI), merupakan produk asli bangsa Belanda yang diterapkan bagi bangsa Indonesia. Baru kemudian dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut berubah nama menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), dan dapat disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Perubahan nama itu diikuti dengan perubahan istilah, penambahan beberapa tindak pidana, dan perubahan ancaman hukuman yang sifatnya tambal sulam agar tampak lebih meng-Indonesia.
Setelah sekian lama KUHP tersebut berlaku di Indonesia, terbukti masih saja menyisakan berbagai masalah sosial di Indonesia. Permasalahan-permasalahan sosial yang muncul, tidak secara otomatis kemudian selesai dengan hanya menerapkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut. Ada banyak faktor sosiologis bangsa Indonesia yang membuat KUHP itu malah merugikan bangsa. Apalagi, perkembangan teknologi yang sedemikian global membuat KUHP lebih tampak usang, out of date.
Secara
lebih mendasar KUHP memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa
Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum
kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the
Romano-Germanic family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi
oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism,
liberalism, and individual right)[1].
Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku,
benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan
menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Masalah delik perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya
benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dengan
kepentingan/nilai sosial masyarakat. Benturan-benturan yang sering terjadi di
masyarakat, acapkali menimbulkan kejahatan baru seperti pembunuhan,
penganiayaan, atau main hakim sendiri. Hal ini diperparah dengan lemahnya
praktek penegakan hukum. Dalam edisi ini, pertama kali delik perzinahan hanya akan
dikaji secara yuridis formal agar lebih mudah mencermati
kejanggalan-kejanggalan yang ada. Sedangkan tinjauan berikutnya akan dipaparkan
dalam kesempatan yang lain.
B. Kedudukan Pasal 284 Mengenai
Delik Perzinahan dalam KUHP
Delik perzinahan (overspel)
diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan sebagai salah satu
kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam
dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III
yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan
kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:
a. yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di
muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar
kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 - 283);
b. zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan
hubungan seksual (Pasal 284-296);
c. perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d. yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan (Pasal
299);
e. memabukkan (Pasal 300);
f.
menyerahkan anak untuk pengemisan
dan sebagainya (Pasal 301);
g. penganiayaan hewan (Pasal 302);
h. perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran
kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a. mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal
532-535);
b. yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c. yang berhubungan dengan perbuatan tidak susila terhadap hewan (Pasal
540, 541 dan 544);
d. meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
e. menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi
ilmu kesaktian (Pasal 546);
f.
saksi yang memakai jimat dalam
persidangan (Pasal 547).
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XIV mengenai
kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan ini sengaja dibentuk oleh pembentuk
undang-undang dengan maksud untuk melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan
asusila dan perilaku-perilaku baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang
menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang
kepatutan-kepatutan di bidang seksual, baik ditinjau dari segi pandangan
masyarakat setempat maupun dari segi kebiasaan masyarakat dalam menjalankan
kehidupan seksual mereka[2].
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa
kesusilaan itu mengenai juga tentang adat kebiasaan yang baik, tetapi khusus
yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex) seorang manusia. Dengan demikian,
pidana mengenai delik kesusilaan semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang
melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan
terhadap kesusilaan[3].
Akan tetapi menurut Roeslan Saleh, pengertian kesusilaan hendaknya tidak
dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual saja, tetapi juga
meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah
laku dalam pergaulan masyarakat[4].
C. Sejarah Pembentukan Pasal 284 KUHP
Pada
zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan mengenai kejahatan perzinahan
mengenai perlu atau tidaknya dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang
dan dapat diancam dengan pidana. Menurut hukum Romawi, pihak wanita sajalah
yang dapat dipersalahkan telah melakukan perzinahan. Jika terdapat isteri
melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, maka ia
telah dipandang sebagai seorang istri yang merugikan hak seorang suami untuk
menuntut kesetiaan dari isterinya dalam perkawinan. Perlakuan di depan hukum
yang tidak seimbang antara wanita denga pria itu kemudian berlanjut pada Code
Penal Perancis.
Berbeda
dengan hukum Romawi yang memandang wanita lebih rendah kedudukannya di depan
hukum dibandingkan dengan pria, ternyata hukum gereja Katholik telah
menempatkan kedudukan wanita itu sederajat dengan kedudukan pria di depan
hukum. Oleh karena itu, perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat
dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai inbreuk op de heilige
band van het huwelijk atau suatu penodaan terhadap
ikatan suci dari perkawinan.
Pandangan
gereja Katholik tentang kedudukan hukum yang sederajat antara pria dengan
wanita itu telah diikuti oleh pembentuk undang-undang di negeri Belanda yang
dapat dilihat cara mereka merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340
sampai dengan Pasal 344 Criminal Wetboek
voor het Koninklijk Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinahan sebagai
sutau perbuatan yang terlarang dan dapat diancam pidana.
Semula
saat Wetboek van Strafrecht (KUHP) itu dibentuk, perzinahan tidak
dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik (kejahatan). Akan tetapi atas
usul Mr. Modderman, perzinahan dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang
terlarang dalam Wetboek van Strafrecht
(WvS). Alasan yang dipakai Mr. Modderman adalah apabila perzinahan itu
tidak diatur dalam WvS dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi
kesusilaan.
Atas usul Modderman itu, kemudian perzinahan dicantumkan sebagai salah
satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang dibentuk. Dengan demikian
wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria yaitu bukan hanya berkedudukan
sebagai subyek dari tindak pidana perzinahan akan tetapi berkedudukan pula
sebagai pihak yang sama. Artinya, pihak wanita berhak pula mengajukan pengaduan
dan gugatan perceraian jika perbuatan itu dipandang perlu baginya[5].
D. Pengertian Overspel
Dari
berbagai terjemahan WvS yang beredar di pasaran, para pakar hukum
Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel. Hal ini dikarenakan bahasa
asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat yang
menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain menggunakan kata atau istilah
mukah atau gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya Moelyatno,
Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau terjemahan KUHP dari Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman.
Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche
Taag kata overspel berarti echbreuk,
schending ing der huwelijk strouw yang kurang lebih berarti pelanggaran
terhadap kesetiaan perkawinan. Menurut putusan Hooge Raad tanggal 16 Mei 1946, overspel
berarti sebagai berikut:
“is niet begrepenvleeselijk gemeenschap
met een derde onder goedkeuring van den anderen echtgenoot. De daad is dan geen
schending van de huwelijk strouw. I.c. was de man souteneur; hij had zijn vrouw
tot publiek vrouw gemaakt. Hij keurde haar levenswijze zonder voorbehoud goed”.
Artinya :
“di dalamnya tidak termasuk hubungan kelamin dengan
seorang ketiga dengan persetujuan suami atau isterinya, perbuatan itu bukan
pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan yaitu andaikata suaminya adalah germo
maka dia telah membuat isterinya menjadi pelacur, ia menganggap cara hidupnya
itu lebih baik tanpa pengecualian.
Demikian
pula overspel menurut
Noyon-Langemayer yang menegaskan bahwa overspel
kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de angehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet medepleger,
yang artinya perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah; yang
tersangkut dalam perbuatan itu adalah turut serta (medepleger)[6].
Oleh
karena itu, melihat ketentuan Pasal 284 sedemikian rupa, maka overspel yang dapat dikenai sanksi
pidana menurut KUHP adalah:
a. persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila
pasangan ini belum menikah kedua-kedunaya, maka persetubuhan mereka tidak dapat
dikualifikasikan sebagai overspel,
hal mana berbeda dengan pengertian berzina yang menganggap persetubuhan antara pasangan yang belum menikah juga
termasuk di dalamnya.
b. partner yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai
peserta pelaku (medepleger). Ini berarti apabila partner yang disetubuhi
telah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku.
c. persetubuhan tidak direstui oleh suami atau pun isteri yang
bersangkutan. Secara a contrario dapat dikatakan kalau persetubuhan itu
direstui oleh suami atau isteri yang bersangkutan maka itu bukan termasuk overspel.[7]
E. Unsur-unsur Dapat Dipidananya Perzinahan
Menurut Pasal 284 KUHP
Menurut
asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana, unsur-unsur tindak pidana merupakan
syarat-syarat untuk menentukan sampai di mana perbuatan seorang manusia dapat
dikenakan hukuman/pidana. Unsur-unsur itu meliputi perbuatan manusia yang
memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta unsur orang
atau pelakunya, yakni adanya kesalahan pada diri pelaku.
Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang rumusan aslinya
menggunakan bahasa Belanda, yaitu :
(1) Met
gevangenisstraf van ten hoogste negen maanden wordt gestraft:
1.
a. de
gehuwde man die wetende dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem
toepasselijk is, overspel pleegt;
b.
de gehuwde vrouw die overspel pleegt;
2.
a. de
man die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd is;
b. de ongehuwde vrouw die het feit medepleegt,
wetende dat de medeschuldige gehuwd en dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek
op hem toepasselijk is.
(2) Geene
vervolging heeft plaats dan op de klachte van den beledigden echtgenoot,
gevolgd indien op de echtgenoten art. 27 van het Burgerlijk Wetboek
toepasselijk is, binnen den tijd
van drie maanden door een eis tot echtscheiding of scheiding van tafel en bed op grond vanhetzelfde feit.
(3) Ten
aanzien van deze klachte zijn de art. 72, 73 en 75 niet van toepassing.
(4) De
klachte kan worden ingetrokken zolang het onderzoek ter terechtzitting niet is
aangevangen.
(5) Indien
op de echgenoten art. 27 van het Burgerlijk Wetboek toepasselijkis,wordt aan de
klachte geen gevolg gegeven, zolang niet
het huwelijk door echtscheiding is ontbonden of het vonnis, waarbij scheiding
van tafel en bed is uit gesproken, onherroepelijk is geworden[8].
Tindak
pidana perzinahan atau overspel yang
dimaksud dalam Pasal 284 KUHP ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk delict atau merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan
sengaja[9].
Ini berarti bahwa unsur kesengajaan itu harus terbukti pada si pelaku agar ia
dapat terbukti sengaja dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinahan dari
tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1)
KUHP.
Adapun
mengenai kesengajaan ini, KUHP tidak memberikan definisi secara jelas. Petunjuk
untuk mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari Memorie van Toelchting (MvT) yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wettens).
Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa
yang ia lakukan[10].
Apabila unsur kesengajaan dari pelaku zina ini tidak dapat dibuktikan maka pelaku tidak terbukti
menghendaki atau tidak terbukti mengetahui perzinahan yang dilakukan, sehingga
hakim harus memutuskan bebas dari tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) bagi pelaku.
Menurut
Simons, untuk adanya suatu perzinahan menurut Pasal 284 KUHP itu diperlukan
adnya suatu vleeslijk gemeenschap atau diperlukan adanya suatu
hubungan alat-alat kelamin yang selesai dilakukan antara seorang pria dengan
seorang wanita[11].
Sehingga apabila dilakukan oleh dua orang yang berjenis kelamin sama bukan
merupakan perzinahan yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP
Syarat
lain yang perlu diperhatikan agar perbuatan melakukan hubungan kelamin antara
seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya telah kawin
dapat disebut sebagai delik perzinahan menurut KUHP adalah bahwa tidak adanya
persetujuan diantara suami isteri itu. Artinya jika ada persetujuan di antara
suami dan isteri, misal suami yang bekerja sebagai mucikari dan isterinya
menjadi pelacur bawahannya maka perbuatan semacam itu bukanlah termasuk
perbuatan zina. Hal ini didasarkan pada Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 16
Mei 1946 N.J. 1946 Nomor 523 yang telah disebutkan di muka.
Agar lebih jelas di bawah ini akan diuraikan satu per satu dari bagian
Pasal 284 KUHP.
1. Pasal 284
ayat (1)
Ayat (1) dari Pasal 284 KUHP ini terdiri dari dua angka yang
masing-masing terdiri atas dua huruf, yaitu :
Ke-1 a. Laki-laki beristri,
yang berzina, sedangkan diketahuinya bahwa Pasal 27 Burgerlijk Wetboek berlaku baginya.
b. perempuan bersuami, yang berzina
Berdasarkan
ketentuan demikian, maka seorang pria dapat didakwa melakukan zina apabila
telah memenuhi unsur:
a. pria tersebut telah menikah;
b. pria tersebut telah mengetahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
Oleh
karena itu, apabila seorang pria yang melakukan perzinahan itu telah menikah
akan tetapi Pasal 27 BW tidak berlaku baginya maka pria tersebut tidak dapat
didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a
KUHP, melainkan pria tersebut didakwa dengan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a
KUHP, yakni jika pria tersebut memang mengetahui bahwa wanita yang berzina
dengan dirinya itu telah terikat
perkawinan dengan pria lain. Karena dalam ketentuan ini wanita tidak
disyaratkan tunduk pada Pasal 27 BW.
Di dalam
rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP juga disyaratkan adanya
pengetahuan dari pelaku, yakni bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 BW
itu berlaku bagi dirinya. Apabila ternyata di dalam persidangan yang memeriksa
perkara perzinahan, syarat pengetahuan berlakunya ketentuan Pasal 27 BW itu
tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum maka hakim harus memberikan putusan
bebas (vrijspraak) bagi pelaku.
Adapun Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) yang dijadikan salah satu
unsur dari tindak pidana perzinahan itu berbunyi sebagai berikut :
“Pada saat yang sama, seorang pria hanya dapat
terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang wanita, dan seorang wanita hanya
dapat terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang pria”.
Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf b menentukan larangan bagi seorang
wanita yang telah menikah melakukan perzinahan dengan seorang pria. Berdasarkan
ketentuan ini dapat diambil pengertian bahwa seorang wanita didakwa melakukan
zina apabila telah memenuhi satu unsur saja, yakni dia telah menikah. Wanita
itu tidak diharuskan tunduk pada Pasal 27 BW sebagaimana seorang laki-laki yang
berzina, karena undang-undang telah menentukan secara umum tentang dapat
dipidananya seorang wanita yang telah menikah yang melakukan suatu perzinahan.
Ke-2 a. Laki-laki yang turut melakukan perbuatan
itu, sedangkan diketahuinya bahwa yang turut bersalah, sudah bersuami.
Pasal
284 ayat (1) angka 2 huruf a di atas mengatur larangan bagi seorang pria turut
melakukan perzinahan dengan seorang wanita, yang ia ketahui bahwa wanita
tersebut berada dalam keadaan menikah dengan pria lain. Dari ketentuan seperti
ini seorang pria dapat diancam pidana sembilan bulan penjara karena turut
melakukan (medeplegen) perzinahan
jika:
a.
pria tersebut tidak berada dalam
keadaan menikah dengan wanita lain atau sudah menikah tetapi Pasal 27 BW tidak
berlaku baginya;
b. pria tersebut mengetahui bahwa wanita yang ia zinahi itu sudah menikah
dengan pria lain.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal
284 ayat (1) angka 1 huruf a, angka 2 huruf a inipun tidak mensyaratkan adanya
wanita yang tunduk pada Pasal 27 BW. Jadi tidak mempermasalahkan apakah wanita
tersebut tunduk pada Pasal 27 ataupun tidak. Dalam undang-undang ditentukan
secara umum tentang dapat dipidananya seorang pria yang turut melakukan
perzinahan dengan wanita yang bersuami.
Pada Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a inipun disyaratkan adanya
pengetahuan dari seorang pria yang turut melakukan perbuatan zina bahwa wanita
yang dia zinahi telah beristeri.
Ke-2 b.
Perempuan yang tidak bersuami, yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan
diketahuinya, bahwa yang turut bersalah sudah beristeri dan Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku baginya.
Pasal
284 ayat (1) angka 2 huruf b menentukan larangan bagi seorang wanita yang tidak
menikah turut melakukan perzinahan dengan seorang pria, yang ia ketahui bahwa
pria tersebut berada dalam keadaan menikah dengan wanita lain, dan yang ia
ketahui pula bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 BW berlaku bagi pria
itu.
Dengan
demikian seorang wanita dapat diancam pidana sembilan bulan karena turut
melakukan perzinahan jika:
a. wanita tersebut tidak dalam keadaan menikah;
b. wanita tersebut mengetahui bahwa pria lawan mainnya sudah beristeri;
c. wanita tersebut mengetahui bahwa atas pria lawan mainnya itu
diberlakukan ketentuan Pasal 27 BW.
Pasal
ini juga mensyaratkan adanya pengetahuan dari pihak wanita, bahwa ia mengetahui
ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi si pria. Sehingga apabila dalam persidangan
yang memeriksa perkara itu tidak terbukti bahwa wanita itu mengetahui maka bagi
hakim harus memberikan putusan bebas (vrijspraak)
bagi wanita.
Berdasarkan rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a dan b KUHP di
atas dapat diketahui bahwa hanya pria dan wanita yang telah menikah sajalah
yang dapat disebut sebagai pelaku perzinahan. Sedangkan pria dan wanita yang
belum menikah, menurut Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a dan b KUHP, dipandang
sebagai orang yang turut serta melakukan perzinahan.
2. Pasal 284 ayat (2) KUHP
Selengkapnya,
bunyi Pasal 284 ayat (2) itu adalah sebagai berikut:
“Tidak
dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW , dalam tenggang waktu tiga bulan
diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan
itu juga”.
Ketentuan
Pasal 284 ayat (2) KUHP berisi bahwa undang-undang menentukan terhadap pelaku
tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1)
KUHP itu tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan dari suami atau
isteri yang tercemar. Apabila bagi suami dan isteri itu berlaku Pasal 27 BW
maka dalam tempo tiga bulan dari pengaduan tersebut harus diikuti dengan
gugatan perceraian dari meja makan dan tempat tidur, yang disebabkan karena
terjadinya perzinahan itu.
Berdasarkan Pasal 284 ayat (2) KUHP di atas, dapat
diketahui bahwa delik perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP
merupakan delik aduan absolut (absolute
klachtdelicten). Artinya, dalam keadaan apapun delik
perzinahan merupakan delik aduan. Adanya aduan ini merupakan syarat mutlak agar
pelaku-pelakunya dapat dituntut (voorwarde
van vervolgbaasheid) secara pidana.
Alasan
yang mendasari pemikiran bahwa delik perzinahan itu merupakan delik yang
digantungkan pada adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirinya telah
dirugikan oleh para pelakunya, laporan Tweede Kamer menjelaskan karena jika
tidak ditentukan demikian maka hubungan-hubungan yang sifatnya khusus dalam
keluarga itu seringkali akan menjadi terganggu tanpa guna. Selain itu apabila
pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku ternyata tidak mempunyai keinginan
untuk mengajukan gugatan perceraian atau gugatan perceraian dari meja makan dan
tempat tidur maka tidak terdapat suatu dasar yang kuat untuk memberikan
wewenang kepada pihak tersebut yakni untuk meminta kepada alat-alat negara agar
terhadap pihak-pihak yang telah merugikan dirinya itu dilakukan penuntutan
menurut hukum pidana.
Sementara
itu Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 24 Oktober 1932 N.J. 1932 menentukan
bahwa :
“kejahatan
ini hanya dapat dituntut jika ada pengaduan, yakni bukan karena adanya hubungan
pribadi antara orang yang terhina dengan para pelaku, melainkan karena sifatnya
yang khusus dari kejahatan ini. Semua orang yang terlibat di dalamnya dalam
salah satu bentuk keturutsertaan, termasuk juga orang yang telah menggerakkan
para pelaku untuk melakukan kejahatan ini, hanya dapat dituntut setelah adanya
pengaduan”[12].
Adanya
keterangan dari Hooge Raad di atas menjelaskan
adanya ketentuan antara pelaku (dader)
dengan pihak-pihak yang turut serta dalam delik perzinahan sehingga delik
perzinahan itu dapat terjadi. Proses penyidikan dari kepolisian tidak hanya
melakukan penyidikan terhadap orang yang diadukan oleh pengadu melainkan juga
terhadap orang-orang yang terlibat dalam kejahatan itu, misalnya orang yang
menyuruhlakukan (doenpleger), orang
yang turut melakukan (medepleger)
atau orang yang menggerakkan (oitlokker).
Hal ini
pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan
kasasinya tanggal 19 Maret 1955 Nomor 52 K/Kr/1953:
“Pasal 284 KUHP itu merupakan suatu absoluut klachdelict sehingga pengaduan terhadap laki-laki yang melakukan
perzinahan juga merupakan pengaduan terhadap isteri yang berzinah, sedang jaksa
berwenang untuk atas oportunitas hanya mengadakan penuntutan terhadap salah
seorang dari mereka”.
3. Pasal 284 ayat (3) KUHP
Pasal 284 ayat (3) KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Bagi
pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75”.
Ketentuan ini mengatur bahwa undang-undang menentukan bagi gugatan yang
dimaksudkan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP itu tidak berlaku ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Pasal 72, 73 dan 75 KUHP. Adapun ketentuan yang diatur dalam
pasal -pasal itu adalah
Pasal 72
(1) Selama orang yang terkena kejahatan yang
hanya boleh dituntut atas pengaduan, umurnya belum cukup umur enam belas tahun
dan lagi belum dewasa, atau selama ia di
bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain dari pada keborosan, maka yang
berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.
(2)
Jika
wakil itu tidak ada atau ia sendiri yang harus diadukan maka penuntutan dapat
dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau wali pengampu atau majelis yang
menjalankan kewajiban wali pengawas atau kewajiban wali pengampu itu. Demikian
juga atas pengaduan istri atau seorang keluarga sedarah dalam turunan yang
lurus, atau bila tidak ada keluarga sedarah itu, atas pengaduan sedarah dalam
turunan yang menyimpang sampai derajat ke tiga.
Pasal 73
Jika orang
yang terkena kejahatan itu meninggal dunia dalam tempo yang ditetapkan dalam
pasal berikut, maka tanpa menambah tempo itu, penuntutan dapat dilakukan atas
pengaduan orang tuanya, anaknya atau suami/isterinya yang masih hidup kecuali
jika dapat dibuktikan bahwa yang meninggal itu tidak menghendaki penuntutan.
Pasal 75
Barangsiapa mengajukan penuntutan, ia berhak akan
menarik kembali pengaduannya dalam tempo tiga bulan terhitung mulai pengaduan
diadukan.
Tidak diberlakukannya Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 75 merupakan
konsekuensi logis dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (2) dan ayat
(4). Dalam adagium dikenal lex specialis derogat lex generali, peraturan
yang lebih khusus menghapuskan peraturan yang berlaku umum. Pasal 284 ayat (2)
ini menghapuskan ketentuan Pasal 72 dan Pasal 73 yang sifatnya lebih umum. Oleh
karena itu, yang berhak mengadukan dalam delik perzinahan hanyalah suami atau
isteri yang melakukan tindak pidana zina. Sedangkan wakil, keluarga sedarah
ataupun orang tuanya tidak berhak atas pengaduan ini. Sedangkan tidak
diberlakukannya Pasal 75 KUHP dalam delik perzinahan karena menurut Pasal 284
ayat (4) KUHP pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
4. Pasal 284 ayat (4) KUHP
Pasal 284 ayat (4) KUHP berbunyi :
“Pengaduan ini
dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum dimulai”.
Ketentuan
ini mengatur adanya kesempatan bagi pihak yang mengadukan delik perzinahan
untuk melakukan pencabutan kembali pengaduannya. Undang-undang menentukan batas
pencabutan pengaduan adalah selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum
dimulai.
Adapun permulaan pemeriksaan dalam sidang pengadilan adalah ketika
hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang dibuka untuk umum. Akan
tetapi karena delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan, maka
sidang dibuka dan tertutup untuk umum. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3)
KUHAP:
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua
sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya
anak-anak.
5. Pasal 284 ayat (5) KUHP
Pasal 284 ayat (5) KUHP berbunyi :
“Jika bagi
suami isteri itu berlaku Pasal 27 BW, maka pengaduan tidak diindahkan sebelum
perkawinan diputus karena perceraian, atau sebelum keputusan, yang membebaskan
mereka dari pada berdiam serumah, menjadi tetap”.
Ketentuan
yang diatur dalam Pasal 284 ayat (5) ini pada dasarnya menentukan bahwa apabila
bagi suami isteri yang kedamaian rumah tangganya telah diganggu oleh peristiwa
perzinahan yang dilakukan oleh salah satu pihak dari mereka yang berlaku
ketentuan dalam Pasal 27 BW, maka pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan
tidak akan mempunyai kelanjutan, jika ikatan perkawinan antara mereka itu oleh
pengadilan belum diputus oleh perceraian atau jika perceraian dari meja makan
dan tempat tidur yang diputuskan oleh pengadilan itu belum mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Pasal 284 ayat (5) ini merupakan ketentuan yang baru, yang dimasukkan dalam
Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan
Undang-undang tanggal 15 Januari 1886 yaitu sebelum WvS terbentuk pada tahun
1881 itu diberlakukan secara efektif di negeri Belanda pada tahun 1886[13].
F. Permasalahan yang Muncul
Berkenaan Pasal 284 KUHP
Berdasarkan
Pasal 284 KUHP, perbuatan yang disebut sebagai
perzinahan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan oleh seorang pria
dan seorang wanita yang keduanya atau salah satu dari mereka telah menikah.
Sehingga apabila perbuatan bersetubuh itu dilakukan oleh seorang pria dan
seorang wanita yang keduanya tidak diikat oleh perkawinan dengan orang lain
maka bukan termasuk perzinahan.
Batasan
yang diberikan KUHP itu dirasa sangat sempit. Namun hal ini dimaklumi karena
KUHP disusun oleh kolonial Belanda yang mempunyai pandangan berbeda dengan
pandangan masyarakat dalam memandang perbuatan zina. Menurut pembentuk
undang-undang, perzinahan hanya dapat terjadi karena pelanggaran terhadap
kesetiaan perkawinan. Seperti yang disebut dalam Van Dale’s Groat Woordenboek der Nederlanche yang menyatakan bahwa
perzinahan berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.
Padahal
menurut pandangan masyarakat Indonesia umumnya, perrbuatan zina dapat terjadi
apabila ada persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa
adanya ikatan perkawinan yang sah. Pengertian seperti ini lebih luas dari pada
pengertian overspel dalam KUHP.
Menurut
Sahetapy, perbuatan bersetubuh yang tidak sah berarti persetubuhan yang bukan
saja dilakukan oleh suami atau isteri di luar lembaga perkawinan, tetapi juga
persetubuhan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya belum
menikah, kendatipun sudah bertunangan. Sah di sini harus ditafsirkan sah dalam
ruang lingkup lembaga perkawinan. Sehingga zina meliputi pula fornication yaitu persetubuhan yang
dilakukan secara suka rela antara seorang yang belum menikah dengan seseorang
dari sex yang berlawanan (yang belum menikah juga). Meskipun persetubuhan itu
bersifat volunter, atas dasar suka sama suka, namun perbuatan bersetubuh itu
tetap tidak sah. Menurut anggota masyarakat, persetubuhan yang sah hanya
dilakukan dalam lmbaga perkawinan. Dengan demikian pengertian berzinah mencakup
pengertian overspel, fornication dan prostitusi[14].
Jadi
menurut KUHP, seseorang melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan di luar
perkawinan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dapat dipidana,
kecuali terbukti ada perzinahan. Persetubuhan yang dipidana menurut KUHP hanya
terjadi apabila persetubuhan itu dilakukan secara paksa (Pasal 285 KUHP), persetubuhan
dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP) dan
persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup lima belas tahun (Pasal 287
KUHP).
Mengenai
makna persetubuhan secara spesifik bertalian dengan perzinahan dalam Pasal 284 itu
menurut Soesilo adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan
perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki
harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani[15].
Menanggapi
pengertian yang dipaparkan oleh Soesilo ini, Sahetapy berpendapat bahwa apabila
berpangkal tolak dari pembuktian perzinahan dan bukan berpangkal tolak dari
pembuktian kebapakan dari anak ini secara biologik maka penambahan kata-kata
“…..sehingga mengeluarkan air mani” adalah sangat berlebihan. Bahkan sangat
sulit dibuktikan, karena bukanlah kompetensi hukum pidana untuk menentukan
kebapakan dan keturunan, melainkan termasuk wewenang dan ruang lingkup hukum
perdata[16].
Telah
disebut di muka bahwa partner yang disetubuhi belum menikah hanya dianggap
sebagai peserta pelaku (medepleger).
Ini berarti jika parner yang disetubuhi sudah menikah juga, yang bersangkutan
dianggap bukan sebagai peserta pelaku. Padahal ketentuan Pasal 284 KUHP
mengancam dengan pidana peseta pelaku dalam hal ini partner yang belum menikah.
Dengan kata lain, partner yang belum menikah yang terlibat atau melibatkan diri
dalam perzinahan tidak diancam dengan pidana kecuali atas pengaduan dari isteri
atau suami yang bersangkutan. Ini merupakan konstruksi yuridis yang bukan saja
deskriminatif tetapi juga tidak masuk akal bagi pikiran yang sehat[17].
Di
samping itu Pasal 284 KUHP mensyaratkan adanya keberlakuan Pasal 27 BW bagi
pria yang menikah yang berbuat zina. Banyak ahli yang tidak setuju dengan
disebutkan hanya Pasal 27 BW ini sebagai ukuran. Hal ini disebabkan warga
negara Indonesia yang takluk pada Pasal 27 BW adalah orang-orang Eropa dan
Cina. Yang tidak takluk adalah orang-orang Indonesia asli, orang-orang Arab,
India, Pakistan dan lain-lain orang yang bukan orang Eropa, kecuali Cina[18].
Permasalahan
yang timbul akibat dipakainya ukuran Pasal 27 BW ini misalnya berkaitan dengan
Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP.
Dalam pasal ini undang-undang telah mensyaratkan adanya dua pengetahuan dari seorang wanita yang
tidak menikah yang telah berzina dengan seorang pria yang telah menikah yaitu :
1.
pria tersebut terikat dengan
perkawinan dengan wanita lain;
2.
ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi
pria tersebut.
Kiranya
sudah cukup jelas bahwa karena pengetahuan yang disyaratkan terakhir itu tidak
akan pernah dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun hakim, maka dengan
sendirinya wanita yang telah menikah sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
tidak akan pernah dapat dinyatakan melanggar larangan Pasal 284 ayat (1) angka 2
huruf b KUHP. Atau dengan kata lain undang-undang pidana yang berlaku saat ini
tidak melarang dilakukannya perzinahan oleh wanita yang tidak menikah dengan
pria yang menikah jika pria tersebut tidak menundukkan diri pada Pasal 27 BW[19].
Selain
itu, permasalahan-permasalahan dari persetubuhan yang tidak merupakan tindak
pidana menurut KUHP, yaitu :
1. dua
orang yang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun
a. perbuatan
itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat;
b. wanita
itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan menikahi,
tetapi diingkari;
c. berakibat
hamilnya wanita itu dan lai-laki yang menghamilinya tidak bersedia menikahinya
atau ada halangan untuk nikah menurut undang-undang;
2. seorang
laki-laki telah bersuami menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan
perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut;
3. seorang melakukan hidup bersama dengan orang
lain sebagai suami isteri di luar perkawinan padahal perbuatan itu tercela dan
bertentangan atau mengganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat setempat[20].
F. Penutup
Dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pasal 284 KUHP ternyata
pengertian perzinahan yang diberikan oleh masyarakat tidaklah sama dengan
pengertian overspel. Overspel sebagai tindak pidana dalam KUHP jika
salah satu pelaku zina atau keduanya telah terikat tali perkawinan dan proses
peradilan pidana dapat diterapkan bagi tindak pidana perzinahan hanya jika
terdapat pengaduan dari istri atau suami pelaku zina. Ketentuan demikian
sangatlah tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan yang masih cukup kuat
dipegang masyarakat Indonesia. Jika benturan antara nilai-nilai kesusilaan
dengan hukum positif yang ada tetap dibiarkan terjadi, dikhawatirkan dapat
memunculkan persoalan baru dalam masyarakat seperti main hakim sendiri,
pembunuhan bayi hasil hubungan gelap atau kumpul kebo. Sekarang tinggal
bagaimana para pembentuk undang-undang mencermati persoalan ini.
---daftar pustaka dan footnote sengaja penulis sembunyikan---