Oleh:
Ahmad Bahiej*
Abstrak
Negara
Norwegia, Belanda, dan Indonesia
merupakan negara-negara yang menganut sistem dua jalur (double track system) dalam
pemberian sanksi bagi orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Sistem
dua jalur ini berarti negara dapat menjatuhkan sanksi yang bersifat pidana
(nestapa/penal) dan sanksi yang bersifat tindakan (measure). Pembandingan
dalam hal jenis pidana dan tindakan dalam keempat model ini didapatkan beberapa
titik perbedaan dalam beberapa hal, di antaranya dalam hal jenis sanksi, baik yang berupa sanksi pidana
maupun tindakan, berat sanksi, dan aturan pemidanaan masing-masing sanksi. Komparasi
ini perlu dilakukan untuk mendukung upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia di
masa depan. Hal-hal yang baik dalam hukum pidana negara lain dapat dijadikan
sebagai acuan untuk dapat atau tidaknya dimasukkan ke dalam RUU KUHP.
Kata kunci : pidana, tindakan, KUHP
Norweia, KUHP Belanda, KUHP Indonesia, RUU KUHP
A. Pendahuluan
Pidana
merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana selain tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Dalam penggunaan istilah bahasa Indonesia
sehari-hari, pembedaan istilah antara "pidana" dan
"hukuman" terletak pada sifat kekhususan dan keumuman kata yang
bersangkutan. Sebagai sebuah buku standar baku
penggunaan bahasa Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara kedua istilah tersebut dalam
sifat keumuman dan kekhususannya. Hukuman lebih bersifat umum dan pidana lebih
bersifat khusus. Pidana merupakan bagian dari hukuman.
Dalam
kamus tersebut disebutkan bahwa hukuman adalah siksa dan sebagainya yang
dikenakan terhadap orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya atau
keputusan yang dijatuhkan oleh hakim atau hasil atau akibat menghukum.[1]
Pidana diartikan hukuman kejahatan (tertentu [misal] pembunuhan, perampokan,
korupsi, dan sebagainya).[2]
Dengan demikian, berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, pidana merupakan bagian
dari hukuman.
Dalam
bahasa Belanda, pidana berasal dari kata straf yang dibedakan dengan
hukuman. Pidana merupakan istilah sempit yang berkaitan dengan hukum pidana,
sedangkan hukuman merupakan istilah umum yang dapat menunjuk pada sanksi dalam
lapangan hukum perdata, administrasi, disiplin, atau dalam hukum pidana
sendiri.[3]
Secara
umum sistem sanksi yang dicantumkan dalam KUHP di berbagai negara dikenal ada
dua macam sistem, yaitu sistem dua jalur (double
track system) dan sistem satu jalur (single
track system). Sistem dua jalur (double
track system) merupakan sistem sanksi yang mengenal adanya sanksi pidana (penal) dan tindakan (measure/maatregel) secara tersendiri.
Norwegia, Belanda, dan Indonesia
merupakan negara-negara yang menganut sistem dua jalur ini (double track system).
Namun
demikian terdapat perbedaan dan persamaan dari jenis pidana dan tindakan dari
beberapa negara tersebut di atas, walaupun keempat menganut sistem yang sama.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dilakukan kajian perbandingan jenis
pidana dan tindakan dalam KUHP Norwegia, Belanda,
Indonesia serta
RUU KUHP Indonesia.[4]
B. Uraian Singkat tentang KUHP Norwegia, Belanda
1. KUHP Norwegia
KUHP
Norwegia tahun 1902 yang mulai berlaku pada tahun 1905 dan telah mengalami
beberapa perubahan sampai tahun 1961, menurut Johannes Andenaes merupakan KUHP
paling modern di Eropa pada saat diundangkannya. Ia merupakan hasil pertama
ide-ide pembaharuan yang dikemukakan oleh Internationale
Kriminalistische Vereinigung (IKV) atau International
Association for Criminology, karena rancangan KUHP ini berasal dari suatu
panitia yang diketahui oleh Prof. Bernhard Getz yang merupakan anggota aktif
dari IKV.[5]
Menurut Marc Ancel, KUHP Norwegia ini merupakan hasil pengaruh dari gerakan social defence yang merupakan
perkembangan lebih lanjut dari aliran modern.[6]
Namun
bagaimanapun juga, KUHP Norwegia tidak menunjukkan sebagai program pembaharuan
radikal. Hal ini tidak seperti RUU KUHP Italia 1921 atau RUU KUHP Swedia 1957
yang mengesampingkan RUU-RUU hukuman tradisional, kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana. Salah satu ciri khas istimewa dari KUHP Norwegia ini
adalah dikombinasikannya ide-ide baru dengan RUU-RUU tradisional. Selain itu
juga didasarkan pada hasil perbandingan hukum pidana.[7]
Sistematika
KUHP Norwegia terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama merupakan Bagian Umum
yang berisi ruang lingkup berlakunya KUHP Norwegia, pidana dan tindakan koreksi
(penal and correctional measures),
pertahanan diri serta mempertahankan orang lain dan harta benda, mens rea dan pertanggungjawaban pidana.
Sedangkan bagian kedua memuat kejahatan (felonies)
dan bagian ketiga memuat pelanggaran (misdemeanors).
Jenis
pidana dan tindakan dalam KUHP Norwegia diatur dalam satu bab yaitu Bagian I
Bab II dengan judul Penal and
Correctional Measures (Pidana dan Tindakan Koreksi) Pasal 15 sampai dengan
Pasal 39. Hal demikian mirip dengan RUU KUHP yang mengatur pidana dan tindakan
dalam satu bab namun dalam bagian yang terpisah.
2. KUHP Belanda
KUHP
Belanda 1886 sebagai induk dan sumber utama dari KUHP Indonesia saat ini merupakan
kodifikasi hukum pidana yang mengalami beberapa kali perubahan. Sejarah
kodifikasi ini dimulai pada saat Napoleon Bonaparte dari Perancis menjajah
wilayah Netherland tahun 1795-1813. Pada tanggal 1 Februari 1808 diberlakukan sebuah
kitab hukum pidana di negara Belanda dengan nama Crimineel Wetboek voor het Koningrijk Holland
(Penal Code for the Kingdom
of Holland). KUHP ini
tidak berlaku lama karena tiga tahun kemudian, pada tanggal 1 Maret 1811,
Kerajaan Belanda menggabungkan diri dengan Kekaisaran Perancis. Mulai saat itu,
KUHP Perancis 1810 diberlakukan juga di negara Belanda. Namun setelah Belanda
memproklamirkan kemerdekaannya dari koloni Perancis tahun 1813, dimulailah
babak baru kodifikasi hukum pidana Belanda yang mandiri walaupun masih berkiblat
pada KUHP Perancis. Beberapa revisi dilakukan terhadap KUHP ini sampai tahun
1870.
Tahun
1827 RUU KUHP Belanda disusun dan didiskusikan di Parlemen. Namun RUU ini gagal
disetujui karena kemiripannya dengan KUHP Perancis dan KUHP Belanda 1809.
RUU
KUHP Belanda kedua diajukan pada tahun 1839 di mana peran akademisi universitas
di Belanda semakin besar, terutama setelah A. E. J. Modderman yang pada tahun
1863 menyusun disertasinya dengan judul De
Hervorming van onze Straftwetgeving (The Reform of Our Criminal Legislation).[8] Ide-idenya kemudian dituangkan ke dalam RUU KUHP
Belanda saat dia memimpin panitia pembentukan hukum pidana Belanda tahun 1870
sebagai cikal bakal KUHP Belanda 1886.
KUHP
Belanda yang berlaku sekarang, mulai diberlakukan pada bulan September 1886 dan
sempat mengalami beberapa perubahan secara tambal
sulam sampai tahun 1994. KUHP Belanda 1886 inilah yang dengan asas konkordansi
diberlakukan di Indonesia
pada waktu Indonesia
menjadi jajahan Belanda. Oleh karena itu tidak asing lagi banyak kemiripan
antara KUHP Belanda dan KUHP Indonesia jika keduanya dibandingkan.
C. Jenis Pidana
Menurut
KUHP Norwegia jenis pidana dan ketentuan-ketentuannya diatur dalam Pasal 15-38.
Pidana pokok (ordinary punishments) terdiri
dari:
1. pidana penjara (imprisonment)
2. pidana jailing
3. pidana denda (fine)
Dalam
keadaan tertentu, hak-hak seseorang dapat dihapuskan. Hak-hak yang dihapuskan
ini disebutkan dalam Pasal 29, yaitu:
1. Hak untuk menduduki jabatan publik yang mana
karena perbuatannya menyebabkan tidak mendapatkan keuntungan atau tidak
bernilai (loss of public office for which
the convict, because of the offence, has proved himself unfit or unworthy).
2. Hak untuk memegang jabatan atau ikut dalam
pekerjaan tertentu yang karena perbuatannya mengakibatkan tidak mendapatkan
keuntungan atau dia mungkin akan menyalahgunakannya yang memerlukan kepercayaan
publik tingkat tinggi selama lebih dari lima tahun atau selamanya (loss for a definite period of up to five
years, or forever, of the right to hold office or to pursue a certain
occupation for the convict, because of his offense, has proved to be unfit, or
which he might misuse, or for which a high degree of public confidence is
required).
Selanjutnya
dalam Pasal 15 disebutkan bahwa a person
may be sentenced to loss of rights in
addition to, or instead
of, other punishment (garis
bawah dari penulis). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pidana pencabutan hak ini dapat merupakan
pidana pokok, pidana tambahan atau sebagai pidana pengganti dari hukuman lain.
Selanjutnya KUHP Norwegia menentukan pula bahwa depreviation of rights may be substituted for other punishment where
the law specifies confinement for at least one year as punishment for analisa
act.
Pasal
16 KUHP Norwegia menyebutkan adanya pidana
pelengkap (supplementary
punishments ) yang dapat dikombinasikan dengan pidana-pidana yang tersebut
dalam Pasal 15, yaitu:
1. Pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 30 dan Pasal 31 (deprivation
of rights as stated in section 30 and 31). Hak-hak yang dapat dicabut itu
adalah hak untuk menjadi anggota angkatan bersenjata (the right to serve in the armed forces) dan hak suara pada
peblisit publik dan pemilihan umum (the
right to vote in public plebiscites and elections).
2. Pembuangan dari tempat tertentu (banishment from specified places).
3. Penyitaan barang-barang tertentu (confiscation of specific objects).
Menurut
KUHP Belanda, pidana diatur dalam Bab II Buku I Pasal 9-36. Pasal 9 menyebutkan
bahwa sanksi pidana terdiri atas pidana pokok (Pasal 9:1a) dan pidana tambahan
(Pasal 9:1b). Pidana pokok (principal
penalties) terdiri dari:
1. pidana
penjara (imprisonment)
2. pidana kurungan (detention)
3. Pidana kerja sosial (community
service)
4. pidana denda (fine)
Adapun
pidana tambahan (additional penalties) terdiri
dari:
1. pencabutan hak-hak tertentu (deprivation of specific rights)
2. penempatan pada lembaga pendidikan negara (committal to a State workhouse)
3. perampasan barang (forfeiture)
4. pengumuman putusan hakim (publication of the judgement)
Dalam
KUHP Norwegia yang terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Harald Schjoldager,
pidana pokok perampasan kemerdekaan dibedakan menjadi imprisonment dan jailing.
Imprisonment dipandang sebagai jenis pidana yang lebih berat daripada jailing, namun kedua diancamkan terhadap
tindak pidana kejahatan (felony) dan
pelanggaran (misdemeanor).
Perbedaannya terletak pada jumlah lamanya pidana. Untuk kejahatan dapat
dipidana dengan imprisonment lebih
dari tiga bulan atau jailing yang
lebih dari enam bulan kecuali ditentukan lain. Sedangkan untuk pelanggaran
tidak demikian. Di samping itu, terdapat perbedaan dalam pelaksanannya. Untuk
kejahatan yang dijatuhi imprisonment dapat
dikenakan “tutupan tersendiri” (solitary
confinement), sedangkan untuk jailing
tidak dapat diterapkan. Pasal 22 KUHP Norwegia juga menetapkan bahwa two days of jailing correspond to one day of
imprisonment.
KUHP
Belanda dan Indonesia hanya mengenal pidana penjara (imprisonment) dan tidak dikenal jailing, tetapi keduanya
mengenal kurungan (detention). Namun RUU
KUHP Indonesia tidak lagi mengenal pidana kurungan. Pidana pokok menurut RUU
KUHP Indonesia dalam Pasal 65 terdiri dari:
1. pidana penjara
2. pidana tutupan
3. pidana pengawasan
4. pidana denda
5. pidana kerja sosial
Pidana
penjara (imprisonment) menurut Pasal
17 KUHP Norwegia dapat ditetapkan untuk jangka waktu 21 hari sampai 15 tahun
dan untuk kasus tertentu (Pasal 62) dijatuhkan sampai 20 tahun. Ini berarti
minimum umum pidana penjara menurut KUHP Norwegia adalah 21 hari dan maksimum
umumnya 15 tahun, kecuali kasus tertentu yang mencapai 20 tahun (maksimum
khusus 20 tahun).
Pidana
penjara dalam KUHP Belanda diatur dalam Pasal 10 seumur hidup atau penjara
selama waktu tertentu. Minimum umum pidana penjara adalah satu hari dan
maksimum umumnya 15 tahun kecuali ditentukan lain yang mencapai 20 tahun
(maksimum khusus 20 tahun).
Hal
ini sama dengan RUU KUHP Indonesia yang menetapkan minimum umum pidana penjara
1 hari. Sedangkan maksimum umum dan maksimum khususnya sama, yaitu 15 tahun dan
20 tahun.
Pidana
mati dan pidana penjara seumur hidup tidak dikenal lagi dalam KUHP Norwegia.
Pidana mati terakhir di Norwegia adalah pada tahun 1876 saat adanya kasus pengkhianatan
terhadap negara. Namun demikian KUHP Militer Norwegia tetap mempertahankan
pidana mati bagi perbuatan-perbuatan pengkhianatan yang dilakukan selama perang
atau negara dalam keadaaan bahaya. Ini dapat juga diterapkan pada masyarakat
sipil.[9]
Adapun pidana penjara seumur hidup (life
imprisonment) dihapus dari KUHP Norwegia pada bulan Juni 1981.
Demikian
pula KUHP Belanda tidak lagi mengenal pidana mati. Awalnya, pidana mati ini
masih dikenal di negeri Belanda yang mengoper KUHP-nya dari Perancis. Namun
pada saat revisi pada tahun 1854, pidana mati dikurangi penggunaannya dan
akhirnya dengan undang-undang tanggal 17 September 1870 pidana mati dihapuskan
di negeri kincir angin tersebut, tetapi masih diberlakukan di negeri jajahannya
(Hindia Belanda).
Hal
ini berbeda dengan RUU KUHP Indonesia yang masih mempertahankan pidana mati dan
pidana penjara seumur hidup. Pidana mati menurut RUU KUHP merupakan pidana pokok
yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis
pidana lain (Pasal 66). Dipertahankannya pidana mati dan pidana penjara seumur
hidup dalam RUU KUHP ini adalah adanya pertimbangan perlindungan masyarakat yang
harus lebih diutamakan. Namun demikian, pidana mati bergeser manjadi pidana
yang bersifat eksepsional/khusus dengan didasarkan pemikiran bahwa dilihat dari
tujuan pemidanaan dan tujuan diadakannya/digunakannya hukum pidana, pidana mati
pada hakikatnya bukan sarana utama untuk mengatur dan memperbaiki masyarakat.[10]
Telah
disebutkan di awal bahwa jailing merupakan
pidana yang lebih ringan dari pada imprisonment
(pidana penjara). Menurut Section 22 KUHP
Norwegia jailing ditentukan minimum
umumnya yaitu 21 hari (sama dengan pidana penjara) dan maksimum umumnya 20
tahun. Selain itu jailing dapat
digabungkan dengan pidana penjara dengan syarat berdasarkan permohonan dari
terpidana atau setelah mendapatkan persetujuan darinya (Section 23) .
Pasal 27 KUHP Norwegia menyebutkan
:
When the convict is sentenced to a fine, consideration
shall be given not only to the offense he has commited, but also specifically
to his economic position and the amount he can afford to pay
(jika terpidana
dihukum denda, pertimbangan tidak hanya diberikan pada perbuatan yang telah
dilakukannya, tetapi secara khusus juga pada keadaan ekonominya dan besaran
denda yang dapat terpidana bayarkan).
Tampaknya
adanya ketentuan ini menarik perhatian Johannes Andenaes saat memberikan Introduction pada terjemahan KUHP
Norwegia ini. Andenaes menyatakan bahwa:
An
interesting feature of the code is that the provisions for fines never contain
maxima or minima. The provisions originally contained in the code (Section 27)
concerning such limitations were repealed in 1946, because such minima and
maxima for fines are regarded as contrary to the idea expressed in Section 27,
that the fine shall be proportional to the economic situation of the convict.
The sentence shall also stipulated a term of imprisonment which will be
enforced in case the fine is not paid (Section 28).[11]
Yang
menjadi perbedaan dengan RUU KUHP Indonesia adalah bahwa dalam RUU KUHP Indonesia
pidana denda diatur juga minimum umumnya, yaitu Rp. 15.000,00 dan maksimum
umumnya ditetapkan berdasarkan beberapa kategori yaitu:
1. Kategori I Rp. 1.500.000,00
2. Kategori II Rp. 7.500.000,00
3. Kategori III Rp. 30.000.000,00
4. Kategori IV Rp. 75.000.000,00
5. Kategori V Rp. 300.000.000,00
6. Kategori VI Rp. 3.000.000.000,00[12]
Persamaan
RUU KUHP dengan KUHP Norwegia adalah dicantumkannya ketentuan pidana denda yang
didasarkan pada kemampuan terpidana atau dengan kata lain memperhatikan keadaan
ekonominya. Pasal 81 RUU KUHP Indonesia menyebutkan:
a.
Dalam penjatuhan pidana, wajib dipertimbangkan kemampuan
terpidana.
b.
Dalam menilai kemampuan terpidana, wajib diperhatikan apa
yang dapat dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan
kemasyarakatannya.
c.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
tidak mengurangi kewajiban untuk tetap menerapkan minimum khusus pidana denda
yang ditetapkan untuk tindak pidana tertentu.
KUHP
Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda dan sampai sekarang masih
diberlakukan, tidak mengenal pidana denda dengan kategori sebagaimana dalam RUU
KUHP Indonesia. Minimum denda yang harus dibayarkan terpidana adalah 25 sen
(Pasal 30 KUHP). Namun demikian, KUHP Belanda sebagai sumber aslinya telah
berubah sama sekali pidana dendanya sejak tahun 1925 sampai tahun 1983. Pasal
23 KUHP Belanda yang mengatur pidana denda tersebut menentukan batas minimal
denda sebanyak 5 gulden dan mengenal enam kategori denda, (Pasal 23:4) yaitu:
a. Kategori
ke-1 : 500 gulden
b. Kategori
ke-2 : 5.000 gulden
c. Kategori
ke-3 : 10.000 gulden
d. Kategori
ke-4 : 25.000 gulden
e. Kategori
ke-5 : 100.000 gulden
f. Kategori
ke-6 : 1.000.000 gulden
Di
samping itu dalam Pasal 9 (2) KUHP Belanda ditetapkan bahwa where a penalty of imprisonment or a penalty
of detention, other than detention as substitute penalty, is imposed, the judge
may in addition impose a fine (apabila pidana penjara atau kurungan, bukan
kurungan pengganti, dijatuhkan, maka hakim dapat menambah lagi dengan
mengenakan pidana denda). Ketentuan demikian tidak ada dalam KUHP Indonesia.
Namun dalam RUU KUHP Indonesia telah diatur dalam Pasal 58 dan Pasal 59 tentang
alternatif pidana pengganti pidana penjara tunggal atau pidana denda tunggal.
Dengan
adanya Pasal 9 (2) ini maka terhadap delik yang diancam dengan pidana penjara
atau kuirungan secara tunggal, atau yang tidak mencantumkan pidana denda secara
alternatif, hakim tetap dapat menjatuhkan pidana denda. Maksimum denda yang
dapat dijatuhkan terhadap delik yang tidak mencantumkan pidana denda diatur
dalam Pasal 23:5, yaitu maksimum denda kategori ke-1 untuk delik pelanggaran
dan maksimum denda kategori ke-3 untuk kejahatan. Pasal 9 (2) ini mengandung
pedoman pemidanaan bagi hakim, namun formulasinya diintegrasikan dalam aturan
tentang pidana.
Selanjutnya
Pasal 9 (3) KUHP Belanda menyatakan bahwa in
case in which the law allows the imposition of analisa additional penalty, this
penalty may be imposed either separately or in conjunction with principal
penalties and in conjunction with ather additional penalties (dalam hal UU
membolehkan penjatuhan pidana tambahan, maka pidana tambahan ini dapat
dijatuhkan secara terpisah (sebagai pidana yang berdiri sendiri) atau
bersama-sama dengan pidana pokok, dan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana tambahan lainnya). Ketentuan ini pun tidak ada dalam KUHP maupun dalam RUU
KUHP.
Pasal
9 a KUHP Belanda mengatur tentang pengampunan oleh hakim (rechterlijkpardon). Hal ini tidak dikenal juga dalam KUHP Norwegia
dan KUHP Indonesia. Namun RUU KUHP Indonesia telah mengaturnya dalam Pasal 55
(2).
Hal
lain yang tidak diatur dalam KUHP Norwegia adalah pidana bersyarat. Pidana
bersyarat diatur dalam KUHP Belanda dan KUHP Indonesia. Dalam KUHP Belanda
diatur dalam Pasal 14a-k. Pidana bersyarat atau tidak dilaksanakannya pidana
dengan syarat dapat dijatuhkan dalam hal:
1. Where a penalty of not more than one year’s imprisonment or a
penalty of detention, other than detention as a substitute penalty, or a fine
is imposed, the judge may order that these penalties shal not be executed in
whole ao in part.
2. Where a penalty of not less than one year’s and not more than
three year’s imprisonment is imposed, the judge may order that part of the
penalty, being not more than one third, shall not be executed.
3. The judge may in addition arder that additional penalties imposed
shall not be executed in whole or in part.
Jika
ketentuan ini dibandingkan dengan KUHP Indonesia, maka sekilas terdapat
kesamaan. Namun ternyata point ke-2 di atas tidak ada dalam KUHP Indonesia. Di
samping itu dalam Pasal 14c:2 KUHP Belanda juga ditentukan syarat-syarat
khusus, yaitu :
1. Membayar seluruh atau sebagian kompensasi
dari kerusakan yang ditimbulkan.
2. Penempatan pada lembaga perawatan yang
waktunya tidak melebihi masa percobaan.
3. Menyetor sejumlah uang jaminan yang tidak
melebihi dari perbedaan antara maksimum denda yang diancamkan dan denda yang dijatuhkan.
4. Menyetor sejumlah uang yang ditetapkan hakim
ke dana kompensasi korban perlukaan akibat kejahatan (the criminal injuries compensation fund) taua untuk lembaga yang
bertujuan melindungi kepentingan korban tindak pidana. Jumlahnya tidak melebihi
denda maksimum untuk delik yang bersangkutan.
5. Syarat-syarat kusus lainnya.
Telah
disebutkan di awal bahwa pencabutan hak tertentu dicantumkan dalam KUHP
Norwegia sebagai jenis pidana pokok (ordinary
punishment) dan dicantumkan pula dalam pidana pelengkap (supplemtary punishment). Hak yang
dicabut sebagai pidana pokok berupa hak menduduki jabatan tertentu atau
memegang pakerjaan tertentu (section 29).
Sedangkan hak yang dicabut sebagai jenis pidana pelengkap adalah hak untuk
menjadi anggota angkatan bersenjata (the
right to serve in the armed forces) dan hak suara pada peblisit publik dan
pemilihan umum (the right to vote in
public plebiscites and elections).
Hal ini berbeda dengan RUU KUHP Indonesia yang mengenal
pidana pencabutan hak sebagai jenis pidana tambahan saja (Pasal 67). Hak-hak
yang dapat dicabut itu disebutkan dalam Pasal 91, yaitu :
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau
jabatan tertentu.
2. Hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republk Indonesia.
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus
atas penetapan pengadilan.
5. Hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu,
atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
6. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampu atas anaknya sendiri; dan/atau
7. Hak menjalankan profesi tertentu.
Dalam
KUHP Belanda terdapat pidana tambahan yang tidak ada dalam KUHP Indonesia
maupun KUHP Norwegia yaitu committal to a
state workhouse (penempatan pada lembaga pendidikan negara). Pidana
tambahan ini diatur dalam Pasal 32 yang menyatakan :
1. In case specified by law, the judge may order that the convicted
person be commited to a State workhouse for not less than three months and not
more than three years.
2. In the case of committal to a State workhouse, the provisions of
articles 13, 14, 15-17 and 22 are applicable, provided that periods of
committal to State work house are considered as being consecutive where they
are inteerupted by detention alone.
3. Where a custodial sentence has been imposed as the principal
penalty, the additional penalty shall commence on the day of the termination of
the principal penalty.
Ada
keistimewaan KUHP Norwegia lain adalah bahwa KUHP ini mengatur adanya
penangguhan hukuman (the suspended
sentence). Bahkan menurut Johannes Andenaes, Norwegia merupakan negara
pertama kali di Eropa yang menggunakan sistem penangguhan ini dan sekarang
menjadi salah satu karakter istimewa dalam praktek hukum pidana Norwegia.[13]
Penangguhan hukuman di Norwegia diatur secara khusus pada tahun 1894. Dalam
KUHP Norwegia, penangguhan hukuman diatur dalam Pasal 52-54. Dalam KUHP
Indonesia penangguhan hukuman ini tidak dikenal. Sedangkan menurut RUU KUHP
Indonesia, penangguhan ini telah dicantumkan khususnya mengenai pidana mati
(Pasal 88), yaitu ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan
pertimbangan :
1. Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak
terlalu besar.
2. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada
harapan untuk diperbaiki.
3. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak
pidana tidak terlalu penting.
4. Ada alasan yang meringankan.
D. Jenis Tindakan
Jenis
tindakan (measures) menurut KUHP
Norwegia diatur dalam Pasal 39-39b. Syarat ditetapkannya tindakan ini jika
seseorang melakukan tindak pidana dalam keadaan kegilaan (insanity), tidak sadar (unconsciousness),
tidak sadar yang disebabkan karena mabuk yang disengaja (voluntary intoxication),
kekurangsadaran yang bersifat temporal dan dilakukan oleh seseorang yang kurang
berkembang atau rusak kemampuan mentalnya secara permanen dan jika terdapat
bahaya karena pelaku akan mengulangi perbuatannya. Untuk itu demi tujuan
keamanan (purposes of safety) hakim
dapat :
1. menunjuk atau melarang pelaku pada tempat
tinggal tertentu (assign or forbid him a
certain place of residence).
2. menempatkannya di bawah pengawasan polisi
atau petugas percobaan yang ditunjuk secara khusus pada jarak waktu yang
terpola (place him under the supervision
of the police or the specially appointed probation afficer at designated
intervals).
3. melarang pelaku mengkonsumsi minuman
beralkohol (forbid to consume alcoholic
beverages).
4. menempatkan pelaku pada perawatan pribadi
yang dipercaya (place him in reliable
private care).
5. menempatkan pelaku pada rumah sakit mental,
sanatorium, rumah perawatan, atau lembaga pendidikan, di mana mungkin, sesuai
dengan ketentuan umum yang diumumkan Raja (place
him in a mental hospital, sanatorium, nursing home, or workhouse, where
possible, in accordance with general provision promulgated by the King).
Dalam
Section 39a disebutkan bahwa hakim
dapat menjatuhkan penahanan untuk pencegahan (preventive detention), yakni jika pelaku akan mengulangi tindak pidana–tindak pidana tertentu lagi
(residivis). Tindak pidana-tindak pidana itu disebutkan secara limitatif dalam
Pasal 39a. Namun demikian tindakan keamanan yang disebutkan dalam 39 bagi
pelaku abnormal maupun preventif
detention yang disebutkan dalam Pasal 39a tidak dipandang sebagai pidana.
Bab
khusus tentang tindakan dimasukkan ke dalam KUHP Belanda berdasar UU 22 Mei
1958, Staatblaad 296 dan diubah dengan UU 31 Maret 1983, S. 153. Pasal-pasalnya
ada yang mengalami perubahan sampai tahun 1994. Bab ini terdiri dari dua
bagian. Bab Pertama tentang Confiscation
and Deprivation of the Unlawfully Obtained Gains (Pasal 36a-f), dan Baba Kedua
tentang Committal to Psychiatric Hospital
and Placement on Analisa Entrustment Order (Pasal 37-38i).
Dalam
Bab Pertama disebutkan tiga jenis tindakan, yaitu:
1. Penyitaan barang-barang tertentu (confiscation of seized objects) (Pasal
36b).
2. Kewajiban membayar sejumlah uang kepada
negara untuk mencabut keuntungan yang diperoleh secara melawan hukum (Pasal
36e).
3. Kewajiban membayar sejumlah uang kepada
negara untuk kepentingan korban (Pasal 36f).
Dalam Bab Kedua disebutkan dua
jenis tindakan, yaitu:
1. Penempatan ke rumah sakit jiwa untuk orang
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana karena
cacat jiwa (mental defect) atau sakit
jiwa (mental desease) yang
membahayakan dirinya sendiri, orang lain atau keamanan umum (Pasal 37).
2. Penempatan terdakwa yang pada saat delik
dilakukan menderita cacat atau sakit jiwa, ke suatu lembaga berdasarkan surat Entrustment Order (Perintah
Mempercayakan) (Pasal 37a jo. 37d).
Adapun
tindakan yang diatur dalam KUHP Indonesia tercantum dalam Pasal 44 dan 45,
yaitu :
1. dimasukkan dalam rumah sakit jiwa
2. dikembalikan kepada orangtuanya
3. diserahkan kepada pemerintah
Tindakan-tindakan ini dikenakan
terhadap orang yang tidak atau kurang mampu bertanggung jawab.
Tampaknya
RUU KUHP Indonesia tidak mengenal preventif
detention sebagaimana yang disebutkan dalam KUHP Norwegia. Pasal 101 (1) RUU
menyebutkan:
(1) Setiap orang yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dikenakan tindakan
berupa:
a. perawatan di rumah sakit jiwa;
b. penyerahan kepada pemerintah;
c. penyerahan kepada keluarga.
Namun
demikian KUHP Norwegia, KUHP Belanda dan RUU KUHP Indonesia sama-sama
menganggap bahwa tindakan dapat diputuskan bersama dengan pidana. Section 39 (5) KUHP Norwegia menyatakan if security measures, as mentioned in No. 1
above, are imposed, the ministry may
decide to forgo all or part of the punishment to which a transgressor be
sentenced. Dalam Pasal 36b:3 dan 36f:3 KUHP Belanda juga disebutkan bahwa
tindakan-tindakan tersebut (penyitaan barang tertentu dan kewajiban membayar
sejumlah uang kepada negara untuk kepentingan korban-pen.) dapat dijatuhkan
bersama-sama dengan semua jenis pidana dan tindakan lainnya. Namun dalam RUU
KUHP Indonesia jenis tindakan yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
pokok diletakkan secara terpisah dan dikenakan bagi orang yang normal atau
dapat bertanggung jawab (Pasal 101 (2)). Tindakan-tindakan tersebut adalah :
a. pencabutan surat
izin mengemudi
b. perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
c. perbaikan akibat
tindak pidana
d. latihan kerja
e. rehabilitasi, dan
atau
f.
perawatan di lembaga.
Penutup
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis pidana dan tindakan dalam KUHP
Norwegia, Belanda, Indonesia, dan RUU KUHP Indonesia memiliki beberapa titik
persamaan. Persamaan ini adalah wajar karena keempat model menganut sistem yang
sama dalam penerapan sanksi pidana, yaitu double track system. Adapun
beberapa titik perbedaan dalam keempat model lebih dikarenakan adanya upaya
perbaikan sistematis di antara keempat model tersebut.
KUHP
Indonesia yang bersumber dari KUHP Belanda patut memperhatikan KUHP asing ini. Beberapa
perbaikan mungkin telah dilakukan dalam RUU KUHP Indonesia. Meski demikian, upaya
perbaikan dalam RUU KUHP tersebut masihlah layak untuk dilakukan terus menerus
mengingat perkembangan keilmuan hukum pidana di dunia serta perkembangan
kejahatan di masyarakat. Masa pembaharuan hukum pidana Indonesia harus
dijadikan pijakan untuk merombak hukum pidana Indonesia yang masih berbau
kolonial.
---daftar pustaka dan footnote sengaja penulis sembunyikan---
---