Rabu, 11 Juni 2008

Perbandingan Jenis Pidana dan Tindakan dalam KUHP Norwegia, Belanda, Indonesia, dan RUU KUHP Indonesia

Oleh: Ahmad Bahiej*

Abstrak

Negara Norwegia, Belanda, dan Indonesia merupakan negara-negara yang menganut sistem dua jalur (double track system) dalam pemberian sanksi bagi orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Sistem dua jalur ini berarti negara dapat menjatuhkan sanksi yang bersifat pidana (nestapa/penal) dan sanksi yang bersifat tindakan (measure). Pembandingan dalam hal jenis pidana dan tindakan dalam keempat model ini didapatkan beberapa titik perbedaan dalam beberapa hal, di antaranya dalam hal  jenis sanksi, baik yang berupa sanksi pidana maupun tindakan, berat sanksi, dan aturan pemidanaan masing-masing sanksi. Komparasi ini perlu dilakukan untuk mendukung upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia di masa depan. Hal-hal yang baik dalam hukum pidana negara lain dapat dijadikan sebagai acuan untuk dapat atau tidaknya dimasukkan ke dalam RUU KUHP.
Kata kunci  :    pidana, tindakan, KUHP Norweia, KUHP Belanda, KUHP Indonesia, RUU KUHP

A.   Pendahuluan

          Pidana merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana selain tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dalam penggunaan istilah bahasa Indonesia sehari-hari, pembedaan istilah antara "pidana" dan "hukuman" terletak pada sifat kekhususan dan keumuman kata yang bersangkutan. Sebagai sebuah buku standar baku penggunaan bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara kedua istilah tersebut dalam sifat keumuman dan kekhususannya. Hukuman lebih bersifat umum dan pidana lebih bersifat khusus. Pidana merupakan bagian dari hukuman.
          Dalam kamus tersebut disebutkan bahwa hukuman adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan terhadap orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya atau keputusan yang dijatuhkan oleh hakim atau hasil atau akibat menghukum.[1] Pidana diartikan hukuman kejahatan (tertentu [misal] pembunuhan, perampokan, korupsi, dan sebagainya).[2] Dengan demikian, berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, pidana merupakan bagian dari hukuman.
          Dalam bahasa Belanda, pidana berasal dari kata straf yang dibedakan dengan hukuman. Pidana merupakan istilah sempit yang berkaitan dengan hukum pidana, sedangkan hukuman merupakan istilah umum yang dapat menunjuk pada sanksi dalam lapangan hukum perdata, administrasi, disiplin, atau dalam hukum pidana sendiri.[3]
          Secara umum sistem sanksi yang dicantumkan dalam KUHP di berbagai negara dikenal ada dua macam sistem, yaitu sistem dua jalur (double track system) dan sistem satu jalur (single track system). Sistem dua jalur (double track system) merupakan sistem sanksi yang mengenal adanya sanksi pidana (penal) dan tindakan (measure/maatregel) secara tersendiri. Norwegia, Belanda, dan Indonesia merupakan negara-negara yang menganut sistem dua jalur ini (double track system).
          Namun demikian terdapat perbedaan dan persamaan dari jenis pidana dan tindakan dari beberapa negara tersebut di atas, walaupun keempat menganut sistem yang sama. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dilakukan kajian perbandingan jenis pidana dan tindakan dalam KUHP Norwegia, Belanda, Indonesia serta RUU KUHP Indonesia.[4]
B.   Uraian Singkat tentang KUHP Norwegia, Belanda
1.     KUHP Norwegia
          KUHP Norwegia tahun 1902 yang mulai berlaku pada tahun 1905 dan telah mengalami beberapa perubahan sampai tahun 1961, menurut Johannes Andenaes merupakan KUHP paling modern di Eropa pada saat diundangkannya. Ia merupakan hasil pertama ide-ide pembaharuan yang dikemukakan oleh Internationale Kriminalistische Vereinigung (IKV) atau International Association for Criminology, karena rancangan KUHP ini berasal dari suatu panitia yang diketahui oleh Prof. Bernhard Getz yang merupakan anggota aktif dari IKV.[5] Menurut Marc Ancel, KUHP Norwegia ini merupakan hasil pengaruh dari gerakan social defence yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern.[6]
          Namun bagaimanapun juga, KUHP Norwegia tidak menunjukkan sebagai program pembaharuan radikal. Hal ini tidak seperti RUU KUHP Italia 1921 atau RUU KUHP Swedia 1957 yang mengesampingkan RUU-RUU hukuman tradisional, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Salah satu ciri khas istimewa dari KUHP Norwegia ini adalah dikombinasikannya ide-ide baru dengan RUU-RUU tradisional. Selain itu juga didasarkan pada hasil perbandingan hukum pidana.[7]
          Sistematika KUHP Norwegia terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama merupakan Bagian Umum yang berisi ruang lingkup berlakunya KUHP Norwegia, pidana dan tindakan koreksi (penal and correctional measures), pertahanan diri serta mempertahankan orang lain dan harta benda, mens rea dan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan bagian kedua memuat kejahatan (felonies) dan bagian ketiga memuat pelanggaran (misdemeanors).
        Jenis pidana dan tindakan dalam KUHP Norwegia diatur dalam satu bab yaitu Bagian I Bab II dengan judul Penal and Correctional Measures (Pidana dan Tindakan Koreksi) Pasal 15 sampai dengan Pasal 39. Hal demikian mirip dengan RUU KUHP yang mengatur pidana dan tindakan dalam satu bab namun dalam bagian yang terpisah.
2.    KUHP Belanda
        KUHP Belanda 1886 sebagai induk dan sumber utama dari KUHP Indonesia saat ini merupakan kodifikasi hukum pidana yang mengalami beberapa kali perubahan. Sejarah kodifikasi ini dimulai pada saat Napoleon Bonaparte dari Perancis menjajah wilayah Netherland tahun 1795-1813. Pada tanggal 1 Februari 1808 diberlakukan sebuah kitab hukum pidana di negara Belanda dengan nama Crimineel Wetboek voor het Koningrijk Holland (Penal Code for the Kingdom of Holland). KUHP ini tidak berlaku lama karena tiga tahun kemudian, pada tanggal 1 Maret 1811, Kerajaan Belanda menggabungkan diri dengan Kekaisaran Perancis. Mulai saat itu, KUHP Perancis 1810 diberlakukan juga di negara Belanda. Namun setelah Belanda memproklamirkan kemerdekaannya dari koloni Perancis tahun 1813, dimulailah babak baru kodifikasi hukum pidana Belanda yang mandiri walaupun masih berkiblat pada KUHP Perancis. Beberapa revisi dilakukan terhadap KUHP ini sampai tahun 1870.
          Tahun 1827 RUU KUHP Belanda disusun dan didiskusikan di Parlemen. Namun RUU ini gagal disetujui karena kemiripannya dengan KUHP Perancis dan KUHP Belanda 1809.
          RUU KUHP Belanda kedua diajukan pada tahun 1839 di mana peran akademisi universitas di Belanda semakin besar, terutama setelah A. E. J. Modderman yang pada tahun 1863 menyusun disertasinya dengan judul De Hervorming van onze Straftwetgeving (The Reform of Our Criminal Legislation).[8] Ide-idenya kemudian dituangkan ke dalam RUU KUHP Belanda saat dia memimpin panitia pembentukan hukum pidana Belanda tahun 1870 sebagai cikal bakal KUHP Belanda 1886.
       KUHP Belanda yang berlaku sekarang, mulai diberlakukan pada bulan September 1886 dan sempat mengalami beberapa perubahan secara tambal sulam sampai tahun 1994. KUHP Belanda 1886 inilah yang dengan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia pada waktu Indonesia menjadi jajahan Belanda. Oleh karena itu tidak asing lagi banyak kemiripan antara KUHP Belanda dan KUHP Indonesia jika keduanya dibandingkan.

C. Jenis Pidana

          Menurut KUHP Norwegia jenis pidana dan ketentuan-ketentuannya diatur dalam Pasal 15-38. Pidana pokok (ordinary punishments) terdiri dari:
1.    pidana penjara (imprisonment)
2.    pidana jailing
3.    pidana denda (fine)
          Dalam keadaan tertentu, hak-hak seseorang dapat dihapuskan. Hak-hak yang dihapuskan ini disebutkan dalam Pasal 29, yaitu:
1.    Hak untuk menduduki jabatan publik yang mana karena perbuatannya menyebabkan tidak mendapatkan keuntungan atau tidak bernilai (loss of public office for which the convict, because of the offence, has proved himself unfit or unworthy).
2.    Hak untuk memegang jabatan atau ikut dalam pekerjaan tertentu yang karena perbuatannya mengakibatkan tidak mendapatkan keuntungan atau dia mungkin akan menyalahgunakannya yang memerlukan kepercayaan publik tingkat tinggi selama lebih dari lima tahun atau selamanya (loss for a definite period of up to five years, or forever, of the right to hold office or to pursue a certain occupation for the convict, because of his offense, has proved to be unfit, or which he might misuse, or for which a high degree of public confidence is required).
          Selanjutnya dalam Pasal 15 disebutkan bahwa a person may be sentenced to loss of rights in addition to, or instead of, other punishment (garis bawah dari penulis). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pidana pencabutan hak ini dapat merupakan pidana pokok, pidana tambahan atau sebagai pidana pengganti dari hukuman lain. Selanjutnya KUHP Norwegia menentukan pula bahwa depreviation of rights may be substituted for other punishment where the law specifies confinement for at least one year as punishment for analisa act.
          Pasal 16 KUHP Norwegia menyebutkan adanya pidana pelengkap (supplementary punishments ) yang dapat dikombinasikan dengan pidana-pidana yang tersebut dalam Pasal 15, yaitu:
1.    Pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 dan Pasal 31 (deprivation of rights as stated in section 30 and 31). Hak-hak yang dapat dicabut itu adalah hak untuk menjadi anggota angkatan bersenjata (the right to serve in the armed forces) dan hak suara pada peblisit publik dan pemilihan umum (the right to vote in public plebiscites and elections).
2.    Pembuangan dari tempat tertentu (banishment from specified places).
3.    Penyitaan barang-barang tertentu (confiscation of specific objects).
          Menurut KUHP Belanda, pidana diatur dalam Bab II Buku I Pasal 9-36. Pasal 9 menyebutkan bahwa sanksi pidana terdiri atas pidana pokok (Pasal 9:1a) dan pidana tambahan (Pasal 9:1b). Pidana pokok (principal penalties) terdiri dari:
1.    pidana penjara (imprisonment)
2.    pidana kurungan (detention)
3.    Pidana kerja sosial (community service)
4.    pidana denda (fine)
          Adapun pidana tambahan (additional penalties) terdiri dari:
1.    pencabutan hak-hak tertentu (deprivation of specific rights)
2.    penempatan pada lembaga pendidikan negara (committal to a State workhouse)
3.    perampasan barang (forfeiture)
4.    pengumuman putusan hakim (publication of the judgement)
          Dalam KUHP Norwegia yang terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Harald Schjoldager, pidana pokok perampasan kemerdekaan dibedakan menjadi imprisonment dan jailing. Imprisonment dipandang sebagai jenis pidana yang lebih berat daripada jailing, namun kedua diancamkan terhadap tindak pidana kejahatan (felony) dan pelanggaran (misdemeanor). Perbedaannya terletak pada jumlah lamanya pidana. Untuk kejahatan dapat dipidana dengan imprisonment lebih dari tiga bulan atau jailing yang lebih dari enam bulan kecuali ditentukan lain. Sedangkan untuk pelanggaran tidak demikian. Di samping itu, terdapat perbedaan dalam pelaksanannya. Untuk kejahatan yang dijatuhi imprisonment dapat dikenakan “tutupan tersendiri” (solitary confinement), sedangkan untuk jailing tidak dapat diterapkan. Pasal 22 KUHP Norwegia juga menetapkan bahwa two days of jailing correspond to one day of imprisonment.
          KUHP Belanda dan Indonesia hanya mengenal pidana penjara (imprisonment) dan tidak dikenal jailing, tetapi keduanya mengenal kurungan (detention). Namun RUU KUHP Indonesia tidak lagi mengenal pidana kurungan. Pidana pokok menurut RUU KUHP Indonesia dalam Pasal 65 terdiri dari:
1.    pidana penjara
2.    pidana tutupan
3.    pidana pengawasan
4.    pidana denda
5.    pidana kerja sosial
          Pidana penjara (imprisonment) menurut Pasal 17 KUHP Norwegia dapat ditetapkan untuk jangka waktu 21 hari sampai 15 tahun dan untuk kasus tertentu (Pasal 62) dijatuhkan sampai 20 tahun. Ini berarti minimum umum pidana penjara menurut KUHP Norwegia adalah 21 hari dan maksimum umumnya 15 tahun, kecuali kasus tertentu yang mencapai 20 tahun (maksimum khusus 20 tahun).
          Pidana penjara dalam KUHP Belanda diatur dalam Pasal 10 seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu. Minimum umum pidana penjara adalah satu hari dan maksimum umumnya 15 tahun kecuali ditentukan lain yang mencapai 20 tahun (maksimum khusus 20 tahun).
          Hal ini sama dengan RUU KUHP Indonesia yang menetapkan minimum umum pidana penjara 1 hari. Sedangkan maksimum umum dan maksimum khususnya sama, yaitu 15 tahun dan 20 tahun.
          Pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak dikenal lagi dalam KUHP Norwegia. Pidana mati terakhir di Norwegia adalah pada tahun 1876 saat adanya kasus pengkhianatan terhadap negara. Namun demikian KUHP Militer Norwegia tetap mempertahankan pidana mati bagi perbuatan-perbuatan pengkhianatan yang dilakukan selama perang atau negara dalam keadaaan bahaya. Ini dapat juga diterapkan pada masyarakat sipil.[9] Adapun pidana penjara seumur hidup (life imprisonment) dihapus dari KUHP Norwegia pada bulan Juni 1981.
          Demikian pula KUHP Belanda tidak lagi mengenal pidana mati. Awalnya, pidana mati ini masih dikenal di negeri Belanda yang mengoper KUHP-nya dari Perancis. Namun pada saat revisi pada tahun 1854, pidana mati dikurangi penggunaannya dan akhirnya dengan undang-undang tanggal 17 September 1870 pidana mati dihapuskan di negeri kincir angin tersebut, tetapi masih diberlakukan di negeri jajahannya (Hindia Belanda).
          Hal ini berbeda dengan RUU KUHP Indonesia yang masih mempertahankan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup. Pidana mati menurut RUU KUHP merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lain (Pasal 66). Dipertahankannya pidana mati dan pidana penjara seumur hidup dalam RUU KUHP ini adalah adanya pertimbangan perlindungan masyarakat yang harus lebih diutamakan. Namun demikian, pidana mati bergeser manjadi pidana yang bersifat eksepsional/khusus dengan didasarkan pemikiran bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakannya/digunakannya hukum pidana, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama untuk mengatur dan memperbaiki masyarakat.[10]
          Telah disebutkan di awal bahwa jailing merupakan pidana yang lebih ringan dari pada imprisonment (pidana penjara). Menurut Section 22 KUHP Norwegia jailing ditentukan minimum umumnya yaitu 21 hari (sama dengan pidana penjara) dan maksimum umumnya 20 tahun. Selain itu jailing dapat digabungkan dengan pidana penjara dengan syarat berdasarkan permohonan dari terpidana atau setelah mendapatkan persetujuan darinya (Section 23) .
Pasal 27 KUHP Norwegia menyebutkan :
When the convict is sentenced to a fine, consideration shall be given not only to the offense he has commited, but also specifically to his economic position and the amount he can afford to pay
(jika terpidana dihukum denda, pertimbangan tidak hanya diberikan pada perbuatan yang telah dilakukannya, tetapi secara khusus juga pada keadaan ekonominya dan besaran denda yang dapat terpidana bayarkan).
          Tampaknya adanya ketentuan ini menarik perhatian Johannes Andenaes saat memberikan Introduction pada terjemahan KUHP Norwegia ini. Andenaes menyatakan bahwa:
          An interesting feature of the code is that the provisions for fines never contain maxima or minima. The provisions originally contained in the code (Section 27) concerning such limitations were repealed in 1946, because such minima and maxima for fines are regarded as contrary to the idea expressed in Section 27, that the fine shall be proportional to the economic situation of the convict. The sentence shall also stipulated a term of imprisonment which will be enforced in case the fine is not paid (Section 28).[11]
          Yang menjadi perbedaan dengan RUU KUHP Indonesia adalah bahwa dalam RUU KUHP Indonesia pidana denda diatur juga minimum umumnya, yaitu Rp. 15.000,00 dan maksimum umumnya ditetapkan berdasarkan beberapa kategori yaitu:
1.    Kategori I Rp. 1.500.000,00
2.    Kategori II Rp. 7.500.000,00
3.    Kategori III Rp. 30.000.000,00
4.    Kategori IV Rp. 75.000.000,00
5.    Kategori V Rp. 300.000.000,00
6.    Kategori VI Rp. 3.000.000.000,00[12]
          Persamaan RUU KUHP dengan KUHP Norwegia adalah dicantumkannya ketentuan pidana denda yang didasarkan pada kemampuan terpidana atau dengan kata lain memperhatikan keadaan ekonominya. Pasal 81 RUU KUHP Indonesia menyebutkan:
a.         Dalam penjatuhan pidana, wajib dipertimbangkan kemampuan terpidana.
b.        Dalam menilai kemampuan terpidana, wajib diperhatikan apa yang dapat dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan kemasyarakatannya.
c.         Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tidak mengurangi kewajiban untuk tetap menerapkan minimum khusus pidana denda yang ditetapkan untuk tindak pidana tertentu.
          KUHP Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda dan sampai sekarang masih diberlakukan, tidak mengenal pidana denda dengan kategori sebagaimana dalam RUU KUHP Indonesia. Minimum denda yang harus dibayarkan terpidana adalah 25 sen (Pasal 30 KUHP). Namun demikian, KUHP Belanda sebagai sumber aslinya telah berubah sama sekali pidana dendanya sejak tahun 1925 sampai tahun 1983. Pasal 23 KUHP Belanda yang mengatur pidana denda tersebut menentukan batas minimal denda sebanyak 5 gulden dan mengenal enam kategori denda, (Pasal 23:4) yaitu:
a.    Kategori ke-1  : 500 gulden
b.    Kategori ke-2  : 5.000 gulden
c.    Kategori ke-3  : 10.000 gulden
d.    Kategori ke-4 : 25.000 gulden
e.    Kategori ke-5  : 100.000 gulden
f.     Kategori ke-6  : 1.000.000 gulden           
          Di samping itu dalam Pasal 9 (2) KUHP Belanda ditetapkan bahwa where a penalty of imprisonment or a penalty of detention, other than detention as substitute penalty, is imposed, the judge may in addition impose a fine (apabila pidana penjara atau kurungan, bukan kurungan pengganti, dijatuhkan, maka hakim dapat menambah lagi dengan mengenakan pidana denda). Ketentuan demikian tidak ada dalam KUHP Indonesia. Namun dalam RUU KUHP Indonesia telah diatur dalam Pasal 58 dan Pasal 59 tentang alternatif pidana pengganti pidana penjara tunggal atau pidana denda tunggal.
          Dengan adanya Pasal 9 (2) ini maka terhadap delik yang diancam dengan pidana penjara atau kuirungan secara tunggal, atau yang tidak mencantumkan pidana denda secara alternatif, hakim tetap dapat menjatuhkan pidana denda. Maksimum denda yang dapat dijatuhkan terhadap delik yang tidak mencantumkan pidana denda diatur dalam Pasal 23:5, yaitu maksimum denda kategori ke-1 untuk delik pelanggaran dan maksimum denda kategori ke-3 untuk kejahatan. Pasal 9 (2) ini mengandung pedoman pemidanaan bagi hakim, namun formulasinya diintegrasikan dalam aturan tentang pidana.
          Selanjutnya Pasal 9 (3) KUHP Belanda menyatakan bahwa in case in which the law allows the imposition of analisa additional penalty, this penalty may be imposed either separately or in conjunction with principal penalties and in conjunction with ather additional penalties (dalam hal UU membolehkan penjatuhan pidana tambahan, maka pidana tambahan ini dapat dijatuhkan secara terpisah (sebagai pidana yang berdiri sendiri) atau bersama-sama dengan pidana pokok, dan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lainnya). Ketentuan ini pun tidak ada dalam KUHP maupun dalam RUU KUHP.
    Pasal 9 a KUHP Belanda mengatur tentang pengampunan oleh hakim (rechterlijkpardon). Hal ini tidak dikenal juga dalam KUHP Norwegia dan KUHP Indonesia. Namun RUU KUHP Indonesia telah mengaturnya dalam Pasal 55 (2).
          Hal lain yang tidak diatur dalam KUHP Norwegia adalah pidana bersyarat. Pidana bersyarat diatur dalam KUHP Belanda dan KUHP Indonesia. Dalam KUHP Belanda diatur dalam Pasal 14a-k. Pidana bersyarat atau tidak dilaksanakannya pidana dengan syarat dapat dijatuhkan dalam hal:
1.    Where a penalty of not more than one year’s imprisonment or a penalty of detention, other than detention as a substitute penalty, or a fine is imposed, the judge may order that these penalties shal not be executed in whole ao in part.
2.    Where a penalty of not less than one year’s and not more than three year’s imprisonment is imposed, the judge may order that part of the penalty, being not more than one third, shall not be executed.
3.    The judge may in addition arder that additional penalties imposed shall not be executed in whole or in part.
          Jika ketentuan ini dibandingkan dengan KUHP Indonesia, maka sekilas terdapat kesamaan. Namun ternyata point ke-2 di atas tidak ada dalam KUHP Indonesia. Di samping itu dalam Pasal 14c:2 KUHP Belanda juga ditentukan syarat-syarat khusus, yaitu :
1.    Membayar seluruh atau sebagian kompensasi dari kerusakan yang ditimbulkan.
2.    Penempatan pada lembaga perawatan yang waktunya tidak melebihi masa percobaan.
3.    Menyetor sejumlah uang jaminan yang tidak melebihi dari perbedaan antara maksimum denda yang diancamkan dan denda yang dijatuhkan.
4.    Menyetor sejumlah uang yang ditetapkan hakim ke dana kompensasi korban perlukaan akibat kejahatan (the criminal injuries compensation fund) taua untuk lembaga yang bertujuan melindungi kepentingan korban tindak pidana. Jumlahnya tidak melebihi denda maksimum untuk delik yang bersangkutan.
5.    Syarat-syarat kusus lainnya.
          Telah disebutkan di awal bahwa pencabutan hak tertentu dicantumkan dalam KUHP Norwegia sebagai jenis pidana pokok (ordinary punishment) dan dicantumkan pula dalam pidana pelengkap (supplemtary punishment). Hak yang dicabut sebagai pidana pokok berupa hak menduduki jabatan tertentu atau memegang pakerjaan tertentu (section 29). Sedangkan hak yang dicabut sebagai jenis pidana pelengkap adalah hak untuk menjadi anggota angkatan bersenjata (the right to serve in the armed forces) dan hak suara pada peblisit publik dan pemilihan umum (the right to vote in public plebiscites and elections).
          Hal ini berbeda dengan RUU KUHP Indonesia yang mengenal pidana pencabutan hak sebagai jenis pidana tambahan saja (Pasal 67). Hak-hak yang dapat dicabut itu disebutkan dalam Pasal 91, yaitu :
1.    Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
2.  Hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republk Indonesia.
3.  Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.    Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan.
5.    Hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
6.  Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampu atas anaknya sendiri; dan/atau
7.    Hak menjalankan profesi tertentu.
        Dalam KUHP Belanda terdapat pidana tambahan yang tidak ada dalam KUHP Indonesia maupun KUHP Norwegia yaitu committal to a state workhouse (penempatan pada lembaga pendidikan negara). Pidana tambahan ini diatur dalam Pasal 32 yang menyatakan :
1.  In case specified by law, the judge may order that the convicted person be commited to a State workhouse for not less than three months and not more than three years.
2.  In the case of committal to a State workhouse, the provisions of articles 13, 14, 15-17 and 22 are applicable, provided that periods of committal to State work house are considered as being consecutive where they are inteerupted by detention alone.
3.  Where a custodial sentence has been imposed as the principal penalty, the additional penalty shall commence on the day of the termination of the principal penalty.
    Ada keistimewaan KUHP Norwegia lain adalah bahwa KUHP ini mengatur adanya penangguhan hukuman (the suspended sentence). Bahkan menurut Johannes Andenaes, Norwegia merupakan negara pertama kali di Eropa yang menggunakan sistem penangguhan ini dan sekarang menjadi salah satu karakter istimewa dalam praktek hukum pidana Norwegia.[13] Penangguhan hukuman di Norwegia diatur secara khusus pada tahun 1894. Dalam KUHP Norwegia, penangguhan hukuman diatur dalam Pasal 52-54. Dalam KUHP Indonesia penangguhan hukuman ini tidak dikenal. Sedangkan menurut RUU KUHP Indonesia, penangguhan ini telah dicantumkan khususnya mengenai pidana mati (Pasal 88), yaitu ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan pertimbangan :
1.    Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar.
2.    Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki.
3.    Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting.
4.    Ada alasan yang meringankan.

D. Jenis Tindakan

        Jenis tindakan (measures) menurut KUHP Norwegia diatur dalam Pasal 39-39b. Syarat ditetapkannya tindakan ini jika seseorang melakukan tindak pidana dalam keadaan kegilaan (insanity), tidak sadar (unconsciousness), tidak sadar yang disebabkan karena mabuk yang disengaja (voluntary intoxication), kekurangsadaran yang bersifat temporal dan dilakukan oleh seseorang yang kurang berkembang atau rusak kemampuan mentalnya secara permanen dan jika terdapat bahaya karena pelaku akan mengulangi perbuatannya. Untuk itu demi tujuan keamanan (purposes of safety) hakim dapat :
1.  menunjuk atau melarang pelaku pada tempat tinggal tertentu (assign or forbid him a certain place of residence).
2.  menempatkannya di bawah pengawasan polisi atau petugas percobaan yang ditunjuk secara khusus pada jarak waktu yang terpola (place him under the supervision of the police or the specially appointed probation afficer at designated intervals).
3. melarang pelaku mengkonsumsi minuman beralkohol (forbid to consume alcoholic beverages).
4.  menempatkan pelaku pada perawatan pribadi yang dipercaya (place him in reliable private care).
5. menempatkan pelaku pada rumah sakit mental, sanatorium, rumah perawatan, atau lembaga pendidikan, di mana mungkin, sesuai dengan ketentuan umum yang diumumkan Raja (place him in a mental hospital, sanatorium, nursing home, or workhouse, where possible, in accordance with general provision promulgated by the King).
      Dalam Section 39a disebutkan bahwa hakim dapat menjatuhkan penahanan untuk pencegahan (preventive detention), yakni jika pelaku akan mengulangi tindak pidana–tindak pidana tertentu lagi (residivis). Tindak pidana-tindak pidana itu disebutkan secara limitatif dalam Pasal 39a. Namun demikian tindakan keamanan yang disebutkan dalam 39 bagi pelaku abnormal maupun preventif detention yang disebutkan dalam Pasal 39a tidak dipandang sebagai pidana.
          Bab khusus tentang tindakan dimasukkan ke dalam KUHP Belanda berdasar UU 22 Mei 1958, Staatblaad 296 dan diubah dengan UU 31 Maret 1983, S. 153. Pasal-pasalnya ada yang mengalami perubahan sampai tahun 1994. Bab ini terdiri dari dua bagian. Bab Pertama tentang Confiscation and Deprivation of the Unlawfully Obtained Gains (Pasal 36a-f), dan Baba Kedua tentang Committal to Psychiatric Hospital and Placement on Analisa Entrustment Order (Pasal 37-38i).
          Dalam Bab Pertama disebutkan tiga jenis tindakan, yaitu:
1.    Penyitaan barang-barang tertentu (confiscation of seized objects) (Pasal 36b).
2.    Kewajiban membayar sejumlah uang kepada negara untuk mencabut keuntungan yang diperoleh secara melawan hukum (Pasal 36e).
3.    Kewajiban membayar sejumlah uang kepada negara untuk kepentingan korban (Pasal 36f).
Dalam Bab Kedua disebutkan dua jenis tindakan, yaitu:
1.    Penempatan ke rumah sakit jiwa untuk orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana karena cacat jiwa (mental defect) atau sakit jiwa (mental desease) yang membahayakan dirinya sendiri, orang lain atau keamanan umum (Pasal 37).
2.    Penempatan terdakwa yang pada saat delik dilakukan menderita cacat atau sakit jiwa, ke suatu lembaga berdasarkan surat Entrustment Order (Perintah Mempercayakan) (Pasal 37a jo. 37d).
          Adapun tindakan yang diatur dalam KUHP Indonesia tercantum dalam Pasal 44 dan 45, yaitu :
1.    dimasukkan dalam rumah sakit jiwa
2.    dikembalikan kepada orangtuanya
3.    diserahkan kepada pemerintah
Tindakan-tindakan ini dikenakan terhadap orang yang tidak atau kurang mampu bertanggung jawab.
       Tampaknya RUU KUHP Indonesia tidak mengenal preventif detention sebagaimana yang disebutkan dalam KUHP Norwegia. Pasal 101 (1) RUU menyebutkan:
(1)  Setiap orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dikenakan tindakan berupa:
a.    perawatan di rumah sakit jiwa;
b.    penyerahan kepada pemerintah;
c.    penyerahan kepada keluarga.
     Namun demikian KUHP Norwegia, KUHP Belanda dan RUU KUHP Indonesia sama-sama menganggap bahwa tindakan dapat diputuskan bersama dengan pidana. Section 39 (5) KUHP Norwegia menyatakan if security measures, as mentioned in No. 1 above, are imposed, the ministry may decide to forgo all or part of the punishment to which a transgressor be sentenced. Dalam Pasal 36b:3 dan 36f:3 KUHP Belanda juga disebutkan bahwa tindakan-tindakan tersebut (penyitaan barang tertentu dan kewajiban membayar sejumlah uang kepada negara untuk kepentingan korban-pen.) dapat dijatuhkan bersama-sama dengan semua jenis pidana dan tindakan lainnya. Namun dalam RUU KUHP Indonesia jenis tindakan yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok diletakkan secara terpisah dan dikenakan bagi orang yang normal atau dapat bertanggung jawab (Pasal 101 (2)). Tindakan-tindakan tersebut adalah :
a.      pencabutan surat izin mengemudi
b.      perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
c.      perbaikan akibat tindak pidana
d.      latihan kerja
e.      rehabilitasi, dan atau
f.       perawatan di lembaga.
Penutup
          Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis pidana dan tindakan dalam KUHP Norwegia, Belanda, Indonesia, dan RUU KUHP Indonesia memiliki beberapa titik persamaan. Persamaan ini adalah wajar karena keempat model menganut sistem yang sama dalam penerapan sanksi pidana, yaitu double track system. Adapun beberapa titik perbedaan dalam keempat model lebih dikarenakan adanya upaya perbaikan sistematis di antara keempat model tersebut.
          KUHP Indonesia yang bersumber dari KUHP Belanda patut memperhatikan KUHP asing ini. Beberapa perbaikan mungkin telah dilakukan dalam RUU KUHP Indonesia. Meski demikian, upaya perbaikan dalam RUU KUHP tersebut masihlah layak untuk dilakukan terus menerus mengingat perkembangan keilmuan hukum pidana di dunia serta perkembangan kejahatan di masyarakat. Masa pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dijadikan pijakan untuk merombak hukum pidana Indonesia yang masih berbau kolonial.



---daftar pustaka dan footnote sengaja penulis sembunyikan---

---


* Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 
[1] 
[2] 
[4]
[5] 
[7] 
[8] 
[9] 
[11] 
[13] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar