Rabu, 01 November 2006

Selamat Datang KUHP Baru Indonesia (Telaah atas RUU KUHP)

Oleh: Ahmad Bahiej

Abstrak
        Untuk keempatbelas kalinya sejak tahun 1964, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RUU KUHP) dibuat. Yang terakhir untuk saat ini, RUU KUHP tahun 2004 telah digulirkan di lembaga legislatif untuk dibahas. Rancangan ini menggantikan rancangan sebelumnya, yaitu RUU KUHP tahun 1999/2000. Sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Tim Perumusnya, Muladi, RUU KUHP tahun 2004 ini lebih maju beberapa langkah daripada rancangan sebelumnya. Ide-ide dasar seperti pemaafan korban, kategorisasi denda, dan alasan penghapus pidana yang tidak ada dalam rancangan sebelumnya dimasukkan dalam RUU KUHP tahun 2004 ini.
         Artikel ini menelaah RUU KUHP 2004 sekaligus mengkaji tentang ide-ide dasar yang melatarbelakangi prinsip-prinsipnya. Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan, analisisnya berangkat dari persoalan pokok dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana, pidana, serta pertanggungjawaban pidana. Sebagai tambahannya, akan diuraikan juga titik-titik perbedaannya dengan rancangan sebelumnya (RUU KUHP tahun 1999/2000) serta KUHP (WvS/Wetboek van Strafrecht).
Kata kunci    :  RUU KUHP 2004, pidana, tindak pidana, pertanggungjawaban pidana
A.   Pendahuluan
       Sejarah pembentukan RUU KUHP 2004 tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara total. Usaha ini baru dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.[1] Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan berlanjut terus sampai tahun 2004. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan hukum pidana secara universal/gobal/menyeluruh ini masih merupakan sebuah usaha yang belum disahkan menjadi sebuah perundang-undangan.
      Usaha pembaharuan hukum pidana secara menyeluruh ini dapat dianggap sebagai pelaksanaan atas amanat pendiri bangsa yang implisit terkandung dalam Pasal II Aturan Peralihan. Jika demikian adanya, maka implementasi cita-cita pendiri bangsa ini baru dapat dimulai setelah 19 tahun Indonesia merdeka. Dapat dimaklumi bahwa usaha menyusun KUHP baru dapat dimulai tahun 1964 ini karena selama kurun waktu 19 tahun (1945-1964), kondisi politik dan ketatanegaraan Indonesia yang belum stabil.
          Rancangan KUHP tahun 1964 ini kemudian diikuti dengan rancangan-rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan KUHP 1968, Rancangan KUHP 1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Rancangan KUHP 1979, Rancangan KUHP 1982/1983, Rancangan KUHP 1984/1985, Rancangan KUHP 1986/1987, Rancangan KUHP 1987/1988, Rancangan KUHP 1989/1990, Rancangan KUHP 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998, dan Rancangan KUHP 1999/2000. Sampai saat ini (tahun 2006) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan RUU KUHP tahun 2004 sebagai revisi RUU KUHP 1999/2000. Dengan demikian dapat dilihat bahwa para pakar hukum di Indonesia paling tidak telah membuat Rancangan KUHP sebanyak 13 kali (termasuk revisinya) selama 40 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2004).
        Sebagaimana konsep pendahulunya, RUU KUHP 2004 merupakan hasil kajian akademis dari tim pakar hukum. Pakar hukum yang tergabung dalam Tim Perumus RUU KUHP Tahun 2004 ini diketuai oleh Muladi, seorang guru besar hukum pidana dan mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang serta mantan Menteri Kehakiman pada masa pemerintahan Habibie. Tim Perumus ini dibawah koordinasi Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.[2]
B.   Deskripsi Umum RUU KUHP Tahun 2004 dan Perbandingannya dengan KUHP
      Ditinjau dari sistematikanya, RUU KUHP Tahun 2004 memiliki banyak perkembangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan KUHP. RUU KUHP Tahun 2004 ini hanya terdiri dari dua buku, yaitu Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum yang terdiri dari 6 bab dan 208 pasal (Pasal 1-208)[3] dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana yang terdiri dari 35 bab dan 519 pasal (Pasal 209-727).[4] Dengan demikian, RUU KUHP Tahun 2004 tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dalam KUHP (WvS) dan menggantikannya dengan istilah yang lebih umum yaitu tindak pidana.[5]
       Menelaah substansi RUU KUHP Tahun 2004 setidaknya bertitik tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu, RUU KUHP Tahun 2004 akan ditelaah berdasarkan tiga masalah pokok tersebut di atas.
1.     Tindak Pidana
a.    Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya perbuatan, pada pokoknya RUU KUHP Tahun 2004 berdasarkan pada sumber hukum tertulis sebagaimana yang dianut dalam KUHP (WvS). Hal ini dikenal dengan asas legalitas formal (RUU KUHP Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1)). Namun tidak seperti KUHP (WvS), RUU KUHP Tahun 2004 memperluas perumusannya secara materiel, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 (3) RUU KUHP Tahun 2004). Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel.[6] Dengan aturan itu jelaslah bahwa RUU KUHP Tahun 2004 memberikan tempat bagi hukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan yang menurut hukum positif Indonesia belum/tidak diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana.[7] Di samping itu, dapat jelaslah bahwa keadilan yang ingin diwujudkan RUU KUHP Tahun 2004 adalah keadilan masyarakat, bukan sekedar keadilan yang didasarkan pada perundang-undangan (legal justice). Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 12 RUU KUHP Tahun 2004 bahwa “dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.[8]
b.    Beberapa penyempurnaan juga dilakukan RUU KUHP Tahun 2004 terhadap rumusan asas legalitas, yaitu (1) RUU KUHP Tahun 2004 menggunakan redaksi “tiada seorang pun…kecuali perbuatan yang dilakukan…”. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa RUU KUHP Tahun 2004 bersikap pada pendekatan mono-dualistik dalam arti tetap memperhatikan segi obyektif dari aspek perbuatan seseorang dan segi sobyektif dari aspek orang/pelaku. Pendekatan ini dikenal dengan aliran hukum pidana yang Daad-dader Strafrecht.[9] (2) RUU KUHP Tahun 2004 menggunakan redaksi “…yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan” untuk memperjelas karena redaksi dalam KUHP yang berbunyi “…yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan…” dipandang belum menunjukkan bahwa perundang-undangan itu telah berlaku. (3) RUU KUHP Tahun 2004 mencantumkan juga redaksi “…perbuatan yang tidak dilakukan…” dengan dasar bahwa tindak pidana ada yang dilakukan dengan cara tidak melakukan (delik commisionis per ommisionen commisa). (4) RUU KUHP Tahun 2004 secara tegas menyatakan larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana.
c.    Sebagaimana telah disebutkan di atas, RUU KUHP Tahun 2004 tidak lagi membedakan kualifikasi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran, namun menyatukannya dengan istilah tindak pidana. Kebijakan untuk menghilangkan pembedaan kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu (1) pembedaan tindak pidana secara kualitatif berupa kejahatan (rechtdelict) dan pelanggaran (wetdelict) tidak dapat dipertahankan lagi,[10] (2) penggolongan dua jenis tindak pidana itu sesuai pada zaman Hindia Belanda memang relevan dengan kompetensi pengadilan waktu itu, yaitu pelanggaran diperiksa oleh Landgerecht (Pengadilan Kepolisian), dan kejahatan diperiksa oleh Landraad dan Raad van Justitie, dan (2) pandangan mutakhir mengenai afkoop (sukarela membayar maksimum pidana denda; Pasal 82 KUHP) sebagai alasan penuntutan tidak hanya berlaku bagi pelanggaran, namun juga termasuk kejahatan walaupun dengan pembatasan ancaman maksimum pidananya.[11]
d.    Di samping mengganti judul bab, RUU KUHP Tahun 2004 juga mengurangi beberapa bab tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) dalam KUHP seperti perkelahian tanding (Bab VI), dan pengulangan (recidive) dalam Bab XXXI, serta menambah bab baru yaitu Bab VI tentang Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Pengadilan, Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, Bab IX tentang Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia, dan Bab XXXI tentang Tindak Pidana Korupsi.
e.    Tindak pidana-tindak pidana yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2004 bersumber dari: (1) penyeleksian Buku II dan Buku III KUHP, (2) hasil pengintegrasian delik-delik di luar KUHP, (3) hasil kajian penelitian, seminar, dan lokakarya, baik nasional maupun internasional.[12] Adapun delik-delik baru dalam RUU KUHP Tahun 2004 yang tidak ada dalam KUHP (WvS) antara lain sebagai berikut:
  (1). Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara seperti penyebaran ajaran komunisme/marxisme[13], terorisme, dan sabotase terhadap negara/militer.
     (2).  Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum seperti santet, penyadapan, delik yang berhubungan dengan senjata api, amunisi atau peledak, dan penyiaran berita bohong.
    (3).  Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Pengadilan yang merupakan bab baru dan biasanya dikenal dengan istilah contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan), seperti kongkalikong penasehat hukum dengan lawan yang merugikan klien, menyerang integritas atau tidak memihak dari suatu proses sidang pengadilan, dan sebagainya.
   (4).  Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama seperti perusakan bangunan untuk ibadah, penghasutan untuk meniadakan kepercayaan untuk beragama, dan penghinaan terhadap Tuhan, Rasul, Kitab, dan ajarannya.
    (5).  Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Kesehatan, Barang, dan Lingkungan Hidup seperti pencemaran lingkungan.
     (6)   Tindak Pidana yang Melanggar Hak Asasi Manusia seperti genocide (pembunuhan massal), tindak pidana kemanusiaan, tindak pidana perang dan konflik bersenjata.
    (7).  Tindak Pidana Kesusilaan seperti menyebarkan/mempertunjukkan rekaman yang melanggar kesusilaan, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar nikah yang mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat, laki-laki yang menyetubuhi perempuan dengan persetujuannya tetapi karena tipu muslihat atau janji akan dinikahi, kumpul kebo, incest (persetubuhan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga), bergelandangan di jalan atau tempat umum dengan tujuan melacurkan diri serta perluasan perumusan delik perkosaan.[14]
   (8).  Tindak Pidana Penadahan, Penerbitan, dan Percetakan seperti pencucian uang (money laundering) atau pencucian uang hasil kejahatan khususnya narkotika, ekonomi, dan korupsi.
2.    Kesalahan atau Pertanggungjawaban Pidana
a.  Asas kesalahan (asas culpabilitas) dalam RUU KUHP Tahun 2004 disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 35 ayat (1) sebagaimana asas legalitas. Hal ini merupakan sikap RUU KUHP Tahun 2004 yang mendasarkan pada keseimbangan mono-dualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai “keadilan” harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai “kepastian”.[15]
b. Walaupun RUU KUHP Tahun 2004 berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang ketat (strict liability)[16] dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).[17] Hal ini disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2) dan (3). Pertanggungjawaban ketat dan pengganti ini tidak dikenal dalam KUHP.
c.  Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya, menurut RUU KUHP Tahun 2004 merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya (Pasal 40). Ini berbeda dengan doktrin kuno dalam hukum pidana, bahwa error facti non nocet, error iuris nocet (sesat mengenai keadannya tidak dipidana, sedangkan sesat mengenai hukumnya tetap dipidana). KUHP tidak menyebutkan kesesatan ini sebagai bagian pasalnya.
d. Mengenai alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana, RUU KUHP Tahun 2004 memisah secara tegas antara alasan pemaaf (Pasal 40-43) yang meliputi sesat, daya paksa, pembelaan terpaksa, dan perintah jabatan yang tidak sah, serta alasan pembenar (Pasal 30-33) yang meliputi melaksanakan undang-undang, melaksanakan perintah jabatan, keadaan darurat, dan pembelaan yang melampaui batas. Dalam KUHP hanya disebutkan beberapa hal yang dapat menghapuskan pidana, namun tidak mengklasifikasikannya dalam kategori alasan pemaaf dan pembenar. Istilah alasan pemaaf dan pembenar hanya dikenal dalam ilmu hukum pidana.
e.  RUU KUHP Tahun 2004 menegaskan mengenai pertanggungjawaban anak dalam Pasal 110, yaitu anak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika telah mencapai umur 12 tahun.[18] Selain itu, pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur 12-18 tahun yang melakukan tindak pidana. Hal ini berarti pertanggungjawaban pidana anak minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun.[19]
f.   RUU KUHP Tahun 2004 telah  mengenal pertanggunjawaban korporasi (Pasal 44).[20]
3.    Pidana dan Pemidanaan.
a.  RUU KUHP Tahun 2004 menyebutkan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 yaitu untuk (1) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; (2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; (3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan (4) membebaskan rasa bersalah pada terpidana, serta pedoman pemidanaan dalam Pasal 52 yang dapat dijadikan acuan bagi hakim dalam memberikan pidana. Pedoman pemidanaan itu adalah hakim harus memperhatikan (1) kesalahan pelaku tindak pidana; (2) motif dan tujuan melakukan tindak pidana; (3) sikap batin pelaku tindak pidana; (4) apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; (5) cara melakukan tindak pidana; (6) sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana; (7) riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana; (8) pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana; (9) pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; (10) pemaafan dari korban dan/atau keluarga; dan (11) pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Tujuan dan pedoman pemidanaan ini merupakan implementasi ide individualisasi pidana yang belum dikenal (belum dicantumkan) dalam KUHP.[21]
b.  Di samping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan, RUU KUHP Tahun 2004 KUHP juga memuat adanya ketentuan mengenai pedoman pengampunan hakim (rechtelijk pardon) dalam Pasal 52 ayat (2). Pedoman pengampunan hakim merupakan implementasi dari ide individualisasi pidana. Dengan dasar ini maka hakim masa mendatang diperbolehkan memaafkan orang yang nyata-nyata melakukan tindak pidana dengan alasan ringannya perbuatan, keadaan pribadi si pembuat dan keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Aturan pengampunan hakim tersebut tidak ada dalam KUHP.
c.  Sisi lain dari ide individualisasi pidana yang dituangkan dalam RUU KUHP Tahun 2004 adalah adanya ketentuan mengenai modifikasi/perubahan/ penyesuaian atau peninjauan kembali putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didasarkan pada adanya perubahan/perkembangan/perbaikan pada diri pelaku sendiri (Pasal 55 ayat (1)) dan karena adanya perubahan peraturan perundang-undangan (Pasal 2). Jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka RUU KUHP Tahun 2004 mengaturnya dalam tiga alternatif, yaitu (1) jika perubahan itu setelah perbuatan, maka dipakai perundang-undangan yang paling menguntungkan; (2) jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap perbuatan tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana, maka pelaksanaan pidana dihapuskan; atau (3) jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap perbuatan diancam dengan pidana yang lebih ringan maka pelaksanaan putusan disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut perundang-undangan yang baru. Dalam KUHP Pasal 1 ayat (2) hanya disebutkan bahwa “jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang menguntungkan bagi terdakwa”.
d.  Sistem pemidanaan yang dianut RUU KUHP Tahun 2004 adalah elastis (tidak kaku), yang intinya memberi keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi (pidana atau tindakan) yang sekiranya tepat untuk individu atau pelaku tindak pidana. Namun demikian, keleluasaan hakim tersebut tetap dalam dalam batas-batas kebebasan menurut undang-undang.[22]
e.   Dengan mendasarkan diri pada perlindungan masyarakat, RUU KUHP Tahun 2004 tetap mempertahankan jenis pidana mati dan penjara seumur hidup. Namun untuk jenis pidana mati, dalam RUU KUHP Tahun 2004 telah dikeluarkan dari jenis pidana pokok menjadi jenis pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 62).[23] Jenis pidana pengawasan dan kerja sosial juga termasuk jenis pidana pokok baru yang tidak ada dalam KUHP. Selain itu, jenis pidana tambahan juga ditambah dengan “pembayaran ganti kerugian” dan “pemenuhan kewajiban adat” (Pasal 64).[24]
f.  Di samping pidana (straf), RUU KUHP Tahun 2004 juga dilengkapi dengan tindakan (maatregel) bagi pelaku yang tidak dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan karena gangguan jiwa yaitu disebutkan dalam Pasal 98: (1) perawatan di rumah sakit jiwa; (2) penyerahan kepada pemerintah; dan (3) penyerahan kepada seseorang. Sedangkan tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok adalah (1) pencabutan surat izin mengemudi; (2) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; (3) perbaikan akibat tindak pidana; (4) latihan kerja; (5) rehabilitasi; dan (6) perawatan di lembaga.[25]
g. RUU KUHP Tahun 2004 membedakan antara pidana dan tindakan bagi anak yang disebutkan dalam Pasal 113 (pidana bagi anak) dan Pasal 126 (tindakan bagi anak). Jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak terdiri atas (1) pidana nominal (berupa pidana peringatan atau teguran keras); (2) pidana dengan syarat (berupa pidana pembinaan di luar lembaga, pidana kerja sosial, atau pidana pengawasan); (3) pidana denda; atau (4) pidana pembatasan kebebasan (berupa pidana pembinaan di dalam lembaga, pidana penjara, atau pidana tutupan). Sedangkan jenis pidana tambahan yang dapat diterapkan bagi anak adalah (1) perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan; (2) pembayaran ganti kerugian; atau (3) pemenuhan kewajiban adat. Adapun tindakan yang dapat diterapkan kepada anak adalah mirip dengan tindakan yang dapat dikenakan kepada orang dewasa, dengan perbedaan bahwa: (1) tindakan yang dikenakan bagi anak adalah tanpa menjatuhkan pidana; (2) tindakan yang dikenakan bagi anak ditambah dengan pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya, penyerahan kepada pemerintah, atau penyerahan kepada seseorang; dan (3) tindakan “latihan kerja” menggunakan redaksi keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta. Jadi latihan dengan makna yang lebih umum.[26]
h.  Menurut Pasal 86 RUU KUHP Tahun 2004, apabila pidana mati telah diputuskan hakim, maka dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun jika (1) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; (2) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; (3) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan (4) ada alasan yang meringankan. Selanjutnya, jika selama masa percobaan terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penundaan dan penggantian pidana mati ini tidak dikenal dalam KUHP maupun dalam undang-undang yang lain.
i.  Di samping mengenal minimum umum untuk pidana penjara (1 hari), dan maksimum umum (15 atau 20 tahun), dan maksimum khusus sebagaimana KUHP, RUU KUHP Tahun 2004 juga mengenal pola minimum khusus yang pada umumnya dikenakan terhadap tindak pidana yang dikategorikan sangat serius. Minimum khusus dalam RUU KUHP Tahun 2004 itu bervariasi antara 1-5 tahun penjara.[27] Minimum khusus demikian tidak dianut oleh KUHP.[28]
j.   Minimum umum untuk pidana denda dalam RUU KUHP Tahun 2004 adalah Rp. 15.000,- (Pasal 77 ayat (2)). Sedangkan maksimum khususnya terbagi dalam beberapa kategori yaitu kategori I sampai dengan kategori VI (Pasal 77 ayat (3))[29]. Dalam Rancangan Penjelasan RUU KUHP 2004 disebutkan bahwa ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu. Dasar pemikiran menggunakan kategori ini adalah bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif sering berubah nilainya karena perkembangan situasi. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian.[30] Maksimum umum pidana denda bagi korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya, dengan pengecualian jika dipidana penjara 7-15 tahun maka maksimumnya adalah denda kategori V dan minimum kategori IV, serta jika dipidana mati atau penjara seumur hidup maka dipidana maksimum denda kategori VI dan minimum IV.[31]
k.  RUU KUHP Tahun 2004 menambah beberapa alasan yang dapat memperingan pidana dalam Pasal 129 seperti percobaan tindak pidana, pembantuan terjadinya tindak pidana, penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil, pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara suka rela akibat tindak pidana yang dilakukan, tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang hebat, pelaku tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan, dan faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup di masyarakat.
l.  Aturan RUU KUHP Tahun 2004 tentang gugurnya kewenangan menuntut karena kedaluwarsa berbeda dengan aturan dalam KUHP, yaitu disebut dalam Pasal 146: (1) sesudah lampau waktu 1 tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan; (2) sesudah lampau 2 tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan denda atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun; (3) sesudah lampau waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun; (4) sesudah lampau waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun; dan (5) sesudah lampau waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.Jika tindak pidana dilakukan oleh anak yang belum berumur 18 tahun, tenggang waktu gugurnya kewenangan menuntut karena daluwarsa menjadi 1/3.[32]
m. Aturan RUU KUHP Tahun 2004 tentang gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana juga sedikit berbeda dengan KUHP. Dalam RUU KUHP Tahun 2004 hanya diatur bahwa kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 dari tenggang waktu kedaluwarsa tersebut (Pasal 152 ayat (1)). Namun untuk pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kedaluwarsa. Selain itu disebutkan juga secara tegas tentang grasi, amnesti, rehabilitasi, dan penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain sebagai alasan gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana. Jadi dalam RUU KUHP Tahun 2004 tidak dibedakan kedaluwarsa pelaksanaan pidana untuk pelanggaran dan percetakan sebagaimana dalam KUHP.[33] Hal ini wajar karena RUU KUHP Tahun 2004 tidak lagi mengenal penggolongan kejahatan dan pelanggaran.
       Tabel berikut menggambarkan perbandingan secara lurus antara sistematika KUHP dengan RUU KUHP Tahun 2004.
Tabel 1.
Perbandingan Sistematika KUHP dan RUU KUHP 2004
K U H P
RUU KUHP 2004
Buku Kesatu Aturan Umum
Buku Kesatu Ketentuan Umum
Bab
Isi/Materi
Bab
Isi/Materi
I
Batas-batas Berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan (Pasal 1-9)
I
Berlakunya Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1-10)
II
 Pidana (Pasal 10-43)
II
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 11-50)
III
Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana (Pasal 44-52a)
III
Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan (Pasal 51-141)
IV
Percobaan (Pasal 53-54)
IV
Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana (Pasal 142-153)
V
Penyertaan dalam Tindak Pidana (Pasal 55-62)
V
Pengertian Istilah (Pasal 154-207)
VI
Perbarengan Tindak Pidana (Pasal 63-71)
VI
Ketentuan Penutup (Pasal 208)
VII
Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan (Pasal 72-75)


VIII
Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana (Pasal 76-85)


IX
Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang (Pasal 86-101)



Aturan Penutup (Pasal 103)


Buku Kedua Kejahatan
Buku Kedua Tindak Pidana
I
Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Pasal 104-129)
I
Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara (Pasal 209-260)
II
Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 130-139)
II
Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 261-264)
III
Kejahatan-kejahatan terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara Sahabat serta Wakilnya (Pasal 139a-145)
III
Tindak terhadap Negara Sahabat, Kepala Negara Sahabat, dan Perwakilan Negara Sahabat (Pasal 265-274)
IV
Kejahatan terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan (Pasal 146-153)
IV
Tindak Pidana terhadap Kewajiban dan Hak Kenegaraan (Pasal 275-282)
V
Kejahatan terhadap Ketertiban Umum (Pasal 154-181)
V
Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum (Pasal 283-324)
VI
Perkelahian Tanding (Pasal 182-186)
VI
Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Pengadilan (Pasal 325-335)
VII
Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang (Pasal 187-206)
VII
Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama (Pasal 336-343)
VIII
Kejahatan terhadap Penguasa Umum (Pasal 207-241)
VIII
Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Kesehatan, Barang, dan Lingkungan Hidup (Pasal 344-389)
IX
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu (Pasal 242)
IX
Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (Pasal 390-399)
X
Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas (Pasal 244-252)
X
Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara (Pasal 400-431)
XI
Pemalsuan Materai dan Merk (Pasal 253-262)
XI
Tindak Pidana Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu (Pasal 432)
XII
Pemalsuan Surat (Pasal 263-276)
XII
Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas (Pasal 433-441)
XIII
Kejahatan terhadap Asal-usul dan Perkawinan (Pasal 277-280)
XIII
Tindak Pidana Pemalsuan Meterai, Segel, Cap Negara, dan Merek (Pasal 442-451)
XIV
Kejahatan terhadap Kesusilaan (Pasal 281-303 bis)
XIV
Tindak Pidana Pemalsuan Surat (Pasal 452-462)
XV
Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong (Pasal 304-309)
XV
Tindak Pidana terhadap Asasl-usul dan Perkawinan (Pasal 463-467)
XVI
Penghinaan (Pasal 310-321)
XVI
Tindak Pidana Kesusilaan (Pasal 468-505)
XVII
Membuka Rahasia (Pasal 322-323)
XVII
Tindak Pidana Menelantarkan Orang (Pasal 506-510)
XVIII
Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang (Pasal 324-337)
XVIII
Tindak Pidana Penghinaan (Pasal 511-521)
XIX
Kejahatan terhadap Nyawa (Pasal 338-350)
XIX
Tindak Pidana Pembocoran Rahasia (Pasal 522-525)
XX
Penganiayaan (Pasal 351-358)
XX
Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang (Pasal 526-552)
XXI
Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Pasal 359-361)
XXI
Tindak Pidana terhadap Nyawa (Pasal 553-562)
XXII
Pencurian (Pasal 362-367)
XXII
Tindak Pidana Penganiayaan (Pasal 363-572)
XXIII
Pemerasan dan Pengancaman (Pasal 368-371)
XXIII
Tindak Pidana yang Mengakibatkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Pasal 573-574)
XXIV
Penggelapan (Pasal 372-377)
XXIV
Tindak Pidana Pencurian (Pasal 575-581)
XXV
Perbuatan Curang (Pasal 378-395)
XXV
Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman (Pasal 582-585)
XXVI
Perbuatan Merugikan Pemihutang atau Orang yang Mempunyai Hak (Pasal 396-405)
XXVI
Tindak Pidana Penggelapan (Pasal 586-591)
XXVII
Menghancurkan atau Merusakkan Barang (Pasal 406-412)
XXVII
Tindak Pidana Perbuatan Curang (Pasal 592-617)
XXVIII
Kejahatan Jabatan (Pasal 413-437)
XXVIII
Tindak Pidana Merugikan Kreditor atau Orang yang Berhak (Pasal 618-627)
XXIX
Kejahatan Pelayaran (Pasal 438-479)
XXIX
Tindak Pidana Penghancuran atau Perusakan Barang (Pasal 628-636)
XXIXA
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Pasal 479a-479r)
XXX
Tindak Pidana Jabatan (Pasal 637-665)
XXX
Penadahan Penerbitan dan Percetakan (Pasal 480-485)
XXXI
Tindak Pidana Korupsi (Pasal 666-671)
XXXI
Aturan tentang Pengulangan Kejahatan yang Bersangkutan dengan Berbagai-bagai Bab (Pasal 486-488)
XXXII
Tindak Pidana Pelayaran (Pasal 672-709)
Buku Ketiga Pelanggaran
XXXIII
Tindak Pidana Penerbangan dan Tindak Pidana terhadap Sarana serta Prasarana Penerbangan (Pasal 710-715)
I
Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan (Pasal 489-502)
XXXIV
Tindak Pidana Pemudahan, Penerbitan, dan Percetakan (Pasal 716-725)
II
Pelanggaran Ketertiban Umum (Pasal 503-520)
XXXV
Ketentuan Penutup (Pasal 726-727)
III
Pelanggaran terhadap Penguasa Umum (Pasal 521-528)


IV
Pelanggaran Mengenai Asal-usul dan Perkawinan (Pasal 529-530)


V
Pelanggaran terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan (Pasal 531)


VI
Pelanggaran Kesusilaan (Pasal 532-547)


VII
Pelanggaran mengenai Tanah, Tanaman, dan Pekarangan (Pasal 548-551)


VIII
Pelanggaran Jabatan (Pasal 552-559)


IX
Pelanggaran Pelayaran (Pasal 560-569)




C.   Perbandingan RUU KUHP Tahun 2004 dengan RUU KUHP Tahun 1999-2000
      Pada prisipnya, tidak ada perbedaan yang fundamental antara RUU KUHP Tahun 1999-2000 dengan RUU KUHP Tahun 2004. RUU KUHP Tahun 2004 menyempurnakan RUU KUHP Tahun 1999-2000. Beberapa perubahan/penyempurnaan itu antara lain:
1.   Jumlah Pasal dan Bab. Pasal dalam RUU KUHP Tahun 1999-2000 berjumlah 455 pasal dan 39 bab, sedangkan dalam RUU KUHP 727 pasal dan 41 bab. Bab yang ditambah dalam RUU KUHP Tahun 2004 adalah Bab IX tentang Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia dan Bab XXVI tentang Tindak Pidana Korupsi.
2.   Penggeseran Kualifikasi Tindak Pidana. Tindak pidana terorisme yang dalam RUU KUHP Tahun 1999-2000 dimasukkan ke dalam kategori “Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Barang, dan Lingkungan Hidup“ digeser/diubah menjadi bagian dari “Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara“. Dalam RUU KUHP Tahun 1999-2000, beberapa tindak pidana terhadap hak asasi manusia dimasukkan ke dalam Buku Kedua Bab VIII tentang Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Barang, dan Lingkungan Hidup (Pasal 298-337) dan tindak pidana korupsi dimasukkan ke dalam Buku Kedua Bab Tindak Pidana Jabatan (Pasal 551-580). Namun dalam RUU KUHP Tahun 2004 dijadikan bab tersendiri.
3.   Dalam pedoman pemidanaan, RUU KUHP Tahun 2004 menambah satu alasan lagi yaitu “adanya pemaafan dari korban dan/atau keluarganya“.
4.    Kategori Denda. Kategori denda dalam RUU KUHP 1999-2000 dinaikkan nilainya dalam RUU KUHP Tahun 2004 menjadi sebagai berikut:
Kategori Denda dalam
RUU KUHP Tahun 1999/2000
Kategori Denda dalam
RUU KUHP Tahun 2004
kategori I    Rp. 150.000,
kategori II   Rp. 750.000,
kategori III  Rp. 3.000.000,
kategori IV  Rp. 7.500.000,
kategori V Rp. 30.000.000,
kategori V Rp. 300.000.000.
kategori I   Rp. 1.500.000
kategori II  Rp. 7.500.000
kategori III Rp. 30.000.000
kategori IV Rp. 75.000.000
kategori V Rp. 300.000.000
kategori VRp. 3.000.000.000

5.    Penambahan Hal-hal yang Dapat Memperingan Pidana. Dalam RUU KUHP Tahun 2004 dilakukan penambahan hal-hal yang dapat memperingan pidana, yaitu percobaan tindak pidana, pembantuan terjadinya tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang hebat, pelaku tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan, dan faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 129)
6.    Penyerahan untuk Pelaksanaan Pidana ke Negara Lain Sebagai Alasan Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana Dalam RUU KUHP Tahun 2004 disebutkan juga secara tegas tentang penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain sebagai alasan gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana.
D.   Penutup
          Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1.  Perkembangan prinsip-prinsip yang ada dalam RUU KUHP 2004 yang begitu signifikan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perkembangan RUU KUHP tersebut. Perbaikan sebanyak 14 kali sejak RUU KUHP dicanangkan pertama kali tahun 1964 menambah kematangan berpikir para konseptornya.
2.  Kemajuan-kemajuan yang dimiliki RUU KUHP tahun 2004 meliputi aspek pidana dan pemidanaan, tindak pidana, dan aspek pertanggungjawaban pidana.
3.  Kesan mengejar target waktu dalam pembuatan RUU KUHP tahun 2004 sangat kentara. Hal ini tampak pada beberapa titik kesalahan dalam ketentuan umum maupun dalam pasal deliknya. Untuk itu, kritik dan perbaikan selama dibahas dalam lembaga legislatif mutlak diperlukan, sehingga kesalahan itu tidak ada lagi setelah rancangan tersebut disahkan menjadi undang-undang.


[Penulis adalah Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]
demi menjaga keaslian tulisan, Daftar Pustaka dan sumber referensi artikel ini sengaja penulis sembunyikan



[2] RUU KUHP Tahun 2004 diserahkan kepada Departemen Hukum dan HAM pada pertengahan bulan Mei 2005. Dari Departemen Hukum dan HAM, RUU KUHP Tahun 2004 akan diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian diserahkan DPR untuk dilakukan pembahasan. Namun menurut Harkristuti Harkrisnowo, RUU KUHP sebaiknya dilakukan pembahasan lagi karena masih mengandung pasal-pasal sensitif, seperti tindak pidana pers, masuknya hukum Islam, hukum adat, dan pornografi.
[3] Sebenarnya terdapat dua pasal yang bunyinya sama dalam Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum, yaitu Pasal 37 dan 54. Oleh karena itu, jika salah satunya harus dihapuskan maka jumlah pasal dalam Bukum Kesatu adalah 207 pasal. Bunyi lengkap Pasal 37 dan 54 adalah seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana beredasarkan alasan penghapus pidana jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut.
[4] KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal, Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103), Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488), dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-569).
[5] Pada awalnya, terdapat dua istilah yang “bersaing” dalam kamus hukum Indonesia untuk menunjuk pada istilah Belanda strafbaar feit. Para pakar hukum pidana Indonesia tidak bersepakat dalam terjemahan kata strafbaar feit tersebut. Moelyatno dan Roeslan Saleh dan murid-muridnya menggunakan kata “perbuatan pidana”, R. Soesilo menggunakan kata “peristiwa pidana”, sedangkan Sudarto dan murid-muridnya menggunakan istilah “tindak pidana”. Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” ternyata lebih sering digunakan dalam perundang-undangan. Andi Zainal Abidin mengusulkan agar dalam RUU KUHP Tahun 2004 digunakan istilah “perbuatan kriminal” atau “delik” yang berasal dari istilah “criminal act” yang juga berlaku di sejumlah negara. 
[6] Untuk memberikan tempat yang luas pada hukum adat, Pasal 93 juga menentukan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dapat menjadi pidana pokok atau yang diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) ini.
[7] Aturan mengenai diberlakukannya asas legalitas materiel di Indonesia bukan merupakan hal yang baru, walaupun KUHP (WvS) hanya mengenal asas legalitas formal. Dalam UU Nomor 1/Drt./1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas materiel merupakan hal yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Sementara 1950 disebutkan bahwa “tiada sesorang dapat dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” Kata “hukum” di sini jelas mempunyai makna yang luas dari pada sekedar peraturan perundang-undangan.
[8] Bagi sebagian orang, masuknya “hukum yang hidup dalam masyarakat” dalam Pasal 1 ayat (3) memunculkan beberapa masalah, yaitu pertama Pasal 1 ayat (3) kontradiksi dengan larangan menggunakan analogi dalam Pasal 1 ayat (2), kedua dapat menimbulkan masalah karena tidak diatur bagaimana cara hakim menemukan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), ketiga, living law banyak yang tidak tertulis dan tidak menyebut unsur-unsur pidana secara terperinci, keempat akan mengkriminalisasikan perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam perundang-undangan, dan kelima ketidakpastian hukum. Schaffmeister, guru besar hukum pidana di Belanda menyebut Pasal 1 ayat (3) sebagai pasal “akrobatik”. Oleh karena itu Andi Hamzah mengusulkan agar RUU KUHP meniru ketentuan Pasal 80 KUHP RRC yang memungkinkan diatur dalam peraturan lokal asalkan mendapat persetujuan DPR. www.hukumonline.com 9 Mei 2005, 23 Agustus 2005, 17 April 2006 diakses tanggal 20 Mei 2006. Ada juga yang mengusulkan agar redaksi dalam Pasal 1 ayat (1) “dalam peraturan perundang-undangan…” diganti menjadi “dalam aturan hukum yang berlaku…”. 
[9] Semula dalam KUHP memakai redaksi “tiada suatu perbuatan…” yang lebih condong ke pandangan Daad Strafrect yaitu aliran hukum pidana yang menekankan pada aspek perbuatan seseorang.
[10] KUHP (WvS) membedakan antara kejahatan (rechtdelict) dalam Buku II dengan pelanggaran (wetdelict) dalam Buku III. Pembedaan ini dijelaskan dalam ilmu hukum pidana bahwa kejahatan secara kualitatif terkait dengan keadilan. Artinya, orang akan merasa tidak adil jika terjadi tindak pidana yang masuk dalam kualifikasi kejahatan, walaupun jika undang-undang tidak mengaturnya seperti pencurian, pembunuhan, dsb. Sedangkan pelanggaran tidak terkait dengan keadilan. Artinya, orang dianggap melanggar hukum karena memang undang-undang menganggapnya demikian. Pembedaan secara tajam antara kejahatan dan pelanggaran semacam ini tidak dapat dipertahankan lagi karena di samping batasnya yang tidak jelas, ada beberapa kejahatan dalam Buku II yang tidak terkait dengan keadilan, dan sebaliknya ada pelanggaran dalam Buku II yang justru terkait dengan keadilan.
[13] Pihak yang tidak setuju adanya larangan marxisme/komunisme, terutama YLBHI, berargumentasi bahwa setelah perang dingin komunisme bukan sesuatu hal yang ditakutkan lagi. Larangan itu tidak mengandung parameter yang jelas.
[14] Terdapat beberapa kritik dari aktivis perempuan dan pihak lain mengenai tindak pidana kesusilaan ini, yaitu (1) tidak masuknya marital rape (perkosaan dalam keluarga) sebagai tindak pidana dalam RUU KUHP, (2) para penyusun dianggap masih berpaham lama bahwa delik kesusilaan hanya berhubungan dengan sex related. Kekerasan terhadap perempuan seharusnya masuk dalam kekerasan terhadap orang, bukan dalam delik kesusilaan, (3) masih terfokus pada kekerasan fisik, sedangkan kekerasan ekonomi dan psikologis tidak tersentuh, (4) belum mencakup beragam bentuk perkosaan yang terjadi dalam masyarakat, (5) definisi pelecehan seksual dan pencabulan yang tidak jelas, (6) orientasi pengaturan pada hal yang tidak substansial dan terlalu mencampuri urusan pribadi/hubungan personal (7) meneguhkan relasi gender yang tidak setara karena kata akhir tidak diserahkan kepada perempuan sebagai penilik tubuh namun kepada tokoh “bapak” yaitu kepala adat, lurah dst yang dijabat oleh laki-laki, (8) bias kelas dalam karena “bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tukuan melacurkan diri” hanya menjerat pekerja seks, tidak pada germo atau pemakai jasa, (9) membatasi akses perempuan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya mengenai fasilitas yang menyangkut hak reproduksi, (10) “persetubuhan” hanya dimaknai penetrasi kelamin laki-laki kepada perempuan, seharusnya kontak seksual sekecil apapun, (11) ketidakseimbangan pidana bagi zina dan kumpul kebo, (12) keterkaitan pelapor dalam tindak pidana zina dan kumpul kebo. 
[15] Asas tiada pidana tanpa kesalahan (nulla poena sine culpa) merupakan asas yang sangat urgen dalam hukum pidana. Namun demikian, KUHP (WvS) tidak menyebutnya secara eksplisit asas ini. Pengetahuan tentang asas kesalahan dapat dipahami dalam ilmu hukum pidana (strafrecht lehre).
[16] Walaupun setiap tindak pidana disyaratkan adanya unsur kesalahan, namun dalam kasus-kasus tertentu si pembuat/pelaku tindak pidana sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Pertanggungjawaban ketat yang disebut juga dengan liability without fault (pertanggungjawaban tanpa kesalahan) ini telah lama diberlakukan di Inggris dan negara-negara penganut common law yang lain.
[17] Vicarious liability sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). 
[18] Dalam KUHP, anak di bawah umur bukan merupakan alasan penghapus pidana, namun hanya disebutkan sebagai alasan yang dapat meringankan pidana. Pasal 45 KUHP menyebutkan bahwa jika terdakwa belum umur 16 tahun maka hakim diberikan 3 alternatif, yaitu (1) memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan lagi ke orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa dijatuhi pidana apapun; (2) memerintahkan supaya anak tersebut diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun; dan (3) menjatuhkan pidana. Selanjutnya, Pasal 47 KUHP mengatur apabila hakim menjatuhkan pidana kepada anak, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. Namun jika perbuatan itu diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
[19] Sebagai pengganti aturan pertanggungjawaban pidana anak, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Menurut UU ini anak yang masih berumur 8 s.d. 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan, dan anak yang berumur 12 s.d. 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Sedangkan anak yang belum berumur 8 tahun dianggap belum mampu mempertanggungjawabakn perbuatannya. Dengan demikian, secara otomatis ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dalam KUHP tersebut dihapuskan dengan UU Peradilan Anak ini. Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).
[20] Pertanggungjawaban korporasi yang tidak dikenal dalam KUHP disebabkan adanya perkembangan dalam ilmu hukum pidana. Konsep dahulu berasumsi bahwa hanya manusia alamiah (naturlijkpersoon) yang mungkin dapat dikenai pemidanaan. Namun dalam perkembangannya, badan hukum (rechtpersoon) pun dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Istilah “korporasi” dipilih karena korporasi memiliki makna yang lebih luas daripada badan hukum (rechtpersoon). Korporasi meliputi juga perkumpulan yang belum berbadan hukum.
[21] Dirumuskannya pedoman pemidanaan dalam RUU KUHP Tahun 2004 bertolak dari pokok pemikiran bahwa (1) pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system). Dirumuskannya pidana aturan pemidanaan dalam undang-undang pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan. (2) Dilihat secara fungsional dan operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijaksanaan yang konkretisasinya sengaja dirancanakan melalaui tahap “formulasi” oleh pembuat undang-undang, tahap “aplikasi” oleh aparat yang berwenang dan tahap “eksekusi” atau aparat pelaksana pidana. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan. Dan (3) sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aparat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendali/kontrol” dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.
[22] Aturan mengenai elastisitas pemidanaan dalam RUU KUHP Tahun 2004 adalah (a) walaupun pada prinsipnya sanksi yang dapat dijatuhkan hanya pidana pokok yang diancamkan dalam perumusan delik yang bersangkutan (dalam Buku II RUU KUHP Tahun 2004), namun hakim dapat juga menjatuhkan jenis sanksi lainnya (pidana pokok/pidana tambahan/tindakan) yang tidak tercantum, sepanjang dimungkinkan menurut Buku I Ketentuan Umum RUU KUHP Tahun 2004. Sebagai contoh pidana yang diancamkan berupa pidana penjara, namun mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dan tindak pidana yang dilakukan terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim dapat menjatuhkan pidana tutupan (Lihat Pasal 73 RUU KUHP Tahun 2004). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana pengawasan, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya (Lihat Pasal 75 RUU KUHP Tahun 2004) dengan catatan bahwa tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Jika pidana penjara diancamkan secara tunggal, setelah memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan serta pedoman penjatuhan pidana penjara, maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda (Lihat Pasal 56 RUU KUHP Tahun 2004). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana kerja sosial jika ancaman pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 bulan atau denda tidak lebih dari kategori I (Pasal 83). (b) Hakim diperbolehkan memilih alternatif pidana lain, jika sanksi pidana diancamkan secara tunggal (Pasal 56 untuk pidana penjara tunggal, dan Pasal 57 untuk pidana denda tunggal). (c) Hakim dapat menjatuhkan pidana secara kumulatif, walaupun sanksi pidana diancamkan secara alternatif (Pasal 58 ayat (2)) dengan ketentuan tidak melebihi separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok tersebut. Dalam KUHP tidak dikenal adanya pola perumusan pemidanaan yang mengedepankan aspek elastisitas dalam pemidanaan ini. KUHP hanya mengenal sistem perumusan tunggal dan alternatif. 
[23] Dalam KUHP, pidana mati merupakan salah satu jenis pidana pokok. Pro dan kontra pidana mati menjadi bahan diskursus di dunia akhir dasawarsa ini karena dinilai melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia bahwa tak seorang pun di dunia ini yang berhak menghilangkan hak hidup orang lain. Selain itu, pidana mati dinilai tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan berupa pembinaan kepada pelaku kejahatan (treatment of offenders). Indonesia masih mempertahankan pidana mati dengan mendasarkan diri pada perlindungan masyarakat. Sebagai bentuk kompromi, pidana mati dikeluarkan dari pidana pokok menjadi bersifat khusus dan tidak diancamkan secara tunggal.
[24] Penambahan pidana tambahan berupa “pembayaran ganti kerugian” ini merupakan salah satu bentuk perhatian hukum pidana terhadap aspek korban, yaitu agar pelaku bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita korban. Sedangkan “pemenuhan kewajiban adat” dimaksudkan agar hukum pidana memberikan kesempatan/perlindungan bagi hukum pidana adat setempat untuk memberikan sanksi lain yang tidak ter-cover dalam KUHP.
[25] Tindakan dalam KUHP sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) hanya berupa “dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa”.
[26] Dalam Pasal 45 KUHP disebutkan bahwa jika terdakwa belum umur 16 tahun maka hakim diberikan 3 alternatif, yaitu (1) memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan lagi ke orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa dijatuhi pidana apapun, (2) memerintahkan supaya anak tersebut diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, atau (3) menjatuhkan pidana. Hal ini berarti KUHP telah mengenal pula pidana dan tindakan bagi anak. Selanjutnya, Pasal 47 mengatur apabila hakim menjatuhkan pidana kepada anak, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. Namun jika perbuatan itu diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun. Hakim pun hanya bisa memberikan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan yang lain tidak dapat diterapkan. Aturan ini diganti dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, bahwa pidana pokok bagi anak adalah pidana penjara (maksimal ½ dari pidana penjara orang dewasa), pidana kurungan (maksimal ½ dari pidana kurungan orang dewasa), pidana denda (maksimal ½ dari pidana denda orang dewasa), dan pidana pengawasan (3 bulan s.d. 2 tahun) (Pasal 23 ayat (2)). Pidana tambahan bagi anak adalah perampasan barang-barang tertentu dan pembayaran ganti rugi (Pasal 23 ayat (3)). Sedangkan tindakan bagi anak adalah (1) mengembalikan kepada orang tua, (2) menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau (3) menyerahkan keapda Departemen Sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).
[27] Pengaturan sistem pemidanaan pola minimum khusus ini didasarkan pada pertimbangan: (1) untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, (2) untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khusunya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, (3) apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analogi dipertimbangkan pula bahwa unutk minimum pidana pun dalam hal-hal ternetu pun dapat diperberat. Minimum khusus merupakan pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang merugikan, membahayakan, dan meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Lihat Rancangan Penjelasan RUU KUHP, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 2004), p. 2.
[29] Menurut Pasal 77 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2004, pidana denda kategori I paling banyak Rp. 1.500.000, kategori II Rp. 7.500.000, kategori III Rp. 30.000.000, kategori IV Rp. 75.000.000 (70.500.000?), kategori V 300.000.000 dan kategori V Rp. 3.000.000.000. Yang menjadi pertanyaan bagi peneliti di sini adalah kategori keempat yang ditulis dengan angka Rp. 75.000.000, namun ditulis dengan abjad tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah. Ketidaksinkronan seperti ini juga muncul dalam ancaman pidana Pasal 578 yang ditulis dengan angka Rp. 100.000., namun ditulis dengan abjad dua puluh lima ribu rupaih.
[30] Rancangan Penjelasan RUU KUHP, p. 4.
[31] Di samping tidak mengenal pidana denda dalam kategori-kategori, pidana denda dalam KUHP minimum umumnya adalah Rp. 3,75 (berdasarkan perubahan menurut UU Nomor 18 Prp 1960 yang mengalikan minimum umum pidana denda 25 sen). Untuk menimum khususnya, pidana denda untuk kejahatan (Buku II KUHP) adalah berkisar antara Rp. 900 sampai dengan Rp. 150.000, sedangkan pidana denda untuk pelanggaran (Buku III KUHP) berkisar antara Rp. 225 sampai dengan Rp. 75.000.
[32] Dalam KUHP Pasal 78, kadaluwarsa diatur dalam tenggang waktu: (a) untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun; (b) untuk kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun, daluwarsanya sesudah 6 tahun; (c) untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun, daluwarsanya 12 tahun; dan (d) untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, daluwarsanya sesudah 18 tahun.
[33] KUHP Pasal Pasal 84-85 diatur mengenai tenggang waktu daluwarsanya gugurnya kewenangan menjalankan pidana adalah: (a) semua pelanggaran daluwarsanya 2 tahun; (b) kejahatan percetakan daluwarsanya 5 tahun; (c) kejahatan lainnya daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan ditambah 1/3; dan (d) pidana mati tidak ada daluwarsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar