Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak
Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan pembunuhan dan penganiayaan. Allah mengatur secara khusus mengenai tindak pidana ini dalam al-Qur'an dengan beberapa hikmah yang terkandung, antara lain terjaminnya kehidupan ekonomi keluarga korban, menghilangkan budaya ketidakadilan yang dalam al-Qur'an dicotohkan dengan pembebasan budak, hubungan muslim dan non-muslim, dan adanya alternatif pemidanaan.
Kata kunci: qisas, diyat, fiqh, hikmah
A. Pendahuluan
Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at
Islam mengenai hukum pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang
berkaitan dengan pembunuhan dan penganiayaan. Qisas yang berasal dari bahasa
Arab al-qisās bermakna an yaf’ala bil-fā’il mi£la mā fa’ala[1]
yang berarti melakukan seperti apa yang telah dilakukan
pelakunya. Sedangkan diyat yang berasal dari bahasa Arab ad-diyat (singular)
atau diyāt (plural) adalah bentuk ma¡dar (bentuk jadian) dari wadā
yang berarti mā yu’ta in al-māl badala an-nafs al-qatīl (harta
yang diberikan sebagai ganti dari jiwa yang terbunuh). Bentuk asli dari ad-diyat
adalah al-wad³. Huruf
ta’ digunakan sebagai ganti dari huruf wau yang dibuang
sebagaimana dalam kata ‘iddat.[2]
Dalam beberapa segi, aturan mengenai qisas-diyat ini
mempunyai beberapa keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh aturan-aturan jarimah
lain, seperti dalam hudud maupun ta'zir. Keunikan-keunikan itu antara lain
adalah, pertama, posisi qisas-diyat dalam hukum pidana Islam. Dalam
literatur-literatur fiqh disebutkan bahwa aturan mengenai qisas-diyat ini tidak
termasuk ke dalam pembahasan mengenai hudud, namun berdiri sendiri sebagai
cabang dari jinayat (hukum pidana Islam).
Kedua, aturan-aturan mengenai qisas-diyat dalam
al-Qur’an lebih banyak dari pada aturan-aturan jarimah yang lain. Paling tidak
ada lima ayat
al-Qur’an yang membahas mengenai qisas-diyat ini.[3]
Ketiga, sanksi pidana bagi jarimah qisas-diyat lebih komprehensif dan
menyediakan berbagai macam alternatif pidana bagi pelakunya. Pidana dengan
berbagai alternatif ini tidak dikenal dalam bentuk jarimah-jarimah yang lain,
khususnya dalam jarimah hudud.
B. Potret Historis Pidana Qisas-Diyat Pra Islam
Sebelum datangnya Islam, sanksi pidana
pembunuhan dikenal dalam beberapa bentuk. Bagi kaum Yahudi diberlakukan pidana
qisas yang telah ditetapkan dalam kitab sucinya, Taurat. Sedangkan kaum Nasrani
hanya diberlakukan diyat. Namun pada masa Arab Jahiliyyah, berlaku hukum
pembalasan yang berdasar pada kebiasaan-kebiasaan mereka.[4]
Sebagai gambaran Bani Nazir yang memposisikan derajatnya lebih tinggi daripada
Bani Quraizah beranggapan bahwa jika ada anggota Bani Nazir yang membunuh salah
seorang anggota Bani Quraizah, maka tidak dibalas dengan pidana mati (qisas),
namun cukup dibayar dengan denda seratus wasaq kurma.[5]
Syari’at Nabi Musa mengenai
qisas tersebut dituangkan dalam Kitab Keluaran Pasal 21:
“Sesungguhnya barangsiapa memukul manusia dan
(mengakibatkan manusia itu) mati, maka ia harus dibunuh. Dan jika orang
laki-laki berlaku aniaya terhadap laki-laki lain sehingga ia membunuhnya secara
licik, maka engkau harus mengambil dari mazbah-ku agar orang itu
dibunuh. Barangsiapa memukul ayah dan ibunya, maka ia harus dihukum mati. Jika
terjadi penganiayaan, maka balaslah jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, gigi
dengan gigi, tangan dengan tangan, kaki- dengan kaki, luka dengan luka, relah
(dibalas) dengan rela”.[6]
Dalam syari’at Nabi Isa sebagian berpendapat bahwa hukuman
mati bagi pembunuh tidak ada dasarnya sama sekali. Mereka berargumen dengan
kitab kelima yang memuat sabda Nabi Isa:
“Janganlah engkau membalas kejahatan
dengan kejahatan, akan tetapi jika seseorang menempeleng pipi kananmu maka
berilah juga pipi kirimu. Dan (jika) ada orang yang memusuhimu dan mengambil
bajumu, maka berikanlah baju itu kepadanya. Dan (jika) ada orang yang
menghinamu satu mil, maka pergilah bersamanya sejauh dua mil”.[7]
Pendapat ini didukung oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Um
yang menyatakan bahwa bagi kaum Injil (Nasrani) diwajibkan memaafkan
pembunuh dan tidak membunuhnya.[8]
Sebagian yang lain berpendapat bahwa syari’at Nabi Isa mengenal adanya pidana
mati dengan berdasar pada apa yang telah diucapkan oleh Nabi Isa:
“Aku tidak datang untuk menghapuskan an-namūs (aturan
hukum yang telah ada sebelumnya), namun aku datang untuk menyempurnakannya”.[9]
Hal ini berarti syari’at Nabi Isa tidak menghapuskan
syari’at Nabi Musa dalam kitab Taurat yang diturunkan lebih dahulu, namun lebih
pada penyempurnaan. Pandangan demikian juga selaras dengan al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 50.
Adanya setting historis atas
ketentuan qisas bagi pelaku pembunuhan baik di masa Arab Jahiliyyah, maupun
ketentuan qisas bagi kaum Yahudi dan Nasrani dapat ditarik benang merah hubungan
antara syari’at Islam tentang qisas-diyat dengan pidana yang dikenal pada masa
pra-Islam. Dengan adanya ketentuan qisas-diyat dalam al-Qur’an, Allah
menghapuskan sistem pemidanaan Jahiliyyah yang tidak adil dalam tindak pidana
pembunuhan. Di samping itu, Allah juga menyempurnakan syari’at Islam sebagai
syari’at agama samawi terakhir dengan menetapkan berbagai macam
alternatif pemidanaan bagi pelaku pembunuhan sebagai bentuk keringanan dan
rahmat. Dzālika
takhfīfun min rabbikum wa rahmah.
C. Implikasi Ketentuan Qisas-Diyat dalam al-Qur’an
Semua fuqaha sepakat bahwa pembunuhan
merupakan hal yang haram dilakukan dan memiliki implikasi di dunia dan akhirat.
Di akhirat pelaku pembunuhan (sengaja) mendapatkan balasan sebagaimana disebutkan
dalam surat
an-Nisa ayat 93, yaitu dimasukkan dan disiksa ke dalam neraka Jahanam, dimurkai
serta dikutuk oleh Allah. Bahkan sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir,
membunuh seseorang dengan sengaja merupakan dosa besar yang dalam beberapa ayat
al-Qur'an disejajarkan dengan dosa syirik.[10]
Namun demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai dapat diterima atau
tidaknya taubat seseorang yang telah membunuh dengan sengaja.[11]
Sedangkan bentuk hukuman pembunuhan di
dunia adalah sebagaimana telah disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 178 dan 179, yaitu:
a. diberikan sanksi pidana qisas yang setara
kepada pelaku pembunuhan tersebut; atau
b. membayar diyat (ganti rugi) kepada keluarga
korban dengan syarat keluarga korban memberikan maaf kepada pelaku pembunuhan.
Surat an-Nisa ayat 92 menjelaskan tentang
pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya unsur kesengajaan. Sanksi pidana bagi
pembunuhan tidak sengaja adalah memerdekakan hamba sahaya (budak) yang beriman
sebagai kaffarah (penebus dosa) serta diwajibkan membayar diyat atau
ganti rugi kepada keluarga korban. Terdapat dua kategori sanksi pidana dalam
ayat pembunuhan tidak sengaja ini, yaitu:
a. jika korban adalah dari kaum mukmin, namun
bermusuhan dengan pelakunya, maka pidana hanya berupa kaffarah yaitu
memerdekakan hamba sahaya.
b. jika korban adalah orang kafir yang telah
ada perjanjian damai dengan kaum mukmin, dikenakan pidana ganda, yaitu membayar
diyat atau ganti rugi kepada keluarga korban serta memerdekakan hamba sahaya
yang mukmin sebagai kaffarah-nya.
Ditinjau dari segi ilmu u¡ul al-fiqh, kebanyakan aturan-aturan pidana dalam
al-Qur’an, termasuk di dalamnya aturan mengenai qisas dan diyat, masuk dalam
kategori lafdz yang
khafi, dzahir, dan nass. Lafaz khafi adalah
lafdz
yang maknanya terang
tapi tidak jelas cakupan kategori dan kriterianya, sementara lafdz dzahir adalah
lafaz yang maknanya segera dipahami tetapi pemahaman itu tidak sesuai dengan
konteks kalimat dan lafdz nass adalah
lafaz yang maknanya terang yang sesuai dengan konteks kalimat. Ketiga lafaz
tersebut masih mungkin untuk ditafsiri, ditakwil dan dapat menerima naskh.[12]
Dalam ushul
fiqh untuk memperjelas
dan menemukan makna yang tepat dari tiga jenis lafaz tersebut masih memerlukan
pentakwilan dan ijtihad.
Sebagai gambaran, lafdz “al-qatlā” dalam surat al-Baqarah ayat 178 merupakan
lafdz
dalam kategori khafi,
dalam arti bahwa maknanya terang yaitu “pembunuhan” namun belum jelas
mengenai cakupan kategori dan kriterianya. Misalnya kemudian muncul pertanyaan,
siapa yang membunuh? siapa yang dibunuh? Bagaimana cara membunuhnya?. Contoh
lain adalah pembayaran diyat. Al-Qur'an hanya menyebutkan kewajiban membayar
diyat jika si pembunuh dimaafkan atau jika terjadi pembunuhan yang tidak
disengaja. Berapa besar jumlah yang harus dibayarkan dan siapa yang
berkewajiban membayar tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur'an.
Oleh karena itu kemudian para fuqaha’ menetapkan
hukum Islam dengan dasar beberapa hadis Nabi yang menjelaskan lebih lanjut
mengenai ketentuan qisas-diyat dalam al-Qur’an, serta berusaha melakukan
ijtihad apabila jawaban dari persoalan yang ditanyakan tidak ditemukan dalam
al-Qur’an dan hadis. Namun yang muncul kemudian adalah adanya perbedaan
penafsiran karena masing-masing fuqaha' (baca: mazhab atau aliran dalam
hukum Islam) memiliki pandangan dan dasar sendiri.
Apabila keluarga korban atau wali
terbunuh memberikan maaf kepada pelaku pembunuhan, maka si pelaku diwajibkan
membayar diyat dengan jumlah tertentu. Para fuqaha
berbeda pendapat mengenai jumlah diyat yang harus dibayarkan kepada
keluarga korban. Selengkapnya, jumlah diyat berdasarkan pembagian jenis
pembunuhan menurut ulama fiqh dapat dilihat dalam tabel berikut.[13]
Tabel 1. Jumlah Diyat Berdasarkan
Pembagian Jenis Pembunuhan
Menurut Beberapa Ulama Fiqh
Imam
|
Pembagian
Jenis Pembunuhan
dan Jumlah
Diyatnya
|
||
Malik
|
'Amd
|
Syibh al-'amd
(Mugaladzah)
|
Khata'
|
25 onta bintu makhadz
25 onta bintu labun
25 onta hiqqah
25 onta jadza'ah
|
30 onta hiqqah
30 onta jadza'ah
|
20 onta bintu makhadz
20 onta ibnu labun
20 onta bintu labun
20 onta hiqqah
20 onta jadza'ah
|
|
Total 100 onta
|
Total 60 onta
|
Total 100 onta
|
|
|
|
|
|
asy-Syafi'i
|
Mugaladzah
|
Mukhafafah
|
|
'Amd
|
Syibh al-'amd
|
Khata'
|
|
30 onta hiqqah
30 onta jadza'ah
40 onta khālifah
|
20 onta bintu makhadz
20 onta bintu labun
20 onta ibnu labun
20 onta hiqqah
20 onta jadza'ah
|
||
Total 100 onta
|
Total 100 onta
|
||
|
|
|
|
Hanafi
|
'Amd
|
Syibh al-'amd
(Mugaladzah)
|
Khata''
|
-
|
25 onta bintu makhadz
25 onta bintu labun
25 onta hiqqah
25 onta jadza'ah
|
20 onta ibnu makhadz
20 onta bintu makhadz
20 onta bintu labun
20 onta hiqqah
20 onta jadza'ah
|
|
-
|
Total 100 onta
|
Total 100 onta
|
Keterangan :
Ibnu Makhadz : onta jantan berumur satu tahun masuk dua
tahun.
Bintu Makhadz : onta
betina berumur satu tahun masuk dua tahun.
Ibnu Labun : onta jantan berumur dua tahun masuk tiga
tahun.
Bintu Labun : onta betina berumur dua tahun masuk tiga tahun
Hiqqah : onta yang berumur tiga tahun masuk empat tahun.
Jadza'ah : onta
yang berumur empat tahun masuk lima
tahun.
Khālifah : onta
yang sedang bunting.[14]
Menurut Imam Hanafi, jenis diyat hanya
ada dua macam yaitu diyat kesalahan dan diyat syibh al-'amd (menyerupai
kesengajaan). Diyat kesengajaan tidak ada karena untuk setiap pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja harus dilaksanakan qisas kecuali jika dimaafkan oleh keluarga
korban. Hal ini didasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Abbas
bahwa "bagi kesengajaan adalah qawad, dan tidak ada ganti rugi
padanya".[15]
Dalam menentukan diyat kesalahan, Imam Hanafi mendasarkan diri pada hadis at-Turmudzi
"Rasulullah menetapkan dalam hal diyat kesalahan adalah 20 bintu
makhadz,
20 ibnu makhadz, 20 bintu labun, 20 jadza'ah, dan 20 hiqqah".[16]
Hadis yang mempunyai sanad Ali bin Sa'id
al-Kindi al-Kufi, Ibnu Abi Zaidah, al-Hajjāj, Zaid bin Hubair, Hasyf bin Malik,
dari Abdullah bin Mas'ud ini merupakan hadis marfu'.
Namun demikian, pendapat Imam Hanafi ini berbeda
dengan perkataan Ali bin Abi Thalib mengenai diyat kesalahan yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud bahwa Ali berkata, "(Diyat) dalam (pembunuhan karena)
kesalahan adalah seperempatan, 25 hiqqah, 25 jadza'ah, 25 bintu
labun, 25 bintu makhadz." [17]
Hadis ini berasal dari Hannād, Abu al-Ahwash, Abi Ishaq, 'Ashim bin Dhamrah.
Perkataan sahabat Ali tersebut di atas juga berbeda dengan hadis riwayat
Abu Dawud yang lain, yaitu hadis yang bersanad dari Muhammad bin al-Mutsanna,
Muhammad bin Abdullah, Sa'id, Qatadah, Abdi Rabbih, Abi 'Iyadh dari Utsman bin
'Affan dan Zaid bin Tsabbit bahwa "(Diyat) dalam (pembunuhan karena)
kesalahan adalah 30 hiqqah, 30 bintu labun, 20 ibnu labun, 20
bintu makhadz."[18]
Adanya ketentuan dalam kedua hadis ini yang berbeda karena kedua-duanya berhenti kepada sahabat-sahabat Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit. Dalam ilmu hadis, berhentinya sanad hadis kepada sahabat Nabi disebut dengan hadis mauquf.
Disebabkan adanya perbedaan dalam dasar atau dalil diyat kesalahan ini, maka muncullah perbedaan di antara para fuqaha dalam menetapkannya. Jika dikembalikan kepada al-Qur'an, persoalan ini juga tidak selesai karena al-Qur'an tidak menyebutnya secara terperinci. Oleh karena itu, dipilihlah ketentuan-ketentuan yang lebih kuat, yaitu ketentuan sebagaimana yang dipegangi oleh ulama Hanafi. Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud adalah hadis yang marfu' yang tentunya lebih kuat daripada hadis yang mauquf.
Masalah jumlah diyat mugaladzah (berat) juga terdapat beberapa hadis yang
berbeda. Tabel berikut ini menggambarkan perbedaan-perbedaan tersebut.[19]
Tabel
2. Perbedaan Jumlah Diyat Mugaladzah dalam
Beberapa Riwayat
Perawi
|
Jumlah Diyat
|
Keterangan
|
Abu Dawud dari Utsman bin
Affan dan Zaid bin Tasbit
|
40 jadza'ah bunting
30 hiqqah
30 bintu labun
|
|
Abu Dawud dari Abdullah bin Umar,
Ibnu Majah
Asy-Syafi'I
|
100 onta, 40 di antaranya
bunting
|
Diyat khata' syibh
al-'amd
|
Abu Dawud dari Ashim bin
Dhamrah
|
33 hiqqah
33 jadza'ah
34 berumur 2 tahun penuh
1 khilfah
|
|
'Alaqamah dan al-Aswad dari
Abdillah
|
25 hiqqah
25 jadza'ah
25 bintu labun
25 bintu makha«
|
Syibh al-'amd
|
Mengenai ada atau tidaknya jenis diyat syibh al-'amd para fuqaha juga berbeda pendapat. Namun yang paling kuat adalah pendapat yang meniadakan adanya syibh al-'amd. Argumentasi yang digunakan dalam menolak adanya syibh al-'amd adalah sebagai berikut.
a. Banyak ulama-ulama hadis, seperti Abu Umar
bin Abd al-Bar, Ibnu Rusyd, menganggap bahwa hadis-hadis tentang syibh
al-'amd adalah hadis yang lemah karena bersifat mudztharib.[20] Sedangkan
Imam Malik menentang adanya syibh al-'amd dan menyatakan bahwa syibh
al-'amd adalah batil, kecuali dalam kasus pembunuhan ayah terhadap anaknya.
b. Dalam al-Qur'an, hanya diatur mengenai
pembunuhan yang sengaja (surat al-Baqarah 178)
dan pembunuhan yang tidak sengaja (surat
an-Nisa 92). Oleh karena itu, hadis tentang syibh al-'amd tidak dapat
dijadikan dalil atau hujjah dan batal secara hukum.
Argumentasi ini membawa
implikasi juga kepada jumlah diyat kesengajaan. Diyat kesengajaan yang
didasarkan dan disamakan dengan diyat syibh al-'amd sebagaimana dikemukakan
Imam asy-Syafi'i juga disangsikan kebenarannya. Hal ini dikarenakan hadis
tentang diyat syibh al-'amd diriwayatkan dari Amr bin Syu'aib ditolak
oleh beberapa ahli hadis, seperti Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu Hibban.[21]
Dengan demikian, hadis yang
dijadikan dalil dalam aturan mengenai diyat kesengajaan tinggal hadis yang
bersumber dari Ibnu Syihab sebagaimana yang dipegangi Imam Maliki dalam Muwatha'-nya
yaitu bahwa "Yahya telah menceritakan dari Malik, sesungguhnya Ibnu Syihab
berkata tentang diyat kesengajaan jika diterima (maafnya) adalah 25 bintu
makhadz, 25 bintu
labun, 25 hiqqah, dan 25 jadza'ah." [22]
Jika diperhatikan sanadnya, jelas
hadis ini hadis mursal atau terputus, yaitu tidak disebutkan nama
sahabat terakhir yang berhubungan dengan Rasulullah secara langsung. Dengan
demikian tidak terdapat hadis yang ¡ahih atau pun yang marfu' yang
menyatakan tentang diyat kesengajaan. Menurut Abu Tsaur dan Ibnu Rusyd sebagaimana
dikutip oleh Haliman[23],
karena ketiadaan hadis yang ¡ahih atau marfu'
tentang diyat kesengajaan ini berarti diyat kesengajaan disamakan dengan
diyat kesalahan.
Pembayaran diyat pada
dasarnya diberikan dalam bentuk hewan onta. Hal ini dikarenakan pada waktu itu
onta merupakan harta yang cukup berharga. Akan tetapi beberapa hadis
menunjukkan adanya kebolehan membayar diyat dalam bentuk uang. Imam asy-Syafi'i
dan Imam Malik menetapkan diyat bisa
digantikan dengan uang 12.000 dirham. Hadis Abu Dawud dari Ibnu Abbas menunjukkan
keterangan tersebut, yaitu "sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani 'Adi
dibunuh, maka Nabi menetapkan diyatnya 12.000".[24]
Pandangan ini berbeda dengan Imam Hanafi yang menetapkan diyat sebesar 10.000 dirham. Pandangan ini didasarkan pada hadis Abdullah bin Umar bahwa Nabi telah memutuskan mengenai diyat terbunuh dengan 10.000 dirham.[25]
Selanjutnya Imam asy-Syafi'i,
Imam Malik, dan Imam Hanafi mempunyai pendapat yang sama dalam hal pembayaran
diyat dapat diangsur selama tiga tahun.[26]
Malik dalam Muwatha' menyebutkan dasar hadisnya bahwa "Yahya
telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa dia (Malik) mendengar bahwa diyat
dipotong (dicicil) dalam tiga tahun atau empat tahun. Malik berkata, "Tiga
adalah (pendapat) yang lebih kusukai dalam masalah ini (cicilan)". [27]
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pertama, jumlah
diyat pembunuhan kesengajaan disamakan dengan diyat pembunuhan karena kesalahan
merupakan pendapat yang terkuat di antara pendapat yang lain. Kedua, diperbolehkan
bentuk diyat hewan (onta) digantikan dengan bentuk uang dan dilakukan dengan
cara angsuran. Jika jumlah diyat diambil dari pendapat Hanafi yang berjumlah
100 onta dan digantikan uang, maka penentuannya didasarkan pada harga onta pada
masa itu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.[28]
D.
Rekonstruksi dan Reaktualisasi Hukum Islam tentang Qisas-Diyat
Sering kali terdapat anggapan
bahwa hukum Islam identik dengan syari'at Islam. Di sini tidak ada pemisahan
antara hukum Islam (fiqh) yang merupakan hasil ijtihad para ulama dengan
syari'at Allah yang identik dengan wahyu. Hal ini berimbas pada adanya anggapan
bahwa hukum Islam (fiqh) bersifat absolut dan suci, yang tidak bisa
menerima perubahan dan pengembangan.[29]
Intelektual Islam sekaliber Muhammad Muslehuddin pun menganggap bahwa hukum
Islam adalah "sistem hukum buatan Tuhan".[30]
Pengaburan istilah antara hukum
Islam, syari'ah Islam, dan fiqh pada hakikatnya tidak ada masalah. Namun
pengaburan esensi dan posisi antara hukum Islam, yang identik dengan fiqh karena
merupakan hasil ijtihad manusia, dengan syari'ah yang identik dengan wahyu,
yang berada di luar jangkauan manusia, harus diletakkan pada posisi sebenarnya.[31]
Dengan demikian akhirnya disadari bahwa karena hukum Islam merupakan hasil
ijtihad fuqaha maka adalah wajar jika fuqaha dalam menetapkan
ijtihadnya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial dan politik.
Oleh karena itu, dalam melakukan
ijtihad mengenai qisas-diyat para fuqaha kadangkala, bahkan dapat
dikatakan sering, mempunyai hasil yang berbeda-beda, seperti yang telah
diungkapkan di awal. Satu ulama pun kadangkala mempunyai pandangan yang berbeda
karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik.[32]
Bagi masyarakat muslim,
perbedaan-perbedaan di antara para fuqaha itu bukan menjadi masalah yang
besar. Justru sebaliknya menunjukkan adanya kekayaan wacana hukum dalam Islam,
sehingga masyarakat muslim pada suatu tempat dan pada suatu waktu bebas memilih
antara pendapat-pendapat itu yang sesuai dengan kondisi sosialnya atau melakukan
rekonstruksi reaktualisasi sendiri dengan dasar nilai-nilai kebenaran Islam.
Terdapat beberapa persoalan
dalam hukum Islam tentang qisas-diyat yang telah dikemukakan para fuqaha.
Jika persoalan ini dicermati berdasarkan ukuran kondisi sosial dan politik negara-negara
modern dan pluralis, maka muncullah aturan-aturan hukum Islam yang bias. Persoalan-persoalan
itu antara lain diuraikan di bawah ini.
1.
Kedudukan Perempuan
Dalam memahami surat al-Baqarah ayat 178
bahwa "… perempuan (dibalas) dengan perempuan…" para fuqaha
berbeda pendapat. Al-Hasan, Atha, dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa berdasarkan
ayat ini seorang laki-laki tidak dipidana mati sebab membunuh perempuan.[33]
Pendapat ini jelas mengandung pengertian yang bias jika dilihat dengan kaca mata
keadilan gender. Dalam hal ini, perempuan "dihargai" separo dari
laki-laki.
Pendapat ini dibantah oleh jumhur
al-'ulama yang menyatakan bahwa dalam konteks pembunuhan perempuan oleh
laki-laki maka dasar hukum yang digunakan adalah surat al-Maidah ayat 45 " … jiwa
dibalas dengan jiwa…". Ayat ini menjelaskan "jiwa" secara umum,
artinya baik laki-laki maupun perempuan. Di samping itu jumhur al-'ulama berpegangan
juga pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwa "orang-orang
Islam darahnya sama".[34]
Bias gender demikian juga
muncul dalam masalah diyat. Berdasarkan hadis dari Mua'z, Kahalani dan Syaukani
menyebutkan bahwa Nabi menetapkan diyat perempuan adalah separuh dari diyat
laki-laki. Menurut Kahalani hadis ini ijma'. Asy-Syafi'i, Hadawiyah, dan
Hanafiyah mendasarkan dalil ini untuk menentapkan bahwa diyat penganiayaan
perempuan setengah diyat laki-laki.[35]
Adanya pertentangan dalam masalah
matan atau isi dan logika pada beberapa hadis tentang diyat perempuan yang
diriwayatkan oleh orang yang sama terdapat dalam kitab Muwata' Imam
Malik. Dalam bab 'aql al-mar'ah disebutkan hadis berikut.
و
حدثني يحيى عن مالك عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب أنه كان يقول تعاقل المرأة
الرجل إلى ثلث الدية إصبعها كإصبعه وسنها كسنه وموضحتها كموضحته ومنقلتها كمنقلته
و حدثني عن مالك عن ابن شهاب وبلغه عن عروة بن الزبير أنهما كانا يقولان مثل قول
سعيد بن المسيب في المرأة أنها تعاقل الرجل إلى ثلث دية الرجل فإذا بلغت ثلث دية
الرجل كانت إلى النصف من دية الرجل قال مالك وتفسير ذلك أنها تعاقله في الموضحة
والمنقلة وما دون المأمومة والجائفة وأشباههما مما يكون فيه ثلث الدية فصاعدا فإذا
بلغت ذلك كان عقلها في ذلك النصف من عقل الرجل[36] .
Sedangkan dalam bab ma jā'a fī 'aql al-ashābi' Imam Malik menyebutkan hadis Sa'id bin al-Musayyib yang lain sebagai berikut.
و
حدثني يحيى عن مالك عن ربيعة بن أبي عبد الرحمن أنه قال سألت سعيد بن المسيب كم في
إصبع المرأة فقال عشر من الإبل فقلت كم في إصبعين قال عشرون من الإبل فقلت كم في
ثلاث فقال ثلاثون من الإبل فقلت كم في أربع قال عشرون من الإبل فقلت حين عظم جرحها
واشتدت مصيبتها نقص عقلها فقال سعيد أعراقي أنت فقلت بل عالم متثبت أو جاهل متعلم
فقال سعيد هي السنة يا ابن أخي[37].
Berdasarkan hadis yang pertama, perempuan dapat menerima diyat 1/3 dari diyat laki-laki. Jika diyat tersebut melebihi 1/3 diyat laki-laki maka perempuan menerima 1/2 diyat laki-laki. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah jika diyat empat jari laki-laki adalah 100 ekor onta, maka diyat perempuan adalah 1/3-nya, yaitu 33 ekor onta.
Namun hal ini berbeda dengan matan
hadis kedua bahwa diyat empat jari perempuan adalah 20 ekor onta. Di samping
itu, dalam hadis kedua tersebut Sa'id bin al-Musayyib menetapkan diyat empat
jari perempuan lebih kecil daripada tiga jari perempuan. Ketika ditanyakan
tentang hal itu Sa'id bin al-Musayyab tidak menyebukan dasar hukumnya dan hanya
menyebutkan bahwa ini adalah sunnah.
Beberapa hadis yang berisi
tentang diyat perempuan di atas justru menimbulkan kekaburan persoalan walaupun
hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh satu orang perawi, yakni Malik dari
Sa'id bin al-Musayyib. Bahkan ditinjau dari logika, matan hadis ini terasa saling
bertentangan. Posisi atau kedudukan hadis-hadis itu pun mursal.
Oleh karena itu lebih tepat
kiranya dikembalikan kepada al-Qur'an. Ternyata ayat-ayat tentang qisas-diyat
dalam al-Qur'an sama sekali tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ayat-ayat
yang lain pun sama sekali tidak membedakan posisi perempuan terhadap laki-laki,
apalagi merendahkan "harga" wanita terhadap laki-laki. Bahkan secara
tegas disebutkan dalam surat
an-Nahl ayat 97 bahwa ganjaran tergantung pada perbuatan dan keimanannya, bukan
pada jenis kelaminnya.
"Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kedudukan jiwa dalam syari'at adalah sama, baik laki-laki dan
perempuan. Hal ini diakui oleh asy-Syafi'i dalam qaul jadīd-nya bahwa
qisas berlaku antara laki-laki dan perempuan, dan sebaliknya.[38]
Demikian pula disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud yang telah disebutkan di
muka bahwa al-muslimūn tatakāfa'u dimā'uhum.
2.
Kedudukan Non Muslim
Kedudukan non muslim
mendapatkan perhatian sendiri dari para fuqaha. Jumhur ulama, yakni
Imam Maliki, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Hanbali berpendapat bahwa seorang
muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir.[39]
Yang termasuk da;a, kategori orang kafir adalah orang-orang Yahudi, Nasrani,
Majusi, kafir dzimmi, mu'ahad,
dan mustakmin.[40]
Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat
bahwa seorang muslim yang membunuh orang kafir tetap dipidana mati. Demikian
pula sebaliknya. Argumentasi ulama-ulama Hanafiyyah adalah:[41]
1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 hanya mewajibkan
hukum bunuh bagi pembunuhan. Ketentuan ini bersifat umum, baik muslim maupun dzimmi. Sedangkan ayat "orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan
perempuan…" dimaksudkan untuk menghilangkan tindakan berlebihan
sebagaimana yang berlaku pada zaman Jahiliyyah.
2. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 45 bersifat umum
berkenaan dengan hukuman qisas umat terdahulu. Syari'at umat terdahulu juga
berlaku bagi umat Islam selama tidak ada ketentuan nas yang menghapusnya.
3. Firman Allah dalam surat al-Isra' ayat 33 bahwa "…barang
siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya…" ini pun juga bersifat umum untuk semua orang
yang terbunuh, baik muslim maupun dzimmi.
4. Hadis riwayat Baihaqi dari Abdurrahman bin
al-Bilmani bahwa Rasulullah pernah membunuh seorang muslim karena membunuh
kafir dzimmi, kemudian Rasulullah bersabda "aku menghormati orang yang
memenuhi tanggunganku".
5. Kesepakatan ulama yang mewajibkan hukum
potong tangan bagi muslim yang mencuri barang milik orang kafir dzimmi. Oleh
karena itu, persamaan ini berlaku juga bagi qisas. Kehormatan darah adalah
lebih besar daripada hartanya.
Adanya pendapat Imam Hanafi yang
berbeda dengan fuqaha demikian tentunya tidak terlepas dari setting sosiologis
tempat kediaman Imam Hanafi. Imam Hanafi tinggal di Kuffah Irak, yang notabene
adalah kota
besar dengan kehidupan keagamaan yang beragam (majemuk). Oleh karena itu, Imam
Hanafi lebih toleran dalam memandang hubungan Islam dengan non Islam. Sebagai
hasil ijtihadnya, beliau juga tidak memasukkan riddah (murtad) sebagai
tindak pidana hudud sebagaimana pendapat fuqaha lainnya.[42]
Aspek kedua yang membedakan
Imam Hanafi dengan imam-imam madzhab yang lain adalah sistem ijtihad. Ijtihad
Imam Hanafi didasarkan kepada al-Qur'an, Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, dan
'urf. Akan tetapi karena beliau menetapkan syarat yang sangat ketat bagi
diterimanya hadis maka dalam realitasnya perbandingan penggunaan volum dalil-dalil
itu adalah al-Qur'an, qiyas, ijma', hadis, istihsan dan terakhir 'urf. Imam
Hanafi lebih banyak/besar mempergunakan qiyas daripada hadis. Kemungkinan ini
juga tak lepas dari jarak kota Kuffah di Irak
yang jauh dari kota Madinah, sebagai kota sumber perawi dan ahli
hadis.
Sistem ijtihad yang dipakai
Imam Hanfi tersebut juga tidak terlepas dari peran gurunya. Guru beliau pada tingkat
pertama adalah Hammad bin Sulaiman. Hammad berguru pada Ibrahim an-Nakha'i.
Sedangkan an-Nakha'i adalah murid 'Alaqamah bin Qais an-Nakha'i. Ketiga-tiganya
adalah tokoh ahl ar-ra'yi pada masa tabi'in. 'Alaqamah merupakan murid
Abdullah bin Mas'ud, salah seorang tokoh ahl ar-ra'yi di kalangan
sahabat Nabi.[44]
Oleh karena itu wajarlah apabila Imam Hanafi memiliki kecenderungan memperbesar
qiyas sebagai bentuk ar-ra'yi (pendapat) daripada hadis.
Di negara-negara modern yang masyarakatnya
lebih plural/majemuk dan hubungan antara Islam dengan non Islam terjalin dengan
harmonis, sebagaimana di Indonesia,
ketentuan sebagaimana pendapat Imam Hanafi lebih dapat diterima. Oleh karena
itu, perlu kiranya dilakukan redefinisi mengenai kedudukan non muslim dalam
konsep hukum tata negara Islam dan hukum internasional Islam yang selama ini
telah dihasilkan oleh para fuqaha. Konsep fiqh klasik mengenai dar
al-¥arb dan dar
al-Islām pun perlu dikoreksi kembali agar sesuai dengan tata kehidupan
modern yang harmonis.[45]
Dalam masalah qisas-diyat
sendiri, al-Qur'an tidak secara tegas membedakan antara orang Islam dengan non
Islam. Aturan dalam al-Qur'an itu berbicara mengenai pembunuhan secara umum. Dalil
hadis riwayat Bukhari yang digunakan ber-¥ujjah adanya perbedaan antara muslim dan non
muslim sebagaimana disebutkan ash-Shabuni bersifat mauquf, yakni
berhenti pada sahabat Ali bin Abi Thalib.
"Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin al-Fadhl, telah menceritakan kepadaku Ibnu 'Uyainah, telah menceritakan kepadaku Mutharrif, ia berkata, "Saya mendengar asy-Sya'bi berkata, "Saya mendengar Abu Juhaifah berkata, "Saya bertanya kepada Ali ra«iyallāhu 'anhu, "Apakah dalam dirimu ada sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an?". Abu Juhaifah berkata dalam kesempatan lain, "Apa yang tak ada pada manusia?". Ali menjawab, "Demi Dzat yang menciptakan biji, ruh, dan jiwa, tidak ada dalam diriku kecuali apa yang ada dalam al-Qur'an, kecuali Allah memberikan kefahaman kepada hamba-Nya tentang kitab-Nya dan apa yang ada dalam ¡ahīfah." Saya (Abu Juhaifah) bertanya, "Apa yang ada dalam ¡ahīfah?". Ali menjawab, "Pembayaran denda, pembebasan tawanan, dan seorang muslim tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir."
Sangat jelas bahwa hadis ini berisi
pembicaraan Abu Juhaifah dengan Ali bin Abi Thalib, bukan sabda Nabi sendiri. Hadis
yang menyebutkan bahwa "seorang muslim tidak akan dibunuh karena
(membunuh) orang kafir" sebagai sabda Nabi secara langsung adalah hadis
yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, Ahmad, dan Ibnu Majah. Sanad hadis tersebut
adalah sebagai berikut.
Tabel
3. Perawi dan Sanad Hadis Lā yuqtalu muslim bikāfir
Perawi
|
Sanad
|
At-Turmudzi
|
Isa bin Ahmad
Ibnu Wahb
Usamah bin Zaid
Amr bin Syua'ib
Syu'aib bin Muhammad
Abdullah bin Amr bin al-Ashi
|
Ibnu Majah
|
Hisyam bin Amr
Hatim bin Ismail
Abdurrahman bin Ayyas
Amr bin Syu'aib
Syu'aib bin Muhammad
Abdullah bin Amr bin al-Ashi
|
Ahmad
|
Husain bin Muhammad dan Hasyim bin Qasim
Muhammad bin Rasyid al-Khuza'i
Sulaiman bin Musa
Amr bin Syua'ib
Syu'aib bin Muhammad
Abdullah bin Amr bin al-Ashi
|
Tampak dalam tabel itu
seorang sanad hadis bernama Amr bin Syu'aib. Padahal sebagaimana telah
dipaparkan di muka bahwa para ahli hadis seperti Jalaluddin asy-Suyuthi dan Ibnu
Hibban menyangsikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu'aib.[46]
Adanya ketentuan hukum Islam
yang intoleran juga muncul dalam ketentuan mengenai diyat orang non muslim
menurut ulama klasik. Menurut Imam Malik diyat orang non muslim adalah setengah
dari diyat muslim. Sedangkan Imam asy-Syafi'i berpendapat diyat orang Yahudi
dan Nasrani adalah 1/3, dan diyat orang Majusi adalah 1/5. Berdasarkan
hadis-hadis yang dijadikan dalil argumentasi dalam masalah ini ternyata terdapat beberapa titik masalah,
antara lain munculnya perbedaan jumlah diyat non muslim dan adanya nama sanad
Amr bin Syu'aib. Sedangkan hadis riwayat Baihaqi baik dari az-Zuhri, Ikrimah,
ataupun dari Ibnu Umar justru menetapkan jumlah diyat yang sama.[47]
Oleh karena itu, perselisihan ini selayaknya dikembalikan kepada ketentuan
al-Qur'an yang tidak membedakan secara tegas perbedaan diyat muslim dengan non
muslim, sebagaimana pendapat Hanafiyyah.
E Hikmah Ketetapan Qisas-Diyat
Pada dasarnya ayat-ayat qisas-diyat dalam al-Qur'an adalah
untuk mengajak kepada kemurahhatian dan mengurangi kekejaman dan pembalasan
yang diberlakukan pada masa pra-Islam. Syarī’ah Islam kemudian datang untuk
mengajarkan persamaan (equality) dan kemurahhatian (mercy) dengan
menetapkan bahwa pembunuhan dibalas dengan pembunuhan (qisas) dan penganiayaan
dibalas dengan penganiayaan. Namun jika pembunuh dimaafkan, dengan
membayar diyāt yang reasonable, maka hal itu adalah lebih baik.[48]
Selain itu, qisas sebagai hukuman yang tertinggi, disyaratkan dengan ketat dan
harus dipastikan bahwa si pembunuh melakukannya dengan sengaja dan memenuhi
unsur kesalahan. Jika terdapat keraguan (doubt/asy-syubhat) dalam pelaku
atau dalam pembuktiannya, maka qisas tidak dapat dilakukan.[49]
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Jurjawi bahwa hikmah adanya hukuman qisas-diyat adalah keberlangsungan hidup manusia di dunia, tindakan preventif agar manusia tidak saling membunuh yang akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, serta menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.[50] Sementaara itu, hikmah diyat adalah demi kepentingan kedua belah pihak. Dari pihak pembunuh, dengan membayar denda secara damai kepada pihak keluarga korban, dia akan merasa aman dan akan ada kesempatan untuk bertaubat kembali ke jalan yang benar karena merasakan berharganya kehidupan. Sementara bagi keluarga korban, diyat yang diterima secara damai akan dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya dan meringankan sedikit kesedihannya.
Allah mensyari'atkan qisas
untuk menjaga darah dan jiwa manusia serta menghilangkan dendam dan fitnah di
antara umat manusia.[51]
Dengan diberlakukannya qisas, maka jiwa seseorang terlindungi karena orang yang
akan membunuhnya --dengan mengetahui adanya ancaman pidana mati-- akan
mengurungkan niatnya. Di samping itu, calon pelakunya juga akan terlindungi
jiwanya karena mengurungkan niatnya untuk membunuh. Oleh sebab itu dalam ayat "walakum
fi al-qisās hayātun…" terkandung makna kehidupan yang sangat luas,
yaitu bagi orang yang akan dibunuh, pembunuh, keturunan-keturunannya serta
masyarakat secara luas. Ayat "walakum fi al- qisās hayātun…"
juga terkandung makna tujuan pemidanaan, yakni demi terciptanya kemaslahatan. Qisas
bukan bertujuan untuk melakukan penyiksaan terhadap pelaku. Dengan demikian
Allah tidak berfiman "walakum fi al-qi¡ā¡ intiqāmun…" (Dan
dalam qisas terdapat (makna) penyiksaan bagimu).[52]
Bersamaan dengan
ditetapkannya pidana qisas bagi pelaku pembunuhan, Allah mensyari'atkan juga pemaafan
kepada pelaku. Hal ini berarti qisas bukanlah pidana yang bersifat mutlak,
namun sebaliknya bersifat relatif dengan bergantung pada pemaafan dari pihak
keluarga korban. Dengan demikian syari'at Islam sangat memperhatikan eksistensi
pihak keluarga korban sebagai pemutus ada tidaknya qisas.
Selanjutnya, jika qisas dimaafkan maka pelaku diwajibkan untuk membayar diyat sebagai bentuk ganti rugi atas kematian korban. Pembayaran diyat sebagai ganti rugi ini memiliki makna yang sangat baik, karena kebutuhan ekonomi keluarga korban tidak lepas dari perhatian oleh syari'at Islam. Pentingnya diyat ini sangat dirasakan apabila korban adalah orang yang bertanggung jawab atas nafkah keluarganya. Walaupun dalam kajian fiqh seperti yang telah diungkapkan di awal bahwa jumlah diyat menjadi titik perbedaan di antara fuqaha, namun dapat diambil kesimpulan bahwa kesemuanya menetapkan diyat dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini tentu untuk menjamin kelangsungan hidup kelaurga korban pada masa-masa selanjutnya.
Ketentuan bagi pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat 92, menyuguhkan beberapa hikmah. Pertama, walaupun tidak ada pidana qisas, diyat tetap harus dibayarkan kepada keluarga korban karena bagaimanapun juga akibat pembunuhan itu berimplikasi pada kehidupan ekonomi keluarga korban. Apalagi jika korban adalah orang yang berkewajiban menyokong ekonomi keluarga, seperti ayah atau suami. Untuk itu, jaminan kelangsungan ekonomi harus tetap ada bagi keluarga korban.
Kedua, di samping pembayaran diyat, Allah juga mensyari'atkan pidana kaffarat atau penebusan dosa atas pembunuhan itu. Bentuk kaffarah adalah pembebasan budak perempuan. Dengan kaffarah ini secara tak langsung Allah tidak menyetujui adanya perbudakan di kalangan muslim dan hendak menghapuskannya. Cara penghapusan perbudakan oleh Allah ini tidak dilakukan dengan serta merta, namun secara tadrij (bertahap) karena perbudakan sudah sangat membudaya sejak jaman Jahiliyyah sampai Islam datang. Di samping itu, bentuk kaffarah ini sangat strategis dan memenuhi aspek-aspek keadilan dalam upaya penghapusan perbudakan di kalangan muslim, yaitu memerdekakan budak perempuan yang mukmin. Kaum perempuan, termasuk budak, dipandang lemah dalam hal fisik dan sering kali mengalami eksploitasi fisik dan seks dari majikannya.
Ketiga, adanya pidana yang berbeda bagi muslim diukur ada tidaknya permusuhan di antara pembunuh dengan korbannya. Jika tidak ada permusuhan antara kaum pembunuh dengan korbannya, walaupun antara orang Islam dengan orang non-Islam (yang telah ada perjanjian damai) maka pidana lebih berat, yaitu dengan membayar diyat kepada keluarga korban dan membebaskan seorang budak perempuan mukmin. Sedangkan jika terjadi pembunuhan tak sengaja antara kaum mukmin yang bermusuhan, maka pidananya lebih ringan yaitu hanya membayar kaffarah dalam bentuk membebaskan seorang budak perempuan mukmin. Ketentuan seperti ini menunjukkan bahwa derajat hubungan antara orang muslim dengan non muslim --jika ada perjanjian damai, termasuk di dalamnya kafir dzimmi-- adalah lebih mulia di sisi Allah, sehingga Allah menentukan pidana yang lebih berat (diyat dan kaffarah). Sebaliknya, jika hubungan antara muslim satu dengan muslim yang lain tidak harmonis, sehingga muncul permusuhan, maka oleh Allah diletakkan dalam derajat yang rendah. Oleh karena itu jika terjadi pembunuhan tak sengaja antara muslim dengan muslim lain, namun karena di antara keduanya ada permusuhan maka Allah memberikan pidana yang lebih ringan yaitu hanya berupa kaffarah (pembebasan budak) tanpa adanya diyat bagi keluarga korban. Secara tak langsung, Allah memberikan hikmah agar setiap pemeluk agama terhadap pemeluk agama lain hidup dalam keharmonisan.
Keempat, salah satu bentuk keringanan Allah terhadap hamba-Nya dalam masalah pembunuhan tak sengaja ini adalah ditetapkannya pidana puasa bagi pelaku yang tidak mampu membayar diyat atau membayar pembebasan budak. Bentuk alternatif pemidanaan ini menunjukkan fleksibelitas syari'at Islam. Jika seorang terpidana tak mampu untuk membayar diyat atau membayar pembebasan budak, maka alternatif terakhir adalah diwajibkan berpuasa sebagai bentuk penggemblengan pribadi. Oleh karena bertujuan penggemblengan pribadi ini, maka wajar jika periode puasa yang ditetapkan melebihi puasa Ramadlan dengan pelaksanaan yang berturut-turut.
F Penutup
Keadilan Allah sangat tampak dalam syari'at Islam tentang qisas-diyat. Sistem pemidanaan akibat pembunuhan, baik yang sengaja maupun yang tidak sengaja, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan kekayaan hikmah yang terkandung di dalamnya. Selain itu, ijtihad para fuqaha untuk mengaplikasikan aturan-aturan qisas-diyat dengan bersumber pada al-Qur'an dan hadis menunjukkan keanekaragaman dalam hukum Islam. Semuanya bertujuan agar hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan hadis itu tetap bisa save di muka bumi. Oleh karena itu, perlu kiranya usaha yang tak henti dari para ahli hukum Islam untuk menggali hikmah atau nilai-nilai filosofi syari'at Islam dalam al-Qur'an dan hadis, tak terkecuali syari'at Islam tentang qisas dan diyat, agar keadilan Allah dapat terwujudkan di muka bumi. Insya Allah.
---daftar pustaka dan footnote dalam artikel ini sengaja penulis sembunyikan---Daftar Pustaka
---
[3]
Ayat al-Qur'an yang dijadikan dalil penetapan sanksi qisas-diyat terdapt
dalam surat al-Baqarah ayat 178-179, Surat an-Nisa ayat 92 dan 93, serta Surat
al-Maidah ayat 43.
[5]
Sebagai gambaran, 1 wasaq sama dengan 60 gantang. Jika 1
gantang sama dengan 3,125 kg maka Bani Nazir kurang lebih membayar 18.750 kg
(18,75 ton) kurma kepada Bani Quraizah. Namun sebaliknya, jika anggota Bani
Quraizah membunuh salah seorang anggota Bani Nazir, maka Bani Quraizah
diwajibkan membayar denda dua kali lipat, yaitu sebanyak 200 wasaq (±
37,5 ton) kurma.
[11]
[13]
[20]
Dalam ilmu hadis hadis mudtharib adalah mā ukhtulifa fī sanadihi aw
fī matnihi aw fīhimā biziyādah aw naq¡ ma'a 'adami imkāni al-jam'i aw
at-tarjīhi (hadis yang diperselisihkan dalam sanad atau matannya, atau
kedua-duanya sebab adanya tambahan atau pengurangan dengan tidak adanya
kemungkinan untuk disatukan atau ditarjihkan.
[22]
[24]
[26]
[28]
Jika
harga seekor onta sekarang adalah 2250 riyal dan kurs rupiah terhadap riyal
adalah Rp. 2.500,- maka seekor onta kurang lebih berharga Rp. 5.625.000,00.
Dengan demikian diyat yang harus dibayarkan 'aqilah (keluarga pelaku
tindak pidana) dalam masalah pembunuhan tidak sengaja kepada keluarga korban
kurang lebih sebesar Rp. 562.500.000,00 (setengah milyar lebih).
[30]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar