Jumat, 21 November 2008

Memahami Keadilan Hukum Tuhan dalam Qisas dan Diyat

Oleh: Ahmad Bahiej*

 Abstrak

Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan pembunuhan dan penganiayaan. Allah mengatur secara khusus mengenai tindak pidana ini dalam al-Qur'an dengan beberapa hikmah yang terkandung, antara lain terjaminnya kehidupan ekonomi keluarga korban, menghilangkan budaya ketidakadilan yang dalam al-Qur'an dicotohkan dengan pembebasan budak, hubungan muslim dan non-muslim, dan adanya alternatif pemidanaan.

Kata kunci: qisas, diyat, fiqh, hikmah

A. Pendahuluan

Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan pembunuhan dan penganiayaan. Qisas yang berasal dari bahasa Arab al-qisās bermakna an yaf’ala bil-fā’il mi£la mā fa’ala[1] yang berarti melakukan seperti apa yang telah dilakukan pelakunya. Sedangkan diyat yang berasal dari bahasa Arab ad-diyat (singular) atau diyāt (plural) adalah bentuk ma¡dar (bentuk jadian) dari wadā yang berarti mā yu’ta in al-māl badala an-nafs al-qatīl (harta yang diberikan sebagai ganti dari jiwa yang terbunuh). Bentuk asli dari ad-diyat adalah al-wad³. Huruf ta’ digunakan sebagai ganti dari huruf wau yang dibuang sebagaimana dalam kata ‘iddat.[2]
Dalam beberapa segi, aturan mengenai qisas-diyat ini mempunyai beberapa keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh aturan-aturan jarimah lain, seperti dalam hudud maupun ta'zir. Keunikan-keunikan itu antara lain adalah, pertama, posisi qisas-diyat dalam hukum pidana Islam. Dalam literatur-literatur fiqh disebutkan bahwa aturan mengenai qisas-diyat ini tidak termasuk ke dalam pembahasan mengenai hudud, namun berdiri sendiri sebagai cabang dari jinayat (hukum pidana Islam).
Kedua, aturan-aturan mengenai qisas-diyat dalam al-Qur’an lebih banyak dari pada aturan-aturan jarimah yang lain. Paling tidak ada lima ayat al-Qur’an yang membahas mengenai qisas-diyat ini.[3] Ketiga, sanksi pidana bagi jarimah qisas-diyat lebih komprehensif dan menyediakan berbagai macam alternatif pidana bagi pelakunya. Pidana dengan berbagai alternatif ini tidak dikenal dalam bentuk jarimah-jarimah yang lain, khususnya dalam jarimah hudud.

B. Potret Historis Pidana Qisas-Diyat Pra Islam
Sebelum datangnya Islam, sanksi pidana pembunuhan dikenal dalam beberapa bentuk. Bagi kaum Yahudi diberlakukan pidana qisas yang telah ditetapkan dalam kitab sucinya, Taurat. Sedangkan kaum Nasrani hanya diberlakukan diyat. Namun pada masa Arab Jahiliyyah, berlaku hukum pembalasan yang berdasar pada kebiasaan-kebiasaan mereka.[4] Sebagai gambaran Bani Nazir yang memposisikan derajatnya lebih tinggi daripada Bani Quraizah beranggapan bahwa jika ada anggota Bani Nazir yang membunuh salah seorang anggota Bani Quraizah, maka tidak dibalas dengan pidana mati (qisas), namun cukup dibayar dengan denda seratus wasaq kurma.[5]
Syari’at Nabi Musa mengenai qisas tersebut dituangkan dalam Kitab Keluaran Pasal 21:
“Sesungguhnya barangsiapa memukul manusia dan (mengakibatkan manusia itu) mati, maka ia harus dibunuh. Dan jika orang laki-laki berlaku aniaya terhadap laki-laki lain sehingga ia membunuhnya secara licik, maka engkau harus mengambil dari mazbah-ku agar orang itu dibunuh. Barangsiapa memukul ayah dan ibunya, maka ia harus dihukum mati. Jika terjadi penganiayaan, maka balaslah jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, gigi dengan gigi, tangan dengan tangan, kaki- dengan kaki, luka dengan luka, relah (dibalas) dengan rela”.[6]
Dalam syari’at Nabi Isa sebagian berpendapat bahwa hukuman mati bagi pembunuh tidak ada dasarnya sama sekali. Mereka berargumen dengan kitab kelima yang memuat sabda Nabi Isa:
“Janganlah engkau membalas kejahatan dengan kejahatan, akan tetapi jika seseorang menempeleng pipi kananmu maka berilah juga pipi kirimu. Dan (jika) ada orang yang memusuhimu dan mengambil bajumu, maka berikanlah baju itu kepadanya. Dan (jika) ada orang yang menghinamu satu mil, maka pergilah bersamanya sejauh dua mil”.[7]

Pendapat ini didukung oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Um yang menyatakan bahwa bagi kaum Injil (Nasrani) diwajibkan memaafkan pembunuh dan tidak membunuhnya.[8] Sebagian yang lain berpendapat bahwa syari’at Nabi Isa mengenal adanya pidana mati dengan berdasar pada apa yang telah diucapkan oleh Nabi Isa:
“Aku tidak datang untuk menghapuskan an-namūs (aturan hukum yang telah ada sebelumnya), namun aku datang untuk menyempurnakannya”.[9]

Hal ini berarti syari’at Nabi Isa tidak menghapuskan syari’at Nabi Musa dalam kitab Taurat yang diturunkan lebih dahulu, namun lebih pada penyempurnaan. Pandangan demikian juga selaras dengan al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 50.
Adanya setting historis atas ketentuan qisas bagi pelaku pembunuhan baik di masa Arab Jahiliyyah, maupun ketentuan qisas bagi kaum Yahudi dan Nasrani dapat ditarik benang merah hubungan antara syari’at Islam tentang qisas-diyat dengan pidana yang dikenal pada masa pra-Islam. Dengan adanya ketentuan qisas-diyat dalam al-Qur’an, Allah menghapuskan sistem pemidanaan Jahiliyyah yang tidak adil dalam tindak pidana pembunuhan. Di samping itu, Allah juga menyempurnakan syari’at Islam sebagai syari’at agama samawi terakhir dengan menetapkan berbagai macam alternatif pemidanaan bagi pelaku pembunuhan sebagai bentuk keringanan dan rahmat. Dzālika takhfīfun min rabbikum wa rahmah.

C. Implikasi Ketentuan Qisas-Diyat dalam al-Qur’an
Semua fuqaha sepakat bahwa pembunuhan merupakan hal yang haram dilakukan dan memiliki implikasi di dunia dan akhirat. Di akhirat pelaku pembunuhan (sengaja) mendapatkan balasan sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 93, yaitu dimasukkan dan disiksa ke dalam neraka Jahanam, dimurkai serta dikutuk oleh Allah. Bahkan sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir, membunuh seseorang dengan sengaja merupakan dosa besar yang dalam beberapa ayat al-Qur'an disejajarkan dengan dosa syirik.[10] Namun demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai dapat diterima atau tidaknya taubat seseorang yang telah membunuh dengan sengaja.[11]
Sedangkan bentuk hukuman pembunuhan di dunia adalah sebagaimana telah disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 178 dan 179, yaitu:
a.    diberikan sanksi pidana qisas yang setara kepada pelaku pembunuhan tersebut; atau
b.    membayar diyat (ganti rugi) kepada keluarga korban dengan syarat keluarga korban memberikan maaf kepada pelaku pembunuhan.
Surat an-Nisa ayat 92 menjelaskan tentang pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya unsur kesengajaan. Sanksi pidana bagi pembunuhan tidak sengaja adalah memerdekakan hamba sahaya (budak) yang beriman sebagai kaffarah (penebus dosa) serta diwajibkan membayar diyat atau ganti rugi kepada keluarga korban. Terdapat dua kategori sanksi pidana dalam ayat pembunuhan tidak sengaja ini, yaitu:
a.    jika korban adalah dari kaum mukmin, namun bermusuhan dengan pelakunya, maka pidana hanya berupa kaffarah yaitu memerdekakan hamba sahaya.
b.    jika korban adalah orang kafir yang telah ada perjanjian damai dengan kaum mukmin, dikenakan pidana ganda, yaitu membayar diyat atau ganti rugi kepada keluarga korban serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin sebagai kaffarah-nya.
Ditinjau dari segi ilmu u¡ul al-fiqh, kebanyakan aturan-aturan pidana dalam al-Qur’an, termasuk di dalamnya aturan mengenai qisas dan diyat, masuk dalam kategori lafdz yang khafi, dzahir, dan nass. Lafaz khafi adalah lafdz yang maknanya terang tapi tidak jelas cakupan kategori dan kriterianya, sementara lafdz dzahir adalah lafaz yang maknanya segera dipahami tetapi pemahaman itu tidak sesuai dengan konteks kalimat dan lafdz nass adalah lafaz yang maknanya terang yang sesuai dengan konteks kalimat. Ketiga lafaz tersebut masih mungkin untuk ditafsiri, ditakwil dan dapat menerima naskh.[12] Dalam ushul fiqh untuk memperjelas dan menemukan makna yang tepat dari tiga jenis lafaz tersebut masih memerlukan pentakwilan dan ijtihad.
Sebagai gambaran, lafdz “al-qatlā” dalam surat al-Baqarah ayat 178 merupakan lafdz dalam kategori khafi, dalam arti bahwa maknanya terang yaitu “pembunuhan” namun belum jelas mengenai cakupan kategori dan kriterianya. Misalnya kemudian muncul pertanyaan, siapa yang membunuh? siapa yang dibunuh? Bagaimana cara membunuhnya?. Contoh lain adalah pembayaran diyat. Al-Qur'an hanya menyebutkan kewajiban membayar diyat jika si pembunuh dimaafkan atau jika terjadi pembunuhan yang tidak disengaja. Berapa besar jumlah yang harus dibayarkan dan siapa yang berkewajiban membayar tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur'an.
Oleh karena itu kemudian para fuqaha’ menetapkan hukum Islam dengan dasar beberapa hadis Nabi yang menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan qisas-diyat dalam al-Qur’an, serta berusaha melakukan ijtihad apabila jawaban dari persoalan yang ditanyakan tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun yang muncul kemudian adalah adanya perbedaan penafsiran karena masing-masing fuqaha' (baca: mazhab atau aliran dalam hukum Islam) memiliki pandangan dan dasar sendiri.
Apabila keluarga korban atau wali terbunuh memberikan maaf kepada pelaku pembunuhan, maka si pelaku diwajibkan membayar diyat dengan jumlah tertentu. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jumlah diyat yang harus dibayarkan kepada keluarga korban. Selengkapnya, jumlah diyat berdasarkan pembagian jenis pembunuhan menurut ulama fiqh dapat dilihat dalam tabel berikut.[13]

 Tabel 1. Jumlah Diyat Berdasarkan Pembagian Jenis Pembunuhan
Menurut Beberapa Ulama Fiqh

Imam
Pembagian Jenis Pembunuhan
dan Jumlah Diyatnya
Malik
'Amd
Syibh al-'amd
(Mugaladzah)
Khata'
25 onta bintu makhadz
25 onta bintu labun
25 onta hiqqah
25 onta jadza'ah
30 onta hiqqah
30 onta jadza'ah

20 onta bintu makhadz
20 onta ibnu labun
20 onta bintu labun
20 onta hiqqah
20 onta jadza'ah
Total 100 onta
Total 60 onta
Total 100 onta




asy-Syafi'i
Mugaladzah
Mukhafafah
'Amd
Syibh al-'amd
Khata'
30 onta hiqqah
30 onta jadza'ah
40 onta khālifah
20 onta bintu makhadz
20 onta bintu labun
20 onta ibnu labun
20 onta hiqqah
20 onta jadza'ah
Total 100 onta
Total 100 onta




Hanafi
'Amd
Syibh al-'amd
(Mugaladzah)
Khata''
­-
25 onta bintu makhadz
25 onta bintu labun
25 onta hiqqah
25 onta jadza'ah
20 onta ibnu  makhadz
20 onta bintu makhadz
20 onta bintu labun
20 onta hiqqah
20 onta jadza'ah
-
Total 100 onta
Total 100 onta

Keterangan :
Ibnu Makhadz  :  onta jantan berumur satu tahun masuk dua tahun.
Bintu Makhadz   :  onta betina berumur satu tahun masuk dua tahun.
Ibnu Labun       :  onta jantan berumur dua tahun masuk tiga tahun.
Bintu Labun     :  onta betina berumur dua tahun masuk tiga tahun
Hiqqah             :  onta yang berumur tiga tahun masuk empat tahun.     
Jadza'ah           :  onta yang berumur empat tahun masuk lima tahun.
Khālifah           :  onta yang sedang bunting.[14]
Menurut Imam Hanafi, jenis diyat hanya ada dua macam yaitu diyat kesalahan dan diyat syibh al-'amd (menyerupai kesengajaan). Diyat kesengajaan tidak ada karena untuk setiap pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja harus dilaksanakan qisas kecuali jika dimaafkan oleh keluarga korban. Hal ini didasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Abbas bahwa "bagi kesengajaan adalah qawad, dan tidak ada ganti rugi padanya".[15] Dalam menentukan diyat kesalahan, Imam Hanafi mendasarkan diri pada hadis at-Turmudzi "Rasulullah menetapkan dalam hal diyat kesalahan adalah 20 bintu makhadz, 20 ibnu makhadz, 20 bintu labun, 20 jadza'ah, dan 20 hiqqah".[16]
Hadis yang mempunyai sanad Ali bin Sa'id al-Kindi al-Kufi, Ibnu Abi Zaidah, al-Hajjāj, Zaid bin Hubair, Hasyf bin Malik, dari Abdullah bin Mas'ud ini merupakan hadis marfu'.
Namun demikian, pendapat Imam Hanafi ini berbeda dengan perkataan Ali bin Abi Thalib mengenai diyat kesalahan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Ali berkata, "(Diyat) dalam (pembunuhan karena) kesalahan adalah seperempatan, 25 hiqqah, 25 jadza'ah, 25 bintu labun, 25 bintu makhadz." [17] Hadis ini berasal dari Hannād, Abu al-Ahwash, Abi Ishaq, 'Ashim bin Dhamrah. Perkataan sahabat Ali tersebut di atas juga berbeda dengan hadis riwayat Abu Dawud yang lain, yaitu hadis yang bersanad dari Muhammad bin al-Mutsanna, Muhammad bin Abdullah, Sa'id, Qatadah, Abdi Rabbih, Abi 'Iyadh dari Utsman bin 'Affan dan Zaid bin Tsabbit bahwa "(Diyat) dalam (pembunuhan karena) kesalahan adalah 30 hiqqah, 30 bintu labun, 20 ibnu labun, 20 bintu makhadz."[18]

Adanya ketentuan dalam kedua hadis ini yang berbeda karena kedua-duanya berhenti kepada sahabat-sahabat Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit. Dalam ilmu hadis, berhentinya sanad hadis kepada sahabat Nabi disebut dengan hadis mauquf.

Disebabkan adanya perbedaan dalam dasar atau dalil diyat kesalahan ini, maka muncullah perbedaan di antara para fuqaha dalam menetapkannya. Jika dikembalikan kepada al-Qur'an, persoalan ini juga tidak selesai karena al-Qur'an tidak menyebutnya secara terperinci. Oleh karena itu, dipilihlah ketentuan-ketentuan yang lebih kuat, yaitu ketentuan sebagaimana yang dipegangi oleh ulama Hanafi. Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud adalah hadis yang marfu' yang tentunya lebih kuat daripada hadis yang mauquf.

Masalah jumlah diyat mugaladzah (berat) juga terdapat beberapa hadis yang berbeda. Tabel berikut ini menggambarkan perbedaan-perbedaan tersebut.[19]

Tabel 2. Perbedaan Jumlah Diyat Mugaladzah dalam Beberapa Riwayat
Perawi
Jumlah Diyat
Keterangan
Abu Dawud dari Utsman bin Affan dan Zaid bin Tasbit
40 jadza'ah bunting
30 hiqqah
30 bintu labun

Abu Dawud  dari Abdullah bin Umar,
Ibnu Majah
Asy-Syafi'I
100 onta, 40 di antaranya bunting
Diyat khata' syibh al-'amd
Abu Dawud dari Ashim bin Dhamrah
33 hiqqah
33 jadza'ah
34 berumur 2 tahun penuh
1 khilfah

'Alaqamah dan al-Aswad dari Abdillah
25 hiqqah
25 jadza'ah
25 bintu labun
25 bintu makha«
Syibh al-'amd

Mengenai ada atau tidaknya jenis diyat syibh al-'amd para fuqaha juga berbeda pendapat. Namun yang paling kuat adalah pendapat yang meniadakan adanya syibh al-'amd. Argumentasi yang digunakan dalam menolak adanya syibh al-'amd adalah sebagai berikut.

a.    Banyak ulama-ulama hadis, seperti Abu Umar bin Abd al-Bar, Ibnu Rusyd, menganggap bahwa hadis-hadis tentang syibh al-'amd adalah hadis yang lemah karena bersifat mudztharib.[20] Sedangkan Imam Malik menentang adanya syibh al-'amd dan menyatakan bahwa syibh al-'amd adalah batil, kecuali dalam kasus pembunuhan ayah terhadap anaknya.
b.    Dalam al-Qur'an, hanya diatur mengenai pembunuhan yang sengaja (surat al-Baqarah 178) dan pembunuhan yang tidak sengaja (surat an-Nisa 92). Oleh karena itu, hadis tentang syibh al-'amd tidak dapat dijadikan dalil atau hujjah dan batal secara hukum.
Argumentasi ini membawa implikasi juga kepada jumlah diyat kesengajaan. Diyat kesengajaan yang didasarkan dan disamakan dengan diyat syibh al-'amd sebagaimana dikemukakan Imam asy-Syafi'i juga disangsikan kebenarannya. Hal ini dikarenakan hadis tentang diyat syibh al-'amd diriwayatkan dari Amr bin Syu'aib ditolak oleh beberapa ahli hadis, seperti Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu Hibban.[21]
Dengan demikian, hadis yang dijadikan dalil dalam aturan mengenai diyat kesengajaan tinggal hadis yang bersumber dari Ibnu Syihab sebagaimana yang dipegangi Imam Maliki dalam Muwatha'-nya yaitu bahwa "Yahya telah menceritakan dari Malik, sesungguhnya Ibnu Syihab berkata tentang diyat kesengajaan jika diterima (maafnya) adalah 25 bintu makhadz, 25 bintu labun, 25 hiqqah, dan 25 jadza'ah." [22]
Jika diperhatikan sanadnya, jelas hadis ini hadis mursal atau terputus, yaitu tidak disebutkan nama sahabat terakhir yang berhubungan dengan Rasulullah secara langsung. Dengan demikian tidak terdapat hadis yang ¡ahih atau pun yang marfu' yang menyatakan tentang diyat kesengajaan. Menurut Abu Tsaur dan Ibnu Rusyd sebagaimana dikutip oleh Haliman[23], karena ketiadaan hadis yang ¡ahih atau marfu' tentang diyat kesengajaan ini berarti diyat kesengajaan disamakan dengan diyat kesalahan.
Pembayaran diyat pada dasarnya diberikan dalam bentuk hewan onta. Hal ini dikarenakan pada waktu itu onta merupakan harta yang cukup berharga. Akan tetapi beberapa hadis menunjukkan adanya kebolehan membayar diyat dalam bentuk uang. Imam asy-Syafi'i dan  Imam Malik menetapkan diyat bisa digantikan dengan uang 12.000 dirham. Hadis Abu Dawud dari Ibnu Abbas menunjukkan keterangan tersebut, yaitu "sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani 'Adi dibunuh, maka Nabi menetapkan diyatnya 12.000".[24]

Pandangan ini berbeda dengan Imam Hanafi yang menetapkan diyat sebesar 10.000 dirham. Pandangan ini didasarkan pada hadis Abdullah bin Umar bahwa Nabi telah memutuskan mengenai diyat terbunuh dengan 10.000 dirham.[25]

Selanjutnya Imam asy-Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Hanafi mempunyai pendapat yang sama dalam hal pembayaran diyat dapat diangsur selama tiga tahun.[26] Malik dalam Muwatha' menyebutkan dasar hadisnya bahwa "Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa dia (Malik) mendengar bahwa diyat dipotong (dicicil) dalam tiga tahun atau empat tahun. Malik berkata, "Tiga adalah (pendapat) yang lebih kusukai dalam masalah ini (cicilan)". [27]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pertama, jumlah diyat pembunuhan kesengajaan disamakan dengan diyat pembunuhan karena kesalahan merupakan pendapat yang terkuat di antara pendapat yang lain. Kedua, diperbolehkan bentuk diyat hewan (onta) digantikan dengan bentuk uang dan dilakukan dengan cara angsuran. Jika jumlah diyat diambil dari pendapat Hanafi yang berjumlah 100 onta dan digantikan uang, maka penentuannya didasarkan pada harga onta pada masa itu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.[28]
D. Rekonstruksi dan Reaktualisasi Hukum Islam tentang Qisas-Diyat
Sering kali terdapat anggapan bahwa hukum Islam identik dengan syari'at Islam. Di sini tidak ada pemisahan antara hukum Islam (fiqh) yang merupakan hasil ijtihad para ulama dengan syari'at Allah yang identik dengan wahyu. Hal ini berimbas pada adanya anggapan bahwa hukum Islam (fiqh) bersifat absolut dan suci, yang tidak bisa menerima perubahan dan pengembangan.[29] Intelektual Islam sekaliber Muhammad Muslehuddin pun menganggap bahwa hukum Islam adalah "sistem hukum buatan Tuhan".[30]
Pengaburan istilah antara hukum Islam, syari'ah Islam, dan fiqh pada hakikatnya tidak ada masalah. Namun pengaburan esensi dan posisi antara hukum Islam, yang identik dengan fiqh karena merupakan hasil ijtihad manusia, dengan syari'ah yang identik dengan wahyu, yang berada di luar jangkauan manusia, harus diletakkan pada posisi sebenarnya.[31] Dengan demikian akhirnya disadari bahwa karena hukum Islam merupakan hasil ijtihad fuqaha maka adalah wajar jika fuqaha dalam menetapkan ijtihadnya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial dan politik.
Oleh karena itu, dalam melakukan ijtihad mengenai qisas-diyat para fuqaha kadangkala, bahkan dapat dikatakan sering, mempunyai hasil yang berbeda-beda, seperti yang telah diungkapkan di awal. Satu ulama pun kadangkala mempunyai pandangan yang berbeda karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik.[32]
Bagi masyarakat muslim, perbedaan-perbedaan di antara para fuqaha itu bukan menjadi masalah yang besar. Justru sebaliknya menunjukkan adanya kekayaan wacana hukum dalam Islam, sehingga masyarakat muslim pada suatu tempat dan pada suatu waktu bebas memilih antara pendapat-pendapat itu yang sesuai dengan kondisi sosialnya atau melakukan rekonstruksi reaktualisasi sendiri dengan dasar nilai-nilai kebenaran Islam.
Terdapat beberapa persoalan dalam hukum Islam tentang qisas-diyat yang telah dikemukakan para fuqaha. Jika persoalan ini dicermati berdasarkan ukuran kondisi sosial dan politik negara-negara modern dan pluralis, maka muncullah aturan-aturan hukum Islam yang bias. Persoalan-persoalan itu antara lain diuraikan di bawah ini.
1. Kedudukan Perempuan
Dalam memahami surat al-Baqarah ayat 178 bahwa "… perempuan (dibalas) dengan perempuan…" para fuqaha berbeda pendapat. Al-Hasan, Atha, dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa berdasarkan ayat ini seorang laki-laki tidak dipidana mati sebab membunuh perempuan.[33] Pendapat ini jelas mengandung pengertian yang bias jika dilihat dengan kaca mata keadilan gender. Dalam hal ini, perempuan "dihargai" separo dari laki-laki.
Pendapat ini dibantah oleh jumhur al-'ulama yang menyatakan bahwa dalam konteks pembunuhan perempuan oleh laki-laki maka dasar hukum yang digunakan adalah surat al-Maidah ayat 45 " … jiwa dibalas dengan jiwa…". Ayat ini menjelaskan "jiwa" secara umum, artinya baik laki-laki maupun perempuan. Di samping itu jumhur al-'ulama berpegangan juga pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwa "orang-orang Islam darahnya sama".[34]
Bias gender demikian juga muncul dalam masalah diyat. Berdasarkan hadis dari Mua'z, Kahalani dan Syaukani menyebutkan bahwa Nabi menetapkan diyat perempuan adalah separuh dari diyat laki-laki. Menurut Kahalani hadis ini ijma'. Asy-Syafi'i, Hadawiyah, dan Hanafiyah mendasarkan dalil ini untuk menentapkan bahwa diyat penganiayaan perempuan setengah diyat laki-laki.[35]
Adanya pertentangan dalam masalah matan atau isi dan logika pada beberapa hadis tentang diyat perempuan yang diriwayatkan oleh orang yang sama terdapat dalam kitab Muwata' Imam Malik. Dalam bab 'aql al-mar'ah disebutkan hadis berikut.
و حدثني يحيى عن مالك عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب أنه كان يقول تعاقل المرأة الرجل إلى ثلث الدية إصبعها كإصبعه وسنها كسنه وموضحتها كموضحته ومنقلتها كمنقلته و حدثني عن مالك عن ابن شهاب وبلغه عن عروة بن الزبير أنهما كانا يقولان مثل قول سعيد بن المسيب في المرأة أنها تعاقل الرجل إلى ثلث دية الرجل فإذا بلغت ثلث دية الرجل كانت إلى النصف من دية الرجل قال مالك وتفسير ذلك أنها تعاقله في الموضحة والمنقلة وما دون المأمومة والجائفة وأشباههما مما يكون فيه ثلث الدية فصاعدا فإذا بلغت ذلك كان عقلها في ذلك النصف من عقل الرجل[36] .

Sedangkan dalam bab ma jā'a fī 'aql al-ashābi' Imam Malik menyebutkan hadis Sa'id bin al-Musayyib yang lain sebagai berikut.

و حدثني يحيى عن مالك عن ربيعة بن أبي عبد الرحمن أنه قال سألت سعيد بن المسيب كم في إصبع المرأة فقال عشر من الإبل فقلت كم في إصبعين قال عشرون من الإبل فقلت كم في ثلاث فقال ثلاثون من الإبل فقلت كم في أربع قال عشرون من الإبل فقلت حين عظم جرحها واشتدت مصيبتها نقص عقلها فقال سعيد أعراقي أنت فقلت بل عالم متثبت أو جاهل متعلم فقال سعيد هي السنة يا ابن أخي[37].

Berdasarkan hadis yang pertama, perempuan dapat menerima diyat 1/3 dari diyat laki-laki. Jika diyat tersebut melebihi 1/3 diyat laki-laki maka perempuan menerima 1/2 diyat laki-laki. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah jika diyat empat jari laki-laki adalah 100 ekor onta, maka diyat perempuan adalah 1/3-nya, yaitu 33 ekor onta.

Namun hal ini berbeda dengan matan hadis kedua bahwa diyat empat jari perempuan adalah 20 ekor onta. Di samping itu, dalam hadis kedua tersebut Sa'id bin al-Musayyib menetapkan diyat empat jari perempuan lebih kecil daripada tiga jari perempuan. Ketika ditanyakan tentang hal itu Sa'id bin al-Musayyab tidak menyebukan dasar hukumnya dan hanya menyebutkan bahwa ini adalah sunnah.
Beberapa hadis yang berisi tentang diyat perempuan di atas justru menimbulkan kekaburan persoalan walaupun hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh satu orang perawi, yakni Malik dari Sa'id bin al-Musayyib. Bahkan ditinjau dari logika, matan hadis ini terasa saling bertentangan. Posisi atau kedudukan hadis-hadis itu pun mursal.
Oleh karena itu lebih tepat kiranya dikembalikan kepada al-Qur'an. Ternyata ayat-ayat tentang qisas-diyat dalam al-Qur'an sama sekali tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ayat-ayat yang lain pun sama sekali tidak membedakan posisi perempuan terhadap laki-laki, apalagi merendahkan "harga" wanita terhadap laki-laki. Bahkan secara tegas disebutkan dalam surat an-Nahl ayat 97 bahwa ganjaran tergantung pada perbuatan dan keimanannya, bukan pada jenis kelaminnya.

"Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan jiwa dalam syari'at adalah sama, baik laki-laki dan perempuan. Hal ini diakui oleh asy-Syafi'i dalam qaul jadīd-nya bahwa qisas berlaku antara laki-laki dan perempuan, dan sebaliknya.[38] Demikian pula disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud yang telah disebutkan di muka bahwa al-muslimūn tatakāfa'u dimā'uhum.
2. Kedudukan Non Muslim
Kedudukan non muslim mendapatkan perhatian sendiri dari para fuqaha. Jumhur ulama, yakni Imam Maliki, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Hanbali berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir.[39] Yang termasuk da;a, kategori orang kafir adalah orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, kafir dzimmi, mu'ahad, dan mustakmin.[40]
Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa seorang muslim yang membunuh orang kafir tetap dipidana mati. Demikian pula sebaliknya. Argumentasi ulama-ulama Hanafiyyah adalah:[41]
1.    Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 hanya mewajibkan hukum bunuh bagi pembunuhan. Ketentuan ini bersifat umum, baik muslim maupun dzimmi. Sedangkan ayat "orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan…" dimaksudkan untuk menghilangkan tindakan berlebihan sebagaimana yang berlaku pada zaman Jahiliyyah.
2.    Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 45 bersifat umum berkenaan dengan hukuman qisas umat terdahulu. Syari'at umat terdahulu juga berlaku bagi umat Islam selama tidak ada ketentuan nas yang menghapusnya.
3.    Firman Allah dalam surat al-Isra' ayat 33 bahwa "…barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya…" ini pun juga bersifat umum untuk semua orang yang terbunuh, baik muslim maupun dzimmi.
4.    Hadis riwayat Baihaqi dari Abdurrahman bin al-Bilmani bahwa Rasulullah pernah membunuh seorang muslim karena membunuh kafir dzimmi, kemudian Rasulullah bersabda "aku menghormati orang yang memenuhi tanggunganku".
5.    Kesepakatan ulama yang mewajibkan hukum potong tangan bagi muslim yang mencuri barang milik orang kafir dzimmi. Oleh karena itu, persamaan ini berlaku juga bagi qisas. Kehormatan darah adalah lebih besar daripada hartanya.
Adanya pendapat Imam Hanafi yang berbeda dengan fuqaha demikian tentunya tidak terlepas dari setting sosiologis tempat kediaman Imam Hanafi. Imam Hanafi tinggal di Kuffah Irak, yang notabene adalah kota besar dengan kehidupan keagamaan yang beragam (majemuk). Oleh karena itu, Imam Hanafi lebih toleran dalam memandang hubungan Islam dengan non Islam. Sebagai hasil ijtihadnya, beliau juga tidak memasukkan riddah (murtad) sebagai tindak pidana hudud sebagaimana pendapat fuqaha lainnya.[42]
Aspek kedua yang membedakan Imam Hanafi dengan imam-imam madzhab yang lain adalah sistem ijtihad. Ijtihad Imam Hanafi didasarkan kepada al-Qur'an, Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, dan 'urf. Akan tetapi karena beliau menetapkan syarat yang sangat ketat bagi diterimanya hadis maka dalam realitasnya perbandingan penggunaan volum dalil-dalil itu adalah al-Qur'an, qiyas, ijma', hadis, istihsan dan terakhir 'urf. Imam Hanafi lebih banyak/besar mempergunakan qiyas daripada hadis. Kemungkinan ini juga tak lepas dari jarak kota Kuffah di Irak yang jauh dari kota Madinah, sebagai kota sumber perawi dan ahli hadis.
          Sistem ijtihad yang dipakai Imam Hanfi tersebut juga tidak terlepas dari peran gurunya. Guru beliau pada tingkat pertama adalah Hammad bin Sulaiman. Hammad berguru pada Ibrahim an-Nakha'i. Sedangkan an-Nakha'i adalah murid 'Alaqamah bin Qais an-Nakha'i. Ketiga-tiganya adalah tokoh ahl ar-ra'yi pada masa tabi'in. 'Alaqamah merupakan murid Abdullah bin Mas'ud, salah seorang tokoh ahl ar-ra'yi di kalangan sahabat Nabi.[44] Oleh karena itu wajarlah apabila Imam Hanafi memiliki kecenderungan memperbesar qiyas sebagai bentuk ar-ra'yi (pendapat) daripada hadis.
Di negara-negara modern yang masyarakatnya lebih plural/majemuk dan hubungan antara Islam dengan non Islam terjalin dengan harmonis, sebagaimana di Indonesia, ketentuan sebagaimana pendapat Imam Hanafi lebih dapat diterima. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan redefinisi mengenai kedudukan non muslim dalam konsep hukum tata negara Islam dan hukum internasional Islam yang selama ini telah dihasilkan oleh para fuqaha. Konsep fiqh klasik mengenai dar al-¥arb dan dar al-Islām pun perlu dikoreksi kembali agar sesuai dengan tata kehidupan modern yang harmonis.[45]
Dalam masalah qisas-diyat sendiri, al-Qur'an tidak secara tegas membedakan antara orang Islam dengan non Islam. Aturan dalam al-Qur'an itu berbicara mengenai pembunuhan secara umum. Dalil hadis riwayat Bukhari yang digunakan ber-¥ujjah adanya perbedaan antara muslim dan non muslim sebagaimana disebutkan ash-Shabuni bersifat mauquf, yakni berhenti pada sahabat Ali bin Abi Thalib.

"Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin al-Fadhl, telah menceritakan kepadaku Ibnu 'Uyainah, telah menceritakan kepadaku Mutharrif, ia berkata, "Saya mendengar asy-Sya'bi berkata, "Saya mendengar Abu Juhaifah berkata, "Saya bertanya kepada Ali ra«iyallāhu 'anhu, "Apakah dalam dirimu ada sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an?". Abu Juhaifah berkata dalam kesempatan lain, "Apa yang tak ada pada manusia?". Ali menjawab, "Demi Dzat yang menciptakan biji, ruh, dan jiwa, tidak ada dalam diriku kecuali apa yang ada dalam al-Qur'an, kecuali Allah memberikan kefahaman kepada hamba-Nya tentang kitab-Nya dan apa yang ada dalam ¡ahīfah." Saya (Abu Juhaifah) bertanya, "Apa yang ada dalam ¡ahīfah?". Ali menjawab, "Pembayaran denda, pembebasan tawanan, dan seorang muslim tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir."

Sangat jelas bahwa hadis ini berisi pembicaraan Abu Juhaifah dengan Ali bin Abi Thalib, bukan sabda Nabi sendiri. Hadis yang menyebutkan bahwa "seorang muslim tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir" sebagai sabda Nabi secara langsung adalah hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, Ahmad, dan Ibnu Majah. Sanad hadis tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Perawi dan Sanad Hadis Lā yuqtalu muslim bikāfir
Perawi
Sanad
At-Turmudzi
Isa bin Ahmad
Ibnu Wahb
Usamah bin Zaid
Amr bin Syua'ib
Syu'aib bin Muhammad
Abdullah bin Amr bin al-Ashi
Ibnu Majah
Hisyam bin Amr
Hatim bin Ismail
Abdurrahman bin Ayyas
Amr bin Syu'aib
Syu'aib bin Muhammad
Abdullah bin Amr bin al-Ashi
Ahmad
Husain bin Muhammad dan Hasyim bin Qasim
Muhammad bin Rasyid al-Khuza'i
Sulaiman bin Musa
Amr bin Syua'ib
Syu'aib bin Muhammad
Abdullah bin Amr bin al-Ashi

Tampak dalam tabel itu seorang sanad hadis bernama Amr bin Syu'aib. Padahal sebagaimana telah dipaparkan di muka bahwa para ahli hadis seperti Jalaluddin asy-Suyuthi dan Ibnu Hibban menyangsikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu'aib.[46]
Adanya ketentuan hukum Islam yang intoleran juga muncul dalam ketentuan mengenai diyat orang non muslim menurut ulama klasik. Menurut Imam Malik diyat orang non muslim adalah setengah dari diyat muslim. Sedangkan Imam asy-Syafi'i berpendapat diyat orang Yahudi dan Nasrani adalah 1/3, dan diyat orang Majusi adalah 1/5. Berdasarkan hadis-hadis yang dijadikan dalil argumentasi dalam masalah ini ternyata terdapat beberapa titik masalah, antara lain munculnya perbedaan jumlah diyat non muslim dan adanya nama sanad Amr bin Syu'aib. Sedangkan hadis riwayat Baihaqi baik dari az-Zuhri, Ikrimah, ataupun dari Ibnu Umar justru menetapkan jumlah diyat yang sama.[47] Oleh karena itu, perselisihan ini selayaknya dikembalikan kepada ketentuan al-Qur'an yang tidak membedakan secara tegas perbedaan diyat muslim dengan non muslim, sebagaimana pendapat Hanafiyyah.

E Hikmah Ketetapan Qisas-Diyat

Pada dasarnya ayat-ayat qisas-diyat dalam al-Qur'an adalah untuk mengajak kepada kemurahhatian dan mengurangi kekejaman dan pembalasan yang diberlakukan pada masa pra-Islam. Syarī’ah Islam kemudian datang untuk mengajarkan persamaan (equality) dan kemurahhatian (mercy) dengan menetapkan bahwa pembunuhan dibalas dengan pembunuhan (qisas) dan penganiayaan dibalas dengan penganiayaan. Namun jika pembunuh dimaafkan, dengan membayar diyāt yang reasonable, maka hal itu adalah lebih baik.[48] Selain itu, qisas sebagai hukuman yang tertinggi, disyaratkan dengan ketat dan harus dipastikan bahwa si pembunuh melakukannya dengan sengaja dan memenuhi unsur kesalahan. Jika terdapat keraguan (doubt/asy-syubhat) dalam pelaku atau dalam pembuktiannya, maka qisas tidak dapat dilakukan.[49]

Sebagaimana dijelaskan oleh al-Jurjawi bahwa hikmah adanya hukuman qisas-diyat adalah keberlangsungan hidup manusia di dunia, tindakan preventif agar manusia tidak saling membunuh yang akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, serta menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.[50] Sementaara itu, hikmah diyat adalah demi kepentingan kedua belah pihak. Dari pihak pembunuh, dengan membayar denda secara damai kepada pihak keluarga korban, dia akan merasa aman dan akan ada kesempatan untuk bertaubat kembali ke jalan yang benar karena merasakan berharganya kehidupan. Sementara bagi keluarga korban, diyat yang diterima secara damai akan dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya dan meringankan sedikit kesedihannya.

Allah mensyari'atkan qisas untuk menjaga darah dan jiwa manusia serta menghilangkan dendam dan fitnah di antara umat manusia.[51] Dengan diberlakukannya qisas, maka jiwa seseorang terlindungi karena orang yang akan membunuhnya --dengan mengetahui adanya ancaman pidana mati-- akan mengurungkan niatnya. Di samping itu, calon pelakunya juga akan terlindungi jiwanya karena mengurungkan niatnya untuk membunuh. Oleh sebab itu dalam ayat "walakum fi al-qisās hayātun…" terkandung makna kehidupan yang sangat luas, yaitu bagi orang yang akan dibunuh, pembunuh, keturunan-keturunannya serta masyarakat secara luas. Ayat "walakum fi al- qisās hayātun…" juga terkandung makna tujuan pemidanaan, yakni demi terciptanya kemaslahatan. Qisas bukan bertujuan untuk melakukan penyiksaan terhadap pelaku. Dengan demikian Allah tidak berfiman "walakum fi al-qi¡ā¡ intiqāmun…" (Dan dalam qisas terdapat (makna) penyiksaan bagimu).[52]
Bersamaan dengan ditetapkannya pidana qisas bagi pelaku pembunuhan, Allah mensyari'atkan juga pemaafan kepada pelaku. Hal ini berarti qisas bukanlah pidana yang bersifat mutlak, namun sebaliknya bersifat relatif dengan bergantung pada pemaafan dari pihak keluarga korban. Dengan demikian syari'at Islam sangat memperhatikan eksistensi pihak keluarga korban sebagai pemutus ada tidaknya qisas.

Selanjutnya, jika qisas dimaafkan maka pelaku diwajibkan untuk membayar diyat sebagai bentuk ganti rugi atas kematian korban. Pembayaran diyat sebagai ganti rugi ini memiliki makna yang sangat baik, karena kebutuhan ekonomi keluarga korban tidak lepas dari perhatian oleh syari'at Islam. Pentingnya diyat ini sangat dirasakan apabila korban adalah orang yang bertanggung jawab atas nafkah keluarganya. Walaupun dalam kajian fiqh seperti yang telah diungkapkan di awal bahwa jumlah diyat menjadi titik perbedaan di antara fuqaha, namun dapat diambil kesimpulan bahwa kesemuanya menetapkan diyat dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini tentu untuk menjamin kelangsungan hidup kelaurga korban pada masa-masa selanjutnya.

Ketentuan bagi pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat 92, menyuguhkan beberapa hikmah. Pertama, walaupun tidak ada pidana qisas, diyat tetap harus dibayarkan kepada keluarga korban karena bagaimanapun juga akibat pembunuhan itu berimplikasi pada kehidupan ekonomi keluarga korban. Apalagi jika korban adalah orang yang berkewajiban menyokong ekonomi keluarga, seperti ayah atau suami. Untuk itu, jaminan kelangsungan ekonomi harus tetap ada bagi keluarga korban.

Kedua, di samping pembayaran diyat, Allah juga mensyari'atkan pidana kaffarat atau penebusan dosa atas pembunuhan itu. Bentuk kaffarah adalah pembebasan budak perempuan. Dengan kaffarah ini secara tak langsung Allah tidak menyetujui adanya perbudakan di kalangan muslim dan hendak menghapuskannya. Cara penghapusan perbudakan oleh Allah ini tidak dilakukan dengan serta merta, namun secara tadrij (bertahap) karena perbudakan sudah sangat membudaya sejak jaman Jahiliyyah sampai Islam datang. Di samping itu, bentuk kaffarah ini sangat strategis dan memenuhi aspek-aspek keadilan dalam upaya penghapusan perbudakan di kalangan muslim, yaitu memerdekakan budak perempuan yang mukmin. Kaum perempuan, termasuk budak, dipandang lemah dalam hal fisik dan sering kali mengalami eksploitasi fisik dan seks dari majikannya.

Ketiga, adanya pidana yang berbeda bagi muslim diukur ada tidaknya permusuhan di antara pembunuh dengan korbannya. Jika tidak ada permusuhan antara kaum pembunuh dengan korbannya, walaupun antara orang Islam dengan orang non-Islam (yang telah ada perjanjian damai) maka pidana lebih berat, yaitu dengan membayar diyat kepada keluarga korban dan membebaskan seorang budak perempuan mukmin. Sedangkan jika terjadi pembunuhan tak sengaja antara kaum mukmin yang bermusuhan, maka pidananya lebih ringan yaitu hanya membayar kaffarah dalam bentuk membebaskan seorang budak perempuan mukmin. Ketentuan seperti ini menunjukkan bahwa derajat hubungan antara orang muslim dengan non muslim --jika ada perjanjian damai, termasuk di dalamnya kafir dzimmi-- adalah lebih mulia di sisi Allah, sehingga Allah menentukan pidana yang lebih berat (diyat dan kaffarah). Sebaliknya, jika hubungan antara muslim satu dengan muslim yang lain tidak harmonis, sehingga muncul permusuhan, maka oleh Allah diletakkan dalam derajat yang rendah. Oleh karena itu jika terjadi pembunuhan tak sengaja antara muslim dengan muslim lain, namun karena di antara keduanya ada permusuhan maka Allah memberikan pidana yang lebih ringan yaitu hanya berupa kaffarah (pembebasan budak) tanpa adanya diyat bagi keluarga korban. Secara tak langsung, Allah memberikan hikmah agar setiap pemeluk agama terhadap pemeluk agama lain hidup dalam keharmonisan.

Keempat, salah satu bentuk keringanan Allah terhadap hamba-Nya dalam masalah pembunuhan tak sengaja ini adalah ditetapkannya pidana puasa bagi pelaku yang tidak mampu membayar diyat atau membayar pembebasan budak. Bentuk alternatif pemidanaan ini menunjukkan fleksibelitas syari'at Islam. Jika seorang terpidana tak mampu untuk membayar diyat atau membayar pembebasan budak, maka alternatif terakhir adalah diwajibkan berpuasa sebagai bentuk penggemblengan pribadi. Oleh karena bertujuan penggemblengan pribadi ini, maka wajar jika periode puasa yang ditetapkan melebihi puasa Ramadlan dengan pelaksanaan yang berturut-turut.

F Penutup

Keadilan Allah sangat tampak dalam syari'at Islam tentang qisas-diyat. Sistem pemidanaan akibat pembunuhan, baik yang sengaja maupun yang tidak sengaja, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan kekayaan hikmah yang terkandung di dalamnya. Selain itu, ijtihad para fuqaha untuk mengaplikasikan aturan-aturan qisas-diyat dengan bersumber pada al-Qur'an dan hadis menunjukkan keanekaragaman dalam hukum Islam. Semuanya bertujuan agar hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan hadis itu tetap bisa save di muka bumi. Oleh karena itu, perlu kiranya usaha yang tak henti dari para ahli hukum Islam untuk menggali hikmah atau nilai-nilai filosofi syari'at Islam dalam al-Qur'an dan hadis, tak terkecuali syari'at Islam tentang qisas dan diyat, agar keadilan Allah dapat terwujudkan di muka bumi. Insya Allah.

---daftar pustaka dan footnote dalam artikel ini sengaja penulis sembunyikan---

Daftar Pustaka

 ---


* Dosen Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1] 
[2] 
[3] Ayat al-Qur'an yang dijadikan dalil penetapan sanksi qisas-diyat terdapt dalam surat al-Baqarah ayat 178-179, Surat an-Nisa ayat 92 dan 93, serta Surat al-Maidah ayat 43.
[5] Sebagai gambaran, 1 wasaq sama dengan 60 gantang. Jika 1 gantang sama dengan 3,125 kg maka Bani Nazir kurang lebih membayar 18.750 kg (18,75 ton) kurma kepada Bani Quraizah. Namun sebaliknya, jika anggota Bani Quraizah membunuh salah seorang anggota Bani Nazir, maka Bani Quraizah diwajibkan membayar denda dua kali lipat, yaitu sebanyak 200 wasaq (± 37,5 ton) kurma.
[6] 
[7] 
[8] 
[9] 
[11] 
[13]
[16] 
[17]  
[18] 
[20] Dalam ilmu hadis hadis mudtharib adalah mā ukhtulifa fī sanadihi aw fī matnihi aw fīhimā biziyādah aw naq¡ ma'a 'adami imkāni al-jam'i aw at-tarjīhi (hadis yang diperselisihkan dalam sanad atau matannya, atau kedua-duanya sebab adanya tambahan atau pengurangan dengan tidak adanya kemungkinan untuk disatukan atau ditarjihkan.
[22] 
[24]
[26] 
[28] Jika harga seekor onta sekarang adalah 2250 riyal dan kurs rupiah terhadap riyal adalah Rp. 2.500,- maka seekor onta kurang lebih berharga Rp. 5.625.000,00. Dengan demikian diyat yang harus dibayarkan 'aqilah (keluarga pelaku tindak pidana) dalam masalah pembunuhan tidak sengaja kepada keluarga korban kurang lebih sebesar Rp. 562.500.000,00 (setengah milyar lebih).
[30]
[31] 
[33] 
[35] 
[36] 
[37] 
[39] 
[40] 
[41]  
[42]  
[44] 
[45] 
[47] 
[49] 
[50] 
[51] 
[52]