Oleh: Ahmad Bahiej
Seperti
yang telah dibahas pada makalah sebelumnya bahwa sholat sunnat dibagi menjadi
dua yaitu sholat sunnat rowatib dan sholat sunnat ghoiru rowatib. Sholat
sunnat ghoiru rowatib (sholat sunnat yang tidak mengikuti sholat wajib) berjumlah
banyak, namun secara garis besar dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1). yang
disunatkan secara berjama’ah, seperti sholat sunnat tarawih, kusuf
(gerhana matahari), khusuf (gerhana bulan), dan istisqo’ (sholat sunnat
meminta hujan).
2). yang tidak
disunnatkan secara berjama’ah, seperti sholat sunnat witir, dluha, tahajud, hajat,
tasbih, tahiyatul masjid, awwabin, syukril wudlu, taubat, safar, mutlaq, dan istikhoroh.
A. Sholat Sunnat Tarowih
Kata tarowih berasal dari kata
kerja roha yang bermakna “istirahat”. Bentuk kata tarowih adalah lafdz
jama’ yang menunjukkan arti banyak (lebih
dari dua). Dalam sholat sunnat tarawih memang ditemui “banyak istirahat” yaitu berupa
duduk istirahat di antara rokaat-rokaat sholat tarawih. Pada jaman Nabi Muhammad
SAW, sebenarnya tidak ada nama sholat tarowih itu. Dalam hadis hanya
disebutkan sholat sunat Romadlon (qiyamu Romadlon), seperti dalam hadis
berikut:
مَنْ قَامَ
رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخارى)
Barangsiapa
mendirikan sholat di bulan Romadlon, dengan penuh iman dan keikhlasan, maka
dosa-dosanya yang telah lalu diampuni oleh Allah. HR Bukhari.
Di
dalam kitab-kitab hadis pun, tidak disebut adanya nama “tarowih” itu. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa kata “tarowih” muncul setelah berkembangnya
ilmu fiqh sebagai pengembangan dari syari’at Islam (al-Qur’an dan Hadis).
Pada jaman Nabi Muhammad SAW, sholat
sunnat tarowih hanya dilakukan Nabi beberapa hari. Beliau bersama para
sahabatnya melakukan sholat qiyamu Romadlon pada hari pertama, kedua,
dan ketiga (dalam keterangan hadis, hari pertama, kedua, dan ketiga itu adalah
tanggal 23, 25, dan 27 Romadlon). Pada hari keempat, masjid telah penuh sesak
jama’ah dan Nabi tidak menampakkan diri ke masjid, karena Nabi khawatir bahwa
sholat qiyamu Romadlon dianggap wajib/fardhu oleh kaum muslimin. Hadis
riwayat Bukhari menceritakan kejadian tersebut:
كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فِي حُجْرَتِهِ وَجِدَارُ الْحُجْرَةِ قَصِيرٌ
فَرَأَى النَّاسُ شَخْصَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ
أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحُوا فَتَحَدَّثُوا بِذَلِكَ فَقَامَ
اللَّيْلَةَ الثَّانِيَةَ فَقَامَ مَعَهُ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ صَنَعُوا
ذَلِكَ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا حَتَّى إِذَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ جَلَسَ
رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَخْرُجْ فَلَمَّا أَصْبَحَ
ذَكَرَ ذَلِكَ النَّاسُ فَقَالَ إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُكْتَبَ عَلَيْكُمْ صَلاَةُ
اللَّيْلِ (رواه البخارى)
Rasulullah sholat pada malam (bulan
Romadlon) di kamarnya. Para sahabat (karena) melihat
diri Nabi sholat, maka mereka mengikuti sholat. Pagi harinya, mereka menceritakan
hal itu (tentang sholat malam Romadlon). Pada malam kedua, Nabi sholat lagi dan
para sahabat mengikutinya lagi (Jawa: melu-melu). Mereka melakukannya
pada dua malam atau tiga malam. Setelah itu, Nabi duduk dan tidak keluar lagi (maksudnya:
tidak melakukan sholat malam Romadlon lagi, -pen.). Pagi harinya, para
sahabat mempertanyakan itu dan Nabi menjawab, “Sungguh aku khawatir,
jangan-jangan kalian mewajibkannya”. HR Bukhari.
Setelah wafatnya Nabi, kaum Muslimin
di Madinah masih terus-menerus melakukan sholat tarawih secara sendirian maupun
secara berjama’ah dengan imam dari sahabat Nabi yang dipandang senior. Hal ini
berlanjut sampai pada kekhalifahan Umar bin Khottob r.a. Khalifah Umar kemudian
berkata, “Jika kalian melakukan sholat tarawih secara berjama’ah dengan seorang
imam, tentulah lebih baik”. Dengan adanya usulan ini, kaum muslimin bersatu
mengadakan sholat tarowih berjama’ah di Masjid Nabawi Madinah, sebagaimana Nabi
mengimami para sahabat selama tiga hari di masa hidupnya. Sahabat Umar r.a kemudian
berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarowih dengan berjama’ah)”. Hadis
riwayat Bukhori menceritakan hal ini.
عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
رَضِيَ الله عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ
أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ
فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاََءِ
عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ
بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ
قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا
أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ
يَقُومُونَ أَوَّلَهُ (رواه البخارى)
Abdurrahman bin ‘Abd al-Qori
berkata, “Saya keluar menuju masjid bersama Umar bin Khottob pada suat malam di
bulan Romadlon. Sahabat lain yang telah berada di masjid melakukan sholat
secara sendiri-sendiri. Umar kemudian berkata, ”Aku berpendapat, jika mereka
aku kumpulkan pada imam yang satu, itu maka lebih baik.” Umar kemudian
mengumpulkan mereka kepada Ubay bin Ka’ab. Pada malam yang lain saya
(Abdurrahman bin ‘Abd al-Qori) keluar bersama Umar, para sahabat sedang sholat berjama’ah
bersama imamnya, Umar bin Khottob berkata,”Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah
dan lebih baik jika mereka melakukannya di akhir malam”. HR Bukhari.
Mengikuti pendapat sahabat Umar
tersebut, sampai sekarang pun di seantero dunia sholat sunnat tarowih dilakukan
secara berjama’ah di masjid. Kekhawatiran Nabi pada saat itu dimaklumi karena masih
barunya syari’ah Islam. Namun semenjak jaman Khalifah Umar bin Khottob r.a. sampai
sekarang, umat Islam telah mampu membedakan antara yang sunnat dan yang wajib. Oleh
karena itu, pelaksanaan sholat sunnat tarowih secara berjama’ah dapat digunakan
untuk mensyi’arkan agama Islam selama bulan Romadlon yang penuh rahmat. Bagi
pribadi muslim pun akan lebih ringan melakukannya karena sholat dilakukan secara
bersama-sama.
Dalam hal jumlah rokaat sholat sunnat
tarowih, terdapat beberapa perbedaan pandangan. Perbedaan ini muncul telah lama,
bahkan semenjak Kholifah Umar bin Abdul Aziz r.a. Penyebab adanya perbedaan ini
karena tidak adanya dalil hadis Nabi yang kuat
dan secara tegas menyebutkan angka rokaat sholat sunnat tarowih. Akibat
tidak adanya hadis yang dipandang secara regas menyebutkan angka rokaat sholat
sunnat tarowih itu, maka muncul beberapa penafsiran dengan dasar hukum (dalil) yang
berbeda-beda. Hadis-hadis tentang qiyamu Ramadlon riwayat Imam Bukhari (sebagai
salah satu perawi hadis yang dianggap banyak menampilkan hadis-hadis
shahih/benar-benar berasal dari Nabi), hanya memuat hal-hal berikut:
a. Nabi
melakukan sholat malam di masjid pada bulan Ramadlon hanya tiga malam.
b. Sholat
tarowih dilakukan dengan berjama’ah
c. Sholat lail
Nabi dilakukan tengah malam sampai menjelang shubuh.
d. Sholat
tarowih adalah sunnat
e. Sholat
tarowih berjamaah di masjid dengan satu imam dimulai saat pemerintahan Khalifah
Umar bin Khattab.
f. Penyatuan
umat Islam dalam hal sholat sunnat tarowih adalah hal baru, oleh karena itu
Khalifah Umar menyebutnya bid’ah.
Adapun beberapa “model” jumlah rokaat tarowih
akan dibahas satu per satu di bawah ini. Namun “model” yang akan dipaparkan
adalah “model” yang sering ditemui di Indonesia, Sedangkan “model-model” yang
lain hanya akan dibahas secara sekilas.
1. 20 Rokaat
Menurut semua imam mujtahid madzhab
(Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi), jumlah rokaat sholat sunnat tarowih
adalah 20 rokaat dengan dua-dua rokaat (tiap 2 rokaat 1 kali salam). Hal itu didasarkan
pada hadis al-Baihaqi bahwa pada saat Khalifah Umar bin Khattab r.a mengumpulkan
para sahabat untuk melakukan sholat tarowih secara berjama’ah dan menunjuk sahabat
Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Sholat tarowih yang dilakukan adalah 20 rokaat.
كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ
عَلَى عَهْدِ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ فِي رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ
رَكْعَةً وَكَانُوْا يَقُوْمُوْنَ بِالمْاِئَتَيْنِ وَكَانُوْا
يَتَوَكَّؤُوْنَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِى عَهْدِ عُثْمَانَ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ
(رواه البيهقى)
Kaum muslimin mendirikan (sholat
sunnat tarowih) pada masa Umar bin al-Khattab r.a di bulan Romadlon dengan 20 rokaat.
Mereka melakukan (tarowih) dengan (bacaan) 200 (ayat tiap rokaat) pada masa
Utsman dan mereka bersandar pada tongkat, karena semangat melakukannya. (HR
Baihaqi)
كَانَ
النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ
وَعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه مالك)
Kaum muslimin melakukan sholat sunnat
tarowih pada masa Umar bin Khattab dengan 23 rokaat. HR Malik
Sejak saat itu sampai sekarang, di Masjid
Nabawi Madinah dan Masjidil Haram Makkah pelaksanaan sholat sunnat tarowih dilakukan
secara berjama’ah sebanyak 20 rokaat. Bahkan pelaksanaannya dilakukan semalam
suntuk. Setelah sholat Isya’, dilakukan sholat tarowih sebanyak 20 rokaat
sampai tengah malam (karena yang dibaca setelah surat al-Fatihah adalah ayat-ayat panjang). Setelah
selesai sholat tarowih, dilanjutkan sholat sunnat malam (qiyamul lail) sebanyak
8 rokaat dan ditutup dengan witir. Waktu yang tersisa sekitar 1 jam digunakan
para jama’ah untuk sahur di kedai-kedai samping Masjidil Haram.
Para
ulama yang mendukung pendapat Khalifah Umar tentang masalah ini (sholat sunnat tarowih
20 rokaat) berpegangan pada sebuah hadis bahwa atsar sahabat Khulafa’ur
Rasyidun (keputusan yang dibuat oleh sahabat empat yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a., Umar bin al-Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalib
r.a.) adalah dibenarkan oleh Nabi.
مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ
فَإِنَّهَا ضَلاَلَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ
Barangsiapa di antara kalian yang
hidup nanti akan melihat banyak perselisihan, dan perkara-perkara baru. Sungguh
hal itu adalah menyesatkan. Maka barangsiapa di antara kalian menemuinya, maka
haruslah kalian tetap mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidun yang diberi
petunjuk. Pegangilah dengan erat!” (HR Turmudzi dan diriwayatkan juga oleh
Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Daromi)
Ajaran
mengikuti perintah-perintah Rasulullah dan pendapat-pendapat Khulafa’ur
Rasyidun inilah kemudian yang disebut sebagai ahlusssunah waljama’ah.
Dalam riwayat lain yang disebutkan
oleh KH Ali Ma’shum (alm) mantan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak
Yogyakarta alam bukunya Hujjah Ahlusssunah Waljama’ah (Argumentasi Ahlussunnah
Waljama’ah) bahwa pada jaman Rasulullah masih hidup, beliau hanya melaksanakan
sholat sunnat tarowih di masjid selama tiga malam (tanggal 23, 25, dan 27
Romadlon) dengan jumlah 8 rokaat di masjid dan diteruskan di rumah 12 rokaat secara
sendirian. Hal ini juga diikuti oleh para sahabat bahkan sepeninggal Nabi dan
semasa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar r.a. Setelah Rasulullah SAW dan Abu
Bakar r.a. wafat dan kekhalifahan dipimpin oleh Umar bin Khatthab r.a., maka
Khalifah Umar mengusulkan diadakannya jama’ah sholat tarowih sebagaimana
keterangan di atas.
Di samping itu ada juga hadis Nabi yang
menyebutkan kebenaran keputusan dari Khalifah Umar, yaitu:
إِنَّ الله جَعَلَ
الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ (رواه الترمذى)
Seseungguhnya Allah telah menjadikan
kebenaran pada lisan dan hati Umar. HR at-Turmudzi.
Adapun mengenai jumlah rokaat tiap
sholatnya adalah dua-dua rokaat sebagaimana sholat sunnat yang lain (kecuali
sholat witir). Jika demikian, maka 20 rokaat tarowih akan memiliki 10 kali
sholat, 10 kali istirahat jeda antar sholat dan biasanya ada jeda istirahat 4
kali yang lebih panjang (setiap 4 rokaat). Dengan demikian maka hal ini sesuai
dengan namanya, yaitu tarowih yang berbentuk jama’ (lebih dari
dua) yang berarti “banyak istirahatnya”.
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ فَقَالَ كَيْفَ
صَلاَةُ اللَّيْلِ فَقَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ
بِوَاحِدَةٍ (رواه متفق عليه)
Sesungguhnya seorang laki-laki
mendatangi Nabi saat beliau berkhutbah. Laki-laki itu berkata, “Bagaimana
mengerjakan sholat malam?”. Nabi menjawab, “dua rokaat-dua rokaat. Maka jika
engkau khawatir datangnya waktu shubuh maka witirlah dengan satu rokaat.” (HR
Muttafaq ‘alaih, yaitu Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu
Majah, Ahmad, dan Malik)
2. 8 Rokaat
Jama’ah yang melaksanakan sholat
sunnat tarowih 8 rokaat dengan 4 rokaat-4 rokaat (tiap 4 rokaat satu kali
salam) mendasarkan diri pada sebuah hadis yang berasal dari Aisyah r.a., istri
Rasululllah SAW berikut.
سُأِلَ
عَائِشَةُ رَضِيَ الله عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا
قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ الله أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ
يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي (رواه البخارى
ومسلم)
Aisyah
ditanya, “Bagaimana sholat Nabi SAW di bulan Romadlon?”. Aisyah menjawab, “
Rasulullah tidak pernah menambah dari 11 rokaat, baik di bulan Romadlon maupun
pada bulan lainnya. Beliau sholat empat (roka’at). Engkau jangan tanyakan
tentang baik dan lamanya. Kemudian sholat empat (rokaat). Engkau jangan
tanyakan tentang baik dan lamanya. Kemudian beliau sholat 3 (rokaat). Aisyah
bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah, apakah Engkau akan tidur (padahal) belum
witir?. Rasulullah menjawab, “Ya Aisyah, sungguh kedua mataku tidur, akan
tetapi hatiku tidak tidur. (HR Bukhari Muslim).
Dengan hadis ini maka disimpulkan
bahwa berdasar pengamatan Siti Aisyah (istri terakhir Rasulullah), ketika
ditanya tentang bagaimana dan berapa sholat Rasulullah di bulan Romadlon, Rasulullah
sholat malam, baik di bulan Romadlon maupun di luar Romadlon, tidak lebih dari
11 rokaat. Pelaksanaan sholat tersebut adalah 4 rokaat-4 rokaat dan diakhiri sholat
witir 3 rokaat. Hadis ini kemudian oleh para sebagian ulama dimaknai bahwa sholat
sunnat tarowih dilakukan sebayak 8 rokaat dengan susunan 4-4 dan diakhir witir 3
rokaat.
Bagaimana
sikap kita?
Terhadap adanya perbedaan dalam jumlah
rokaat dalam sholat sunnat tarowih dan terhadap perbedaan-perbedaan lain yang
sering kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam kancah keagamaan,
politik, dan sosial harus kita sikapi dengan penuh bijak dan harus tetap dalam koridor ukhuwah islamiyyah.
Jangan sampai kita menganggap bahwa pendapat dari (golongan) kita adalah pendapat
yang PALING BENAR, dan pendapat dari (jama’ah) lain adalah SALAH. Menyesatkan
yang lain, dan menshahihkan dirinya, seolah-olah dalam dirinya terdapat
kebenaran. Padahal kebenaran di dunia adalah relatif, sedangkan kebenaran yang
hakiki dan mutlak adalah milik Allah.
Termasuk dalam masalah sholat sunnat
tarowih ini, perbedaan jumlah rokaat sholat bukanlah perbedaan yang mendasar,
hanya bersifat furu’iyyah (cabang-cabang Islam). Jadi, adalah naif jika
kita masih mempermasalahkan jumlah rokaat. Masih banyak permasalahan besar umat
yang lain dan lebih urgen/penting untuk dipecahkan bersama-sama, seperti korupsi,
bencana, dakwah, kemaksiatan, dan lain-lain.
Seringkali terjadi dalam anggapan
masyarakat bahwa jumlah rokaat “menandai” golongannya. Misalnya, jika seseorang
atau suatu masjid dilaksanakan sholat tarowih berjumlah 20 rokaat, maka disebut
“orang NU” atau “masjid NU”. Sedangkan jika seseorang atau di masjid
dilaksanakan sholat tarowih 8 rokaat disebut sholatnya “orang Muhammadiyah”
atau “masjid Muhammadiyah”. Memang diakui bahwa sebagian besar warga NU
mempergunakan/mengikuti pendapat sholat tarowih itu 20 rokaat, dan sebagian besar
warga Muhammdiyah adalah 8 rokaat. Padahal, 20 dan 8 rokaat bukanlah
“identitas” masing-masing. Perbedaan itu telah terjadi ratusan tahun lalu,
bahkan sebelum datangnya agama Islam di Indonesia. Sebuah keterangan dalam Fath
al-Bari, kitab kumpulan hadis Imam Bukhari dan sarahnya (keterangan/penjelasannya),
ketika memberi keterangan tentang beberapa hadis qiyamu Romadlon menyebutkan
bahwa:
“Dalam
riwayat ini tidak menyebutkan jumlah rokaat (qiyamu Romadlon) yang
dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab (sahabat Nabi yang ditunjuk Umar bin Khatthab
menjadi imam jama’ah tarawih,-pen). Dengan demikian, maka terdapat perbedaan
pendapat (ikhtilaf) mengenai jumlah rokaat itu. Dalam kitab Muwatha karya
Imam Malik, riwayat dari Muhammad bin Yusuf dari Sa’id bin Yazid, sholat qiyamu
Romadlon itu 11 rokaat. Muhammad bin Nasr al-Marwazi dari Muhammad bin Ishaq
dari Muhammad bin Yusuf meriwayatkan 13 rokaat. Abdurrozzaq dari Muhammd bin
Yusuf meriwayatkan 21 rokaat. Malik dari Yazid bin Hashifah dari as-Sa’ib bin
Yazid meriwayatkan 20 rokaat, tidak termasuk witir. Yazid bin Ruman
meriwayatkan 23 rokaat. Muhammad bin Nasr dari Atho’ meriwayatkan 20 rokaat
(tarowih) dan 3 rokaat sholat witir. Ikhtilaf/perbedaan ini kemungkinan
disebabkan karena bacaan yang panjang. Jika panjang maka disebut beberapa
rokaat, atau sebaliknya. Jumlah rokaat yang pertama (11 rokaat, pen.) sesuai
dengan hadis ‘Aisyah, sedangkan yang kedua (13 rokaat) jumlahnya mendekati.
Sedangkan dalam riwayat 20 rokaat terdapat perbedaan mengenai sholat sunnat witirnya,
ada yang 1 rokaat sholat witir an ada yang 3 rokaat sholat witir. Muhammad bin
Nasr dari Dawud bin Qais meriwayatkan bahwa kaum muslimin pada kepemimpinan
Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz di Madinah mendirikan sholat qiyamu
Romadlon sebanyak 36 rokaat dan sholat witir 3 rokaat. Al-Za’faroni dari
asy-Syafi’i meriwayatkan bahwa kaum muslimin di Madinah (dahulu) melakukan
sholat qiyamu Romadlon sebanyak 39 rokaat dan di Makkah 23 rokaat. At-Turmudzi
meriwayatkan bahwa pendapat tentang sholat qiyamu Romadlon dikerjakan
dengan paling banyak 40 rokaat dengan sholat witir 7 rokaat. Muhammad bin Nars
dari Ibnu Aiman dari Malik menyebutkan 38 rokaat dan yang masyhur (terkenal)
adalah 36 rokaat dan pelaksanaannya bahkan sampai 100 tahun lebih. Dalam
riwayat Malik yang lain disebutkan juga bahwa sholat qiyamu Romadlon adalah
46 rokaat dan 3 rokaat witir. Ibnu Wahab dari al-Amri dari Nafi meriwayatkan, “Saya
tidak menemui kaum muslimin kecuali mereka melakukan sholat qiyamu Romadlon
sebanyak 39 rokaat dengan 3 rokaat witir. Zararah bin Aufa meriwayatkan bahwa
dia sholat qiyamu Romadlon di Bashrah (sekarang di negara Irak,
-pen.) sebanyak 34 rokaat. Sedangkan Sa’id bin Jabir meriwayatkan 24 rokaat
dan Abi Mujalliz meriwayatkan 16 rokaat...”
Dari keterangan ini dapat disimpulkan
bahwa terdapat banyak perbedaan di antara kaum muslimin mengenai jumlah rokaat
sholat qiyamu Romadlon, yaitu:
1. 11 rokaat (tarowih dan witir) 8. 34 rokaat
2. 13 rokaat (tarowih dan witir) 9. 36 rokaat
3. 16 rokaat 10. 36 rokaat tarowih dan 3 rokaat witir
4. 20 rokaat tarowih dan 3 rokaat witir 11. 38
rokaat
5. 21 rokaat (tarowih dan witir) 12. 39 rokaat (tarowih dan witir)
6. 23 rokaat (tarowih dan witir) 13. 40 rokaat tarowih dan 7 rokaat witir
7. 24 rokaat 14. 46 rokaat tarowih dan 3 rokaat witir
Sebuah
Gagasan “Rekonsiliasi”
Memperhatikan adanya sejumlah
perbedaan dalam penentuan jumlah rokaat sholat tarowih seperti dijelaskan di
atas dan ternyata masalah ini juga terjadi di Indonesia, maka menurut hemat
penulis perlu dilakukan upaya rekonsiliasi agar tidak memperuncing perbedaan
tersebut. Wujudnya, karena perbedaan yang sering kali terjadi adalah jumlah 20 rokaat
(dengan tiap 2 rokaat 1 salam) dan 8 rokaat (dengan tiap 4 rokaat 1 salam), maka
langkah rekonsiliasi atau jalan tengah adalah “menyamakan” jumlah rokaat tiap
sholatnya, yaitu 2 rokaat 1 salam dan tetap sebanyak 8 rokaat, dan ditutup
dengan 3 rokaat sholat witir (boleh langsung 3 rokaat sekaligus atau “dipecah”:
2 rokaat salam dan ditutup 1 rokaat). Dengan demikian, maka bagi orang yang
terbiasa dengan 8 rokaat tetap menjalankannya dan bagi orang yang terbiasa
dengan 20 rokaat dapat tetap melanjutkan 12 rokaat lagi setelah selesai. Praktek
semacam ini telah dilaksanakan di Masjid Sunan Kalijaga, kampus UIN Sunan
Kalijaga yang notabene sebagai tempat berkumpulnya tokoh-tokoh nasional dari dua
jama’ah, yakni jama’ah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang dicap “jama’ah 20
rokaat” dan jama’ah organisasi Muhammadiyah yang dicap “jama’ah 8 rokaat”.
Bagaimana
di masjid Al-Muttaqin Salakan?
Wallaahu
a’lam bi ash-shawaab.